Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) Komda Semarang mengadakan diskusi yang bertajuk “Diskusi dan Deklarasi Jihad Santri Menolak Industri Ekstraktif dan Eksploitasinya terhadap Perempuan”, Kamis (22/4). Adetya Pramandira, panitia diskusi menuturkan bahwa acara ini dilatarbelakangi oleh pengambilan momentum di Hari Bumi dan Hari Kartini yang kebetulan jatuh pada bulan Ramadan.
“Kami melihat industri ekstraktif cukup masif di Indonesia dan eksploitasinya terjadi di mana-mana dan memberikan dampak yang luar biasa. Jadi kupikir mencoba dari itu maka santri ke depannya lebih peka terhadap isu-isu lingkungan, agraria, dan persoalan perempuan, yang mana jarang sekali masuk ke dalam dunia santri,” katanya.
Rusmadi, narasumber dari Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) PWNU (Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama) Jawa Tengah mengatakan bahwa industri ekstraktif hanya menguntungkan satu aspek saja, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cepat. Ia berpendapat bahwa seharusnya pemerintah dapat membangun industri yang bersih dan berkeadilan. “Bersih dalam artian clean production yaitu tidak menimbulkan dampak, serta berkeadilan yang berarti tidak mengabaikan keadilan sosial maupun keadilan lingkungan ketika sedang membela lingkungan,” ujar Rusmadi.
Sementara itu, terkait dampak industri ekstraktif dan eksploitasinya terhadap perempuan, Lenny Ristianti perwakilan dari LRC-KJHAM (Legal Resources Center-untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia) menuturkan bahwa perempuan mendapat banyak ketidakadilan dan diskriminasi.
“Banyak perempuan-perempuan yang akhirnya terdampak oleh industri ekstraktif ini. Sebagai contoh adalah pembangunan tol di Kendal yang telah memakan lahan pertanian, di mana lahan tersebut menjadi tempat kerja bagi para perempuan setempat, yang pada akhirnya menyebabkan banyak perempuan memilih menjadi TKW (tenaga kerja wanita) dan rentan terhadap kekerasan seksual serta perdagangan manusia,” kata Lenny.
Ia juga mengatakan bahwa perempuan jarang dilibatkan dalam proses politik sebuah keputusan, dalam hal ini adalah Musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) atau juga musyawarah lainnya di desa. “Perempuan jarang didengar pendapatnya dan disadari eksistensinya,” ujarnya.
Danang Puji Atmojo perwakilan dari FNKSDA Semarang menyatakan bahwa sebagai santri maka seharusnya bisa memaknai jihad dengan cara mempertahankan tanah air dari rongrongan industri ekstraktif ini.
Dalam diskusi ini, kaum santri juga turut mendeklarasikan gagasan sebagai bagian dari jihad yang harus mereka jalankan. Di antaranya menolak industri ekstraktif dan juga eksploitasinya terhadap perempuan, berkomitmen dalam menjaga lingkungan dan mengelola kekayaan alam secara berkeadilan, serta mengecam sistem produksi kapitalisme sebagai sumber dari segala sumber kerusakan dan kemelaratan.
Reporter: Suci & Izza
Editor: Alya