Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Beranda Kabar Utama

Civitas Akademika Unnes Mendesak Dibentuknya Regulasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual

Ilustrasi Civitas Akademika Unnes Mendesak Dibentuknya Regulasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual [BP2M/Suci]

Civitas akademika Unnes merasa perlu agar kampus memiliki regulasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Unnes. Terekam dari hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Research and Development bekerjasama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anti Kekerasan Seksual (KP2AKS) BEM KM Unnes mencatat sebagian besar responden (82,7 %) setuju apabila Unnes berkomitmen untuk membentuk regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.

Berdasarkan data hasil survei tersebut, jumlah kejadian kekerasan seksual di Universitas Negeri Semarang (Unnes) relatif tinggi. Tercatat dari 133 responden, 59 di antaranya mengaku pernah mengalami kekerasan seksual. Dari data yang didapat, korban kekerasan seksual di lingkungan kampus paling banyak berstatus mahasiswa, yakni 92,48%. Sebagian kecil kasus lain dialami oleh karyawan sebanyak 4,51%, dosen 0,75%, dan alumni 2,26%.

Survei tersebut dilakukan untuk menghimpun aspirasi mengenai kasus kekerasan seksual, meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan akan kasus kekerasan seksual kepada khalayak, serta dasar dalam pengajuan kepada birokrasi untuk segera membuat regulasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di wilayah Unnes.

Sementara itu, di tengah berlangsungnya survei, kasus kekerasan seksual oleh mahasiswa AAS muncul ke publik (18/3). Namun, dari penuturan Siti Nur Dzakiyatul Khasanah, Menteri KP2AKS kasus tersebut tidak dibawa ke bidang akademik karena beberapa kekhawatiran dari penyintas.

Kiya menjelaskan beberapa kekhawatiran tersebut adalah Unnes belum memiliki payung hukum yang jelas, keamanan ataupun kenyamanan penyintas dirasa kurang karena pihak akademik pasti harus tahu kronologisnya secara detail, terlebih jika harus bertemu dengan penyintas dan mengetahui identitas penyintas, dan tidak menutup kemungkinan bahwa pihak kampus juga ada yang menjadi pelaku.

Ragunya pemberian sanksi akademik kepada pelaku disebabkan karena hal itu dirasa tidak memberikan efek jera. Menurutnya, sanksi sosial dianggap lebih efektif daripada sanksi akademik, sehingga kasus ditutup dengan pendampingan antara penyintas dan pelaku.

“Karena ketika ada tindakan dari bidang akademik, itu tidak menjamin akar masalah ini terselesaikan. Di mana akar permasalahannya adalah pola perilaku dari pelaku. Perlu kita tahu, Unnes belum mempunyai payung hukum khusus tentang kekerasan seksual sehingga saat ini kami mendesak adanya peraturan khusus tentang kekerasan seksual di Unnes,” kata Kiya (7/4).

Dari total 8 fakultas, angka kasus kekerasan seksual tertinggi berada di FIP sebanyak 15.8%, disusul FBS dengan 12.6%, FMIPA 11%, FIS 8.7%, FE 6.3%, FT 3.2%, FIK 2.36% dan FH 1.6%. Sedangkan 38.6% responden sepakat tidak memberitahu fakultasnya.

Jenis Kekerasan Seksual dan Respon Korban

Dari data yang dihimpun, jenis kekerasan seksual yang paling banyak dialami korban adalah pelecehan seksual dengan persentase 58.5%, pemerkosaan 9.3%, perbudakan seksual 6.2%, eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi 5.7%, pemaksaan perkawinan 4,7%, pemaksaan kontrasepsi 4.2%, penyiksaan seksual 3.6%, dan pemaksaan pelacuran 2.1%.

Adapun respons korban terhadap kekerasan seksual yang dialami sebagian besar adalah merasa freeze (diam, kaku, tidak berkutik) dengan persentase 52.6%, sedangkan sisanya melakukan fight (melawan balik, berteriak, memarahi) dengan persentase 24,1%, serta flight (menghindar, lari) dengan persentase 23.3%.

Sedangkan jika ditinjau dari angka kasus kekerasan seksual yang telah dilaporkan secara mandiri oleh korban, hasil survei menunjukan hanya 27.1% korban yang melaporkan diri, sedangkan 72.9% tidak melapor. Sebagian besar korban tidak melakukan pelaporan terhadap kasus kekerasan seksual yang dialaminya, sedangkan sisanya sudah melapor ke pihak atau lembaga yang berwenang.

Menyitir dari laman Asumsi.co, korban kekerasan seksual memiliki beberapa alasan untuk tidak melaporkan kasusnya. Alasannya, Indonesia belum punya tonggak hukum yang berorientasi melindungi korban atau penyintas kekerasan seksual. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah pelecehan seksual, tetapi perbuatan cabul. Perkosaan juga dimaknai sebatas penetrasi penis ke vagina.

Selain itu, Pasal 285 KUHP mendefinisikan pemerkosaan sebagai tindakan memaksa seorang perempuan melakukan persetubuhan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pasal 286 juga mengatakan, bersetubuh dengan perempuan yang sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Namun, pasal-pasal ini tidak berlaku bagi kasus pemerkosaan yang terjadi dalam hubungan suami istri. Pasal ini juga menganggap hanya perempuan yang dapat menjadi korban, sehingga tidak memungkinkan bagi korban laki-laki untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialaminya ke polisi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga cenderung membebankan pembuktian kepada korban.

Urgensi Regulasi Penanganan Kekerasan Seksual

Terkait urgensi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Unnes, sebanyak 82.7% responden merasa perlu. Banyak responden yang setuju apabila Unnes berkomitmen untuk membentuk regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di Unnes.

Di Indonesia sendiri baru terdapat empat Perguruan Tinggi Negeri yang telah memiliki regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Keempat perguruan tinggi tersebut yakni Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Brawijaya (UB), dan Universitas Indonesia (UI).

UGM memiliki Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Masyarakat Universitas Gadjah Mada. Unpad memiliki Peraturan Rektor Universitas Padjadjaran Nomor 16 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Universitas Padjadjaran. UB memiliki Peraturan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dan Perundungan. Sedangkan UI memiliki Buku Saku Standar Operasional Penanganan (SOP) Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus.

Selain keempat perguruan tinggi di atas, di bawah Kementerian Agama, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam juga memiliki regulasi tersendiri. Regulasi tersebut diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Dari hasil audiensi antara pihak kampus dengan perwakilan BEM KM Unnes pada (31/3), diputuskan bahwa pihak pimpinan kampus akan membuat peraturan rektor dan unit layanan soal kekerasan seksual. BEM KM sendiri saat ini masih mengikuti kelanjutan dari hasil audiensi tersebut.

Kiya mengatakan bahwa BEM KM masih dalam tahap melakukan diskusi internal guna memperdalam hal-hal yang diperlukan dalam peraturan rektor dan unit layanan kekerasan seksual.

“BEM KM sudah menyusun tim khusus untuk mengawal bahwa dalam semester ini atau selambat-lambatnya dalam tahun ini, peraturan rektor bisa diterbitkan dan unit layanan kekerasan seksual akan berdiri dengan kolaborasi antara pihak pimpinan dan mahasiswa,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unnes Abdurrahman, mengatakan bahwa pihaknya sepakat dengan dibentuknya tempat pengaduan dan regulasi kekerasan seksual. Terkait dengan pembuatan regulasi, pihaknya menggandeng BEM khususnya Menteri dari KP2AKS, dosen Fakultas Hukum, dan Bidang Kemahasiswaaan terkait dengan penyusunannya.

“Kemarin kami sudah menghubungi LP3 (Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Profesi), terkait mahasiswa jika ingin mengadu KS (kekerasan seksual) jangan di fakultas, WD3 (Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan), dekan, prodi, atau jurusan karena ranahnya masalah pribadi (privat). Jadi, kalau ada mahasiswa yang mengadu atau merasa menjadi korban kekerasan seksual baik oleh dosennya atau bukan, langsung mengadu (ke) pusat penanggulangan kekerasan seksual (di) LP3,” kata Abdurrahman (12/4).

Di samping itu, Kiya berharap hasil survei yang dibuat BEM KM mampu menjadi dasar kajian atau analisis guna pembuatan peraturan rektor dan unit layanan kekerasan seksual.

“Perihal dalam data banyak penyintas yang mengisi, kami terbuka bagi seluruh penyintas untuk berbagai cerita. Kami, KP2AKS khususnya zone center akan berusaha menjadi fasilitator untuk menjadi teman bagi penyintas melakukan healing. Hasil survei ini juga sedikit banyak sudah kami sampaikan kepada pimpinan Unnes dan mendapat tanggapan positif dengan komitmen bersama memberantas kekerasan seksual di kampus,” katanya.

Dari penuturan Abdurrahman, sejauh ini terdapat 14 kasus kekerasan seksual yang ditangani dan 6 di antaranya sudah menunjukkan bukti. Ia menambahkan, jika terdapat kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus agar korban melapor secara tertulis ke LP3 yang nantinya akan ditangani oleh tim ahli dari Bimbingan Konseling dan Penanggulangan Kekerasan Seksual LP3 Unnes.

“Kalau hanya diam, tidak bergerak, dan tidak ada laporan, tidak bisa ditangani karena itu masalah privat yang seharusnya diatasi oleh tim ahli yang telah disiapkan untuk ditangani dengan sungguh-sungguh. Kalau hanya diobral di lapangan tanpa ada laporan, kasihan ke korban yang telah diinfokan sedemikian rupa tapi tidak ada solusi,” katanya.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan, dosen yang menjadi pelaku kekerasan seksual dapat dikenai pemecatan. “Akan ditindak secara tegas, jika dosen atau karyawan melakukan hal itu ada PP-nya sendiri. Selanjutnya WR2 akan menangani hal tersebut dengan sungguh-sungguh, bila perlu hingga pemecatan. Namun, hal tersebut hanya bisa bergerak setelah ada laporan. Yang terpenting segera laporkan, nanti akan kami tindak secara tegas,” tuturnya.

 

Reporter : Ananda & Azizah

Editor : Hani

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *