Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS), suatu sanggar tari maupun adat yang berfokus pada budaya kuda lumping. Namun, sekarang ini sanggar tersebut telah berinovasi dengan menambah budaya lainnya, seperti leak dan barongan. Bedanya apabila leak Bali lebih dominan pada keagamaannya, maka leak sanggar RKBS lebih menjorok ke budaya dan keseniannya.
Sanggar RKBS berada di Dusun Gebug, Kalisidi, Ungaran Barat. Bangunan sanggar berbentuk minimalis, aula latihan dengan satu ruangan khusus di dalamnya sebagai tempat untuk menyimpan alat peraga, seperti: gamelan dan barongan. Sanggar ini berada di rumah salah satu warga dusun Gebug. Galih Aji Sadewa, atau akrab disapa Aji sebagai pemilik rumah sekaligus ketua sanggar RKBS.
Sejarah dan Filosofi Kuda Lumping di Desa Kalisidi
Galih Aji Sadewa, selaku ketua Sanggar, mengatakan bahwa terdapat mitos yang dipercaya oleh tetua warga mengenai awal keberadaan kesenian kuda lumping. Bermula dari kisah para nabi dan rasul umat muslim yang berjumlah 25 nabi. Konon, semua nabi melakukan pacuan kuda. Sayangnya, hanya terdapat 24 ekor kuda. Ketika itu, nabi Nuh belum mendapatkan kuda untuk dikendarai. Singkat cerita, karena antusiasnya nabi Nuh menggunakan kuda kepang. Lalu nabi Nuh kesurupan oleh sukma kuda sembrani. Akhirnya nabi Nuh memenangkan pacuan kuda tersebut. Selanjutnya dinamakan pacuan kuda lumping.
Kuda lumping sampai ke desa Kalisidi tak lepas dari peran seorang tokoh pendiri desa bernama Surowono, namanya terdiri dari kata Suro berarti ‘berani’ dan wono berarti ‘alas’. Dia berasal dari Tuban dan biasa dikenal dengan sebutan Mbah Sarwono. Selain kuda lumping, RKBS Kalisidi juga mengembangkan budaya lainnya, berupa: wayang, gamelan, dan lain sebagainya. Budaya tersebutlah yang sekarang dijadikan sebagai bentuk pensakralan Mbah Sarwono.
Rukun Karya Budaya Sakti didirikan pada 01 November 1988 oleh beberapa sesepuh desa, diantaranya: Mbah Jumain, Mbah Slamet, Mbah Nuh, dan Mbah Pasmin. Namun, sampai sekarang hanya Mbah Jumain dan Mbah Slamet yang masih aktif dalam sanggar sebagai penasehat. Mbah Pasmin dan Mbah Jumain adalah pendiri sanggar yang masih keturunan Mbah Surowono. Lalu setelahnya, Mbah Nuh dan Mbah Slamet adalah pendatang yang mau diajak untuk menguri-uri budaya jawa.
“Awalnya, kami berpendapat bahwa daripada para pemuda berkumpul untuk hal-hal yang tidak baik, maka lebih baik diisi dengan kesenian yang dirasa akan lebih bermanfaat untuk melestarikan dan menjaga pergaulan. Dari hasil diskusi, maka dipilihlah kuda lumping sebagai budaya yang ingin kami kembangkan dan itu turut didampingi dengan bentuk tirakatan dari para sepuh,” kata Mbah Jumain, salah satu pendiri Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti.
Eksistensi Kuda Lumping Dusun Gebug Desa Kalisidi
Sanggar Rukun Karya Budaya Sakti (RKBS) merupakan sanggar tertua di Ungaran Barat, karena itu dijadikan sebagai pusat kegiatan kuda lumping berlangsung. Anggota aktif sekarang berjumlah 56 anggota. Mulai dari anak kelas tiga sekolah dasar hingga sesepuh desa yang berperan sebagai penanggung jawab. Sebagian banyak anggota sanggar merupakan anak cucu dari pendiri sanggar.
Sanggar ini juga telah mendapat pengakuan dari pemerintah provinsi. Dua tahun sekali sanggar mendapatkan hibah sebesar sepuluh juta rupiah. Sanggar RKBS merupakan sanggar yang dituakan. Faktor turun-temurun dan kesukaan orang tua menjadi alasan untuk masih terus melestarikan budaya ini. Warga desa Kalisidi menganggap sanggar RKBS sebagai petilasan yaitu ‘tempat bersejarah’ yang ‘harus tetap dijaga dan dilestarikan’.
Latihan dilakukan rutin dua kali sebulan, yakni setiap selasa malam pekan pertama dan ketiga. Melakukan latihan di pusat dusun sebagai bentuk pengertian yang diberikan kepada masyarakat, sangat diperlukan dalam mengurangi kesan mistis dari kebudayaan kuda lumping. Aji mengatakan jika dipersentasekan, ada sekitar dua puluh persen dari keseluruhan budaya yang berbau mistis. Selain itu, gaya atau trik-trik dilakukan untuk mengurangi kesan mistis, karena semua aksi yang dilakukan kembali kepada Allah.
“Triknya itu murni karena latihan, walau ada hal lain seperti tirakat yang menjaga. Pemain dari kebudayaan kuda lumping ini warga Dusun Gebug itu sendiri. Pada awalnya pasti ada pertentangan dari orang tua yang berdalih karena berbahaya. Namun, para anak yang telah menjalaninya mereka menikmati dan menjelaskan kepada orang tua mereka,” imbuh Aji.
Latihan dilakukan dengan cara otodidak tanpa menghadirkan pelatih khusus, dengan sistem ‘yang bisa mengajari yang tidak bisa’ menjadi metode khusus. Latihan juga dapat memanfaatkan teknologi, seperti setiap ada kesenian baru yang menarik bisa dikolaborasikan, tentunya dengan kesepakatan pemilik adat. Faktor tersebut membuat sanggar tetap eksis sampai sekarang dan terus berinovasi. “Kita juga tergabung dalam komunitas tari kepang Jawa Tengah. Sekarang grup kuda lumping ratusan, mana yang berinovasi mereka yang bertahan,” ucap Aji.
Baca juga: Buah Karya Rotan Bernilai Jutaan Rupiah dari Pengrajin Ulung Desa Kalisidi
Generasi Muda dan Kuda Lumping Desa Kalisidi
Antusiasme generasi muda Dusun Gebug sangat tinggi. Mereka biasa menonton dan mengutarakan bahwa mereka ingin bergabung. Keinginan untuk berperan dan melestarikan budaya agar tidak punah, serta niat untuk nguri-uri budaya jawa membuat Kuda Lumping sudah menjadi point of interest di kalangan pemuda Dusun Gebug.
Keturunan menjadi faktor penting dalam minat para pemuda. Seperti yang dikatakan Faruq, salah satu pemuda di sana bahwa adanya keinginan untuk bergabung dikarenakan semua keluarganya bergabung dalam kegiatan. Walau ada juga yang melarang, seperti keluarga Tarjo, namun ia tetap mengikuti sanggar karena teman yang membersamai.
Para pemuda berharap semoga ke depannya lebih baik lagi, selalu berinovasi, kompak, dan untuk pertunjukan dapat mengakulturasikan budaya lokal dengan tari internasional. Pun masyarakat diharapkan untuk lebih meningkatkan kesadaran tenang kesenian ini.
“Semoga lebih maju, lebih kuat, dan lebih ramai. Jika maju tapi tidak ramai, maka tidak ada yang nonton, namun jika ramai tidak ada kemajuan juga sepi. Jika ramai dan kemajuan sudah ada maka patut diacungi jempol,” ucap Mbah Jumain.
Penulis: Alfian Fathan Mubina dan Alvina Ajeng
Editor: Rona Ayu Meivia