LINIKAMPUS Blog Jepret Tokoh Mengulik Fenomena Ghosting dari Perspektif Psikologi
Beranda Jepret Tokoh

Mengulik Fenomena Ghosting dari Perspektif Psikologi

Ilustrasi Mengulik Fenomena Ghosting dari Perspektif Psikologi. [BP2M/Suci]

Akhir-akhir ini, isu ghosting sedang ramai diperbincangkan di media sosial. Topik ini bahkan sempat masuk dalam daftar trending di Twitter sepekan lalu. Berawal dari perkenalan melalui jejaring sosial, kemudian merambah via pesan pribadi. Seperti yang dilansir dalam akurat.co, istilah ghosting sebenarnya sudah ramai beberapa tahun terakhir, bahkan kata ghosting sudah masuk ke dalam Collins English Dictionary, artinya memutuskan seluruh komunikasi tanpa memberikan peringatan yang jelas.

Media sosial adalah media perantara yang memiliki andil besar dalam fenomena ghosting. Tak lain karena pelaku dan korban hanya kenal via tulisan dan gambar, tanpa mengetahui identitas aslinya. Jadi, semakin memudahkan pelaku untuk tiba-tiba ‘menghilang’. Fenomena ghosting ini banyak dialami oleh para muda mudi umumnya pada segi asmara, tapi tak menutup kemungkinan fenomena ghosting juga terjadi dalam ranah pertemanan bahkan pekerjaan. Dampak dari ghosting bagi kesehatan mental dan kejiwaan seseorang tak bisa dianggap sepele. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai ghosting serta pengaruhnya, juga kiat-kiat agar dapat terhindar dari ghosting, berikut petikan wawancara Linikampus dengan Dosen Psikologi Unnes, Pradipta Christy Pratiwi, Minggu (14/3/2021).

Dalam lingkup psikologi, ghosting termasuk dalam kajian apa?

Fenomena ghosting banyak dibahas dari perspektif psikologi, terkhusus mengenai topik relasi interpersonal. Relasi interpersonal membahas mengenai hubungan antara individu dengan individu lainnya. Sebagai makhluk yang memerlukan orang lain, mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang terhadap orang lain selalu menjadi topik yang tidak pernah habis dibahas. Konteks ghosting biasanya dikaitkan dengan romantic relationship atau relasi berpacaran. Ghosting banyak terjadi pada usia remaja hingga dewasa muda kisaran usia 18 sampai 30 tahun. Pada rentang usia tersebut, individu sedang dalam tahapan psikososial menjalin relasi intim (intimate relationship) dengan lawan jenis. Tahapan ini secara alamiah terjadi karena di rentang usia tersebut merupakan usia persiapan menuju jenjang berikutnya yaitu pernikahan.

Dalam salah satu utas oleh akun twitter @magdaleneid, tertulis bahwa ghosting termasuk ke dalam tindak kekejaman emosional, apa hal tersebut benar? Lalu, bentuk dari kekejaman emosional meliputi apa saja dan bagaimana bentuk atau macamnya?

Dikatakan bahwa ghosting adalah suatu tindakan kekejaman emosional, hal ini sangat tergantung pada respons yang ditimbulkan dari suatu peristiwa ghosting. Apabila ghostee (orang yang terkena ghosting) menginterpretasikan suatu peristiwa ghosting sebagai peristiwa yang menyakitkan baginya, maka dapat dikatakan ghosting sebagai suatu kekejaman atau kekerasan begitu pula sebaliknya. Memang pada umumnya, dampak yang ditimbulkan dari ghosting adalah respons-respons fisik dan psikologis yang negatif, sangat jarang ada orang yang baik-baik saja setelah mengalami ghosting dalam konteks apapun, termasuk relasi romantis atau berpacaran. Kekejaman emosional dapat berbentuk penolakan sosial (meninggalkan atau mengabaikan), membatasi atau melarang, mengancam, mengisolasi, menuduh, menghina, kritik yang terus-menerus, serta pemaksaan. Dalam konteks ghosting, yang biasa terjadi adalah penolakan sosial.

Apa saja faktor yang mendorong  seseorang melakukan ghosting?

Grande dalam laman PsychologyToday, menyebutkan beberapa alasan seseorang melakukan ghosting. Kita dapat memahami beberapa alasan yang memungkinkan di antaranya adalah menghindari konfrontasi, kekuatan terhadap emosi yang intim, memiliki tipe kepribadian yang narsistik, dan ketakutan terhadap reaksi yang berkekerasan.

Bagaimana dampak ghosting bagi mental atau kejiwaan seseorang?

Tentunya berdampak buruk. Sangat sedikit orang yang bisa menerimanya dengan mudah dan kemudian move on, pasti memerlukan jeda waktu. Respons alamiah yang mungkin muncul dari peristiwa tersebut adalah perasaan bingung, menyalahkan diri sendiri, perasaan marah, kehilangan harapan dan mimpi, meragukan diri sendiri, merasa malu, menurunkan harga diri, hingga memiliki gambaran diri (self-image) yang keliru. Berbagai masalah psikologis seperti distress, frustasi, dan depresi, sangat terkait dengan harga diri yang rendah dan pandangan keliru terhadap diri sendiri. Beberapa penelitian menunjukkan adanya respons negatif pada ghostee. Ilmuwan neurologi asal Italia, Giovanni Novembre, Marco Zanon, dan Giorgia Silani (2015) bahkan menemukan adanya korelasi antara penolakan sosial dan luka fisik terhadap aktivasi beberapa area otak sebagai responsnya, salah satunya bagian somatosensori.

Bagaimana andil media sosial dalam fenomena ghosting saat ini?

Media sosial ibarat pedang bermata dua. Ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positifnya, semakin mudah masyarakat mengakses informasi yang kreatif dan informatif mengenai ghosting. Artinya, menambah pengetahuan masyarakat sehingga membuka peluang preventif untuk bertindak hati-hati dalam menjalin relasi dengan orang lain. Sisi negatifnya, media sosial juga dapat menjadi sarana seseorang melakukan ghosting. Misalnya, mengakhiri hubungan melalui media sosial kemudian menutup segala akses komunikasi. Artinya, berkembangnya teknologi atau media sosial juga menambah peluang terjadinya ghosting.

ilustrasi ghosting
Ilustrasi Andil Media Sosial dalam Fenomena Ghosting Saat Ini. [BP2M/Suci]
Jika media sosial memiliki andil yang besar terkait dengan fenomena ghosting, bagaimana cara kita menyikapi hal tersebut agar terhindar dari ghosting mengingat media sosial adalah hal yang sulit dilepaskan dari hidup kita?

Tidak mungkin kita melepaskan diri dari media sosial, karena kita hidup di era yang penuh dengan kemajuan teknologi. Yang bisa kita lakukan adalah hidup berdampingan dengan media sosial. Miliki perspektif, aktivitas, dan komitmen yang bermanfaat atas penggunaan media sosial. Ketika kita punya perspektif yang jelas dan terarah dari penggunaan media sosial, hal ini akan mengarahkan kita pada aktivitas dan komitmen penggunaan media sosial yang terarah pula. Kenali terlebih dulu motivasi yang menjadi alasan kita memiliki media sosial. Apa alasannya? Apa manfaatnya untuk saya? Lalu evaluasi secara berkala atas penggunaan media sosial yang kita miliki. Baik bentuk posting maupun searching, pikirkan terlebih dulu tujuannya, asas kebermanfaatannya untuk diri sendiri dan orang lain dan bayangkan dampaknya. Hal ini akan melatih diri kita untuk tidak tergesa-gesa atau refleks bertindak tanpa memikirkannya terlebih dulu. Hal ini membantu kita lebih bijak menggunakan media sosial.

Apa yang harus kita lakukan jika menjadi korban ghosting atau pelaku ghosting itu sendiri?

Bagi kita yang menjadi ghostee, perlu kita pahami bahwa setiap orang punya ‘penderitaannya’ masing-masing. Alih-alih menyalahkan ghoster, yang justru akan membuat kita menderita lebih lama karena sulit mengampuni, maka sebaiknya kita mengambil waktu ‘me time’ dan refleksi. Refleksikan dari kejadian yang boleh kita alami. Panduan refleksi yang bisa kita lakukan meliputi: “Apa yang sedang terjadi?”, “Bagaimana pikiran dan perasaan yang saya alami?”, “Apa yang sudah baik saya lakukan?”, “Apa yang perlu saya perbaiki?”, dan “Hal baik apa yang bisa saya lakukan untuk diri saya sendiri dan orang lain ke depannya?”. Perlahan terima peristiwa yang terjadi tanpa terburu-buru, bangun dukungan sosial dari orang-orang terdekat, jalani aktivitas yang menyenangkan atau menjadi hobi, dan keputusan untuk membuka lembaran hidup yang baru. Apabila mengalami ketidaknyamanan secara psikologis yang tidak dapat diatasi sendiri, maka perlu mencari bantuan profesional/konselor/psikolog.

Bagi kita yang menjadi ghoster, pertimbangkan posisi orang lain atau pasangan. Bayangkan apabila kita yang mengalaminya. Apa kira-kira yang terjadi? Bagaimana perasaan kita jika menjadi korban ghosting? Dengan mempertimbangkan hal tersebut, diharapkan dapat meningkatkan empati yang kita punya terhadap orang lain. Meskipun kita tidak bertanggung jawab atas derita psikologis orang lain, namun paling tidak kita tidak berkontribusi atas peluang terjadinya derita psikologis orang lain.

Bagaimana saran dan kritik Ibu terhadap muda mudi saat ini yang rentan mengalami ghosting?

Masalah akan tetap ada selama kita hidup. Kita juga tidak akan pernah tahu apakah ke depannya juga akan mengalami (ghostee) atau melakukan (ghoster). Perspektif yang perlu dipahami dan dijadikan habit mulai dari sekarang adalah kesejahteraan psikologis kita adalah tanggung jawab diri kita sendiri, maka kenali “kerentanan” yang kita miliki. Love your-self, lakukan self-care, dalam hal ini juga mencakup menerima kekurangan diri kita sendiri. Dengan menerima kekurangan diri kita sendiri, kita akan berpikir berulang-ulang kali jika akan berlebihan menyalahkan diri sendiri atau bertindak negatif terhadap orang lain. Ketika kita bisa berempati terhadap diri sendiri, hal tersebut juga menjadi fondasi empati terhadap orang lain. Selalu pertimbangkan dampak (pro-cons) dari setiap pikiran, perasaan dan tindakan yang kita lakukan. Sebagai penutup, tidak ada salahnya mencari pertolongan kepada orang-orang terdekat yang dapat dipercaya atau kepada profesional apabila merasa tidak mampu menyelesaikan suatu masalah secara mandiri.

Referensi:

Empathy for Social Exclusion Involves the Sensory-Discriminative Component of Pain: a Within-Subject fMRI Study Giovanni Novembre, Marco Zanon, and Giorgia Silani; Scuola Internazionale Superiore di Studi Avanzati, Neuroscience Sector, Trieste, Italy SCAN (2015) 10,153-64

Freedman, G., Powell, D. N., Le, B., & Williams, K. D. (2018). Ghosting and Destiny: Implicit Theories of Relationships Predict Beliefs About Ghosting. Journal of Social and Personal Relationships, 0265407517748791.

Grande, D. (April 3rd, 2018). Four Reasons People Ghost Their Way Out of Relationships. Psychology Today, retrieved from https://www.psychologytoday.com/intl/blog/in-it-together/201804/4-reasons-people-ghost-their-way-out-relationships.

Koessler, Rebecca B., “When Your Boo Becomes a Ghost: The Association Between Breakup Strategy and Breakup Role in Experiences of Relationship Dissolution” (2018). Electronic Thesis and Dissertation Repository. 5402.

https://ir.lib.uwo.ca/etd/5402

LeFebvre, L., Rasner, R., Allen, M., & Parrish, C. (2019). Ghosting in Emerging Adults’ Romantic Relationships: The Digital Dissolution Disappearance Strategy. Imagination Cognition and Personality: Consciousness in Theory, Research, and Clinical Practice, pp. 1-29.

Ilustrasi Pradipta Christy Pratiwi, S.Psi., M.Psi. [BP2M/Tria]
Narasumber: Pradipta Christy Pratiwi, S.Psi., M.Psi.

Pengalaman:

  • Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang
  • Anggota Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI)
  • Anggota Himpunan Ikatan Psikologi Klinis Indonesia (IPK)
  • Psikolog rekanan Lab. Psikologi, Jurusan Psikologi, FIP Unnes
  • Salah satu penulis buku Bunga Rampai Psychology for Daily Life 2 dan Book Chapter Psikologi Indonesia
  • Co-founder @yuksehatmental
  • Pemerhati bidang Psikologi klinis dan kesehatan mental dewasa muda, khususnya intimate partner violence/domestic violence/dating violence

 

Reporter: Amanda dan Jihan

Editor: Hani

Exit mobile version