Simalakama Perkuliahan Tatap Muka
Opini Ulasan

Simalakama Perkuliahan Tatap Muka

simalakama perkuliahan tatap muka

Oleh: Diki Mardiansyah*

Kabar baik datang bagi mahasiswa yang sudah bosan dan jenuh dengan perkuliahan daring. Tajuk rencana koran Suara Merdeka tertanggal 22 Maret 2021 mencatat: kegiatan belajar-mengajar diizinkan untuk digelar lagi secara tatap muka. Kabar tersebut kali pertama disampaikan oleh Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto.

Pemerintah berencana mengizinkan perkuliahan tatap muka secara bertahap mulai April 2021 (Kompas, 22/3/2021). Kabar itu semestinya menjadi angin segar. Lebih lanjut, bisa mendapatkan perhatian dan kesiapan bagi perguruan tinggi. Kampus harus segera berbenah dan menyusun mitigasi untuk meminimalkan potensi penularan Covid-19 saat perkuliahan dijalankan secara tatap muka. Meskipun, di beberapa kampus sudah memberlakukan protokol kesehatan bagi dosen dan tenaga pendidik lain yang masih harus bekerja di kampus.

Diizinkannya perkuliahan tatap muka menjadi simalakama. Kasus Covid-19 di Indonesia yang masih tak kunjung membaik secara signifikan dihadapkan dengan persoalan mahasiswa yang ingin dan butuh kembali menjalankan perkuliahan tatap muka.

Akun Instagram @pandemictalks menerangkan, per 29 Maret 2021 Indonesia resmi menebus milestone satu setengah juta kasus terkonfirmasi. Penambahan kasus total harian di Indonesia masih stabil di angka ribuan, dengan proporsi angka kematian yang relatif tinggi pula.

Di tengah euforia vaksinasi di kalangan pejabat, influencer, dan tokoh publik lain, ternyata kasus Covid-19 masih terus bertambah. Menurut Ahmad Arif–jurnalis Bencana dan Lingkungan Kompas, di Indonesia kasusnya menurun seiring jumlah tes yang turun pula. Hal ini pun diverifikasi kembali oleh akun @pandemictalks yang menyebutkan rendahnya jumlah testing harian dan positive rate yang walaupun sudah turun, masih jauh dari standar minimal di mana testing bisa dikatakan cukup. Pelacakan di level klaster sangat lemah bahkan hampir tidak ada. Hal ini mengindikasikan, pada dasarnya kasus di Indonesia jauh lebih banyak dari yang dilaporkan dan penularan di level komunitas–antar warga–sebenarnya masih tinggi.

Kondisi kasus Covid-19 yang masih tinggi itu dibarengi dengan keinginan oleh–sedikit dan banyaknya–mahasiswa untuk menjalankan perkuliahan tatap muka. Setahun perkuliahan daring membuat bosan dan jenuh. Ketika membaca koran Tribun Jateng (25/3/2021), Mufidatul Munawaroh menuliskan kejenuhan belajar di kalangan mahasiswa.

Mufidatul berpandangan aktivitas perkuliahan secara daring berdampak pada psikologis mahasiswa. Transformasi kelas-kelas perkuliahan menjadi kelas virtual akan menimbulkan rasa bosan. Salah satu sebabnya adalah kebutuhan interaksi sebagai makhluk sosial menjadi sangat terbatas.

Barangkali kita sepakat, kebosanan dan kebutuhan interaksi yang dirasakan mahasiswa saat perkuliahan daring. Kebosanan menatap gawai dan materi yang sulit dipahami karena keterbatasan dosen menyampaikan materi dan alasan personal mahasiswa sendiri. Kebosanan lain, lahir karena tugas-tugas menumpuk, bahkan tidak mendapatkan timbal balik (feedback) dari dosen. Hal ini, mungkin banyak dari kalangan mahasiswa yang mengalaminya.

Setahun perkuliahan daring, membuat interaksi antar sesama mahasiswa tidak terjadi. Padahal setelah perkuliahan, biasanya pembahasan materi yang disampaikan di bangku kampus berlanjut di angkringan, burjo, dan warung kopi. Pengetahuan, wawasan, dan kabar yang terjadi belakangan biasanya lahir dan  menjadi obrolan ringan di tempat-tempat semacam itu.

Harus diakui, kita tak bisa sepenuhnya bersandar kepada sistem pembelajaran daring. Kita cepat atau lambat harus kembali ke pembelajaran tatap muka. Saratri Wilonoyudho menulis tulisan menarik berjudul “Generasi yang Hilang” (Suara Merdeka, 26/3/2021). Prof. Saratri mencatat persoalan rumit jika mahasiswa yang hanya belajar lewat daring memerlukan praktik yang harus dilalui, bahkan berisiko mengancam keselamatan klien jika sudah bekerja nanti, seperti mahasiswa teknik dan kedokteran.

Hal itu pun dirasakan saya dan (barangkali) teman-teman Ilmu Hukum, yang biasanya di semester 6 mengadakan praktik simulasi peradilan secara langsung di kampus. Belum lagi, teman-teman saya di jurusan Pendidikan Jasmani dan Keolahragaan Rekreasi (PJKR) yang sering melakukan praktik mandiri selama perkuliahan daring. Praktik-praktik yang seharusnya diadakan di kampus, kini tak bisa dijalankan dan menghilangkan pengalaman praktik bersama mahasiswa lain di kampus.

Prof. Saratri kembali melanjutkan, “Apa yang ditakutkan jika pembelajaran tatap muka tetap dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat? Bukankah dengan belajar daring banyak siswa yang berkeliaran di luar yang justru lebih terancam tertular Covid-19?”.

Tidak dipungkiri, meskipun pembelajaran masih secara daring. Sebagian mahasiswa sudah kembali ke indekos entah untuk keperluan organisasi ataupun urusan lain. Lingkungan kampus mulai ramai. Bahkan, aksi mahasiswa pun bisa digelar di kampus, yang tentu saja menimbulkan kerumunan massa.

Belum lagi, tempat tongkrongan anak muda yang ramai hingga larut malam. Bahkan, di tahun ini masjid-masjid di Jakarta buka di bulan suci dan Idul Fitri (Koran Tempo, 30 Maret 2021). Jakarta, kota dengan jumlah penduduk terbanyak itu sudah memberikan izin beribadah di masjid, tak seperti tahun sebelumnya. Apalagi, di daerah-daerah luar Jakarta?

Perkuliahan tatap muka semestinya bisa dilaksanakan dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan secara ketat. Program vaksinasi beberapa sudah menjangkau dosen dan tenaga pendidikan. Kita mahasiswa masih terus menantikan program vaksinasi. Vaksinasi bagi dosen, tenaga pendidikan, dan mahasiswa menjadi penting untuk menunjang kegiatan perkuliahan tatap muka yang aman di masa pandemi.

Tidak mudah mengambil keputusan untuk menjalankan pembelajaran tatap muka di tengah kasus Covid-19 masih tinggi. Guna menjalankan pembelajaran tatap muka, kesadaran mematuhi protokol kesehatan itu wajib, penting, dan perlu. Semoga, kelak, generasi kita tak seperti yang dituliskan oleh Prof. Saratri, sebagai generasi yang hilang.

 

*Mahasiswa Ilmu Hukum Unnes 2018

Diki Mardiansyah [Dok. BP2M]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *