Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini Ulasan

Potret Buram Perlindungan Pembela HAM

Ilustrasi minimnya perlindungan pembela HAM. [BP2M/Alfiah M.]

Oleh Diki Mardiansyah*

Pembela HAM memang kerap menjadi target kekerasan karena sikap kritisnya terhadap kebijakan atau pun langkah negara yang tidak selaras dengan nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan, dan demokrasi. Barangkali kita ingat kata-kata Soe Hok Gie, ia pernah mengatakan, “Kita seolah-olah merayakan demokrasi, tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat mereka yang merugikan pemerintah” .

Human Rights Defender dan Kejahatan Negara

Saya teringat sebuah film garapan Steven Spielberg. Film itu berjudul “The Schindler’s Lists”. Film yang menurut saya menyentuh hati dan nurani kita semua. Film ini berkisah tentang kepedihan, pembantaian, penghapusan suku bangsa, dan derita umat manusia. Film yang memenangi ajang penghargaan Academy Award itu bertutur getir tentang sebuah masa tatkala nyawa manusia seakan tak berharga.

Kita bisa melihat bagaimana harga nyawa manusia dikoyak di negara kita sendiri. Ribuan manusia mati karena tragedi kemanusiaan pembantaian ’65, aktivis pro demokrasi yang hilang dan dibunuh pada masa orde baru, hingga nyawa yang rela dipertaruhkan oleh pembela HAM. Kita mafhum, pemerintahan orde baru anti kritik terhadap warga negaranya sendiri, terlebih yang mengancam dan mengkritik kekuasaan diperlakukan berbeda dengan warga negara lainnya yang hanya diam. Warga negara yang memberikan kritik kerap kali mendapatkan tindakan represif hingga “dihilangkan” oleh aparat orde baru.

Penyiksaan, represifitas hingga penghilangan terhadap aktivis HAM dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Seperti yang diuraikan Andrey Sutajmoko dalam bukunya yang berjudul “Hukum HAM dan Humaniter” (2015), pelanggaran HAM ialah orang-orang yang mengalami tindak kejahatan, yaitu perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, penyiksaan, penganiayaan, dan penghilangan secara paksa yang merupakan jenis-jenis kejahatan terhadap kemanuasiaan.

Victor Conde mengungkapkan dalam bukunya “A Handbook of Human Rights Terminology” bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran HAM merupakan pelangaran terhadap suatu norma HAM atau perjanjian internasional HAM, yaitu kegagalan dari negara atau pihak yang secara hukum diwajibkan untuk memenuhi norma-norma HAM internasional. Hal yang menjadi ironi, pembela HAM melakukan upaya-upaya terhadap orang yang mengalami pelanggaran HAM, tak jarang pula justru mereka sendiri turut mengalami pelanggaran HAM.

Kita sama-sama mengetahui, Munir Said Thalib merupakan salah satu pembela HAM yang hidupnya berakhir tragis. Pembunuhan terhadap Munir menjadi catatan hitam betapa buramnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di Indonesia. Pembunuhan terhadap pembela HAM bukan saja terjadi pada Munir Said Thalib, kita mengenal Marsinah (aktivis buruh yang dibunuh karena memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh), Salim Kancil, Golfrid Siregar, hingga mahasiswa yang terlibat aksi demonstrasi bertajuk “Reformasi Dikorupsi” tahun 2019 lalu.

Fatia Maulidiyanti menulis opini yang berjudul “Munir dan Jejak Kelam Perlindungan Pembela HAM” yang termuat di koran Tempo 7 September 2020, mencatat bahwa 16 tahun upaya menuntut keadilan atas meninggalnya aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, namun hingga hari ini negara masih belum juga memberikan kepastian hukum dan pemenuhan hak korban. Negara seharusnya sadar bahwa pentingnya jaminan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak sipil politik, khususnya berkaitan dengan ruang kebebasan sipil, serta penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih terbengkalai prosesnya hingga hari ini.

Sebagaimana kita ketahui, Munir Said Thalib dibunuh dengan racun arsenik di atas pesawat Garuda Indonesia yang ditumpanginya menuju Amsterdam. Namun, hingga kini negara tak memberikan kepastian hukum. Dalam hal ini, Herlambang P. Wiratraman lewat opininya berjudul “Munir dan Kejahatan Negara” (Jawa Pos, 7 September 2020) menulis pembiaran atas tidak adanya pengungkapan kebenaran kasus pembunuhan Munir jelas bentuk kualifikasi pelanggaran HAM.

Omong-omong soal Munir, sebagai sebuah ingatan terhadap seorang pejuang kemanusiaan, Efek Rumah Kaca, band indi asal Jakarta mempersembahkan sebuah lagu berjudul “Di Udara”, lagu apik itu berbunyi: Ku bisa tenggelam di lautan/ aku bisa diracun di udara/ aku bisa terbunuh di trotoar jalan/ tapi aku tak pernah mati/ tak akan berhenti. Lagu itu menangkap sebuah potret di mana pejuang hak asasi manusia bernama Munir yang terbunuh karena diracun di udara.

Masalah pelanggaran HAM (violations of human rights) pada dasarnya selalu berkaitan dengan kewajiban negara atau pihak-pihak yang secara hukum berkewajiban untuk melindungi (safeguarding) dan menghormati (respecting) norma-norma HAM internasional (Andrey Sutajmoko, 2015).

Indonesia tak memperlihatkan kemajuan terhadap masalah HAM. Berdasarkan laporan dari Lokataru Foundation, ada dugaan pelanggaran HAM yang justru terjadi di hari HAM sedunia yang kita peringati setiap 10 Desember. Laporan itu mengungkapkan di Papua ada pelarangan aksi peringatan hari HAM di kampus; di Semarang ada perampasan perangkat aksi; di Jakarta ada penangkapan peserta aksi peringatan hari HAM, dan perampasan ponsel wartawan (padahal telah terlindungi oleh kebebasan dan kemerdekaan pers berdasarkan UU. No. 40 Tahun 1999 tentang Pers).

Apa Kabar Perlindungan Pembela HAM?

Hamid Awaludin dalam bukunya “HAM: Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional” (2012), menyatakan bahwa gerakan HAM adalah gerakan sejagad yang telah berpenetrasi ke seluruh aspek kehidupan. HAM bukan lagi sebuah wacana dan keyakinan, tetapi sesuatu yang hadir dan konkret.

Gerakan HAM merupakan gerakan yang telah dilakukan dan diakui oleh masyarakat internasional lewat instrumen HAM internasional. Namun, berbagai macam prinsip dan ketentuan yang sudah disepakati Indonesia dalam instrumen internasional tentang HAM, belum secara maksimal diimplementasikan dalam ranah hukum nasional.

Pemerintah harus membuat regulasi yang melindungi kerja-kerja pembela hak asasi dan mengubah stigma bahwa pembela hak asasi sebagai pengkhianat negara terlebih lagi sebagai istilah yang dikenal mutakhir ini sebagai social justice warior (SJW).

Rahayu dalam penelitiannya berjudul “Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Pembela Hak Asasi Manusia (Human Rights Defenser) di Indonesia” memberikan penjelasan bahwa pada kenyataannya seringkali negara tak sepenuhnya hadir dalam kewajiban melindungi dan pemenuhan terhadap hak-hak masyarakat sipil.

Dalam kaitannya dengan pembela HAM, Indonesia sampai hari ini belum memiki aturan hukum yang secara khusus mengatur pemberian perlindungan terhadap pembela HAM dalam aktivitasnya. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pun belum secara tegas dan eksplisit mengatur tentang perlindungan pembela HAM. Pelanggaran hukum yang dialami pembela HAM di Indonesia antara lain disebabkan karena sampai saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap pembela HAM dalam melakukan aktivitasnya.

 

*Mahasiswa Fakultas Hukum Unnes, Redaktur NuansA BP2M Unnes.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *