Oleh: Laili Ayu Ramadhani
Lakonana klawan sabaring kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundul
Lantunan tembang itu sayup-sayup terdengar. Merambat melalui dinding kayu, lantas keluar lewat kisi-kisi jendela. Berbaur dengan riuh kerik jangkrik di luar. Nyanyian yang menenangkan hati. Suara itu dengan lembut menyibak keheningan malam. Tapi percuma saja. Tak ada yang mendengarnya. Tak ada yang terjaga di jam satu pagi. Orang-orang lebih pilih menarik selimut dan terbenam dalam mimpi.
Namun, tidak bagi Darti. Perempuan paruh baya itu masih khidmat memilah kembang kantil. Tangan keriputnya telaten memisahkan kembang yang mekar dan yang masih kuncup. Matanya sayu oleh kerut usia. Bertambah sayu oleh kantuk yang menggelayut di pelupuk mata.
“Ambedidung gowo kendhi. Isine Rupiah keton,” lantun Darti melanjutkan kidung. Cengkoknya meliuk di ujung nada. Tak kalah dengan sinden kondang di dusun.
Satu dua kali ia menguap. Mengucek mata yang mulai merah dan berair. Ia sisipkan anak rambut yang beranjak memutih ke telinga. Usai memilah, kini ia merangkai kembang kantil yang mekar. Darti mengambil jarum yang tadi disusupkan di jarik. Matanya menyipit. Ia arahkan kedua tangan yang memegang jarum dan benang ke dekat damar. Setelah berkali-kali meleset, akhirnya benang itu berhasil melewati lubang jarum. Satu per satu kembang kantil dirangkai. Seperti halnya meronce kalung dari manik-manik.
Kantuk semakin berat bergelantungan di pelupuk mata. Namun, ia harus merampungkan pekerjaan ini. Esok hari sajen harus siap. Secawan kembang kantil, ditambah sejumput bunga setaman, dan kemenyan. Tak lupa, rangkaian bunga kantil yang nanti disampirkan di jendela.
“Akhire rampung. Iki lho, Pak. Sawangen kembang kantil sing ayu iki. Besok siap dipajang. Oiyoo kopimu. Besok tak gaweke kopi luwak senenganmu. Karo gedang goreng cocok, Pak,” rancau Darti.
Ia lupa jika tak ada seorang pun di rumah kecilnya, kecuali dirinya. Tak akan ada yang menyahut. Terlebih, tak ada suaminya. Kuyakin pasti ia tak lupa akan hal itu. Tak akan lupa dengan peristiwa dua tahun lalu. Saat ia harus kehilangan suaminya. Kecelakaan tragis telah merenggut paksa orang yang paling dikasihinya.
Hidup Darti sederhana. Ia tinggal bersama suaminya di cungkup kecil dekat sawah. Gusti tak menitipkan momongan. Alhasil, ia menghabiskan hidupnya berdua dengan sang suami. Saban hari, suaminya bekerja di sawah milik Pak Carik. Sedangkan Darti mengurus rumah. Sesekali ia akan membantu sang suami saat musim panen tiba. Warga desa mengenal suaminya sebagai orang yang baik nan ramah.
Namun pagi itu, hatinya resah tak karuan. Ada perasaan mendesir yang membuatnya tak bisa duduk tenang. “Bapak nyawah dulu, Bu,” ujar suaminya. Darti sempat menahan suaminya pergi. Coba ia tawarkan segelas kopi lagi. Tapi sang suami hanya menggeleng dan mulai melangkahkan kaki. Perasaan khawatir semakin menjadi-jadi saat suaminya pergi. Berat rasanya melepas sang suami pergi ke sawah.
Tak selang berapa lama, keresahan itu terjawab sudah. Narto, tetangga rumah yang juga bekerja bersama suaminya, datang tergopoh-gopoh. Wajahnya pucat pasi. Napasnya beradu dengan kata yang hendak ia ucapkan.
“Mbok, Bapak, Mbok,” ucapnya sambil terengah.
“Bapak kenopo, Le?” tanya Darti tak kalah panik.
“Bapak kecelakaan, Mbok,” jawab Narto sembari mengatur napas.
“ Ning ndi, Le? Kok bisa ya Gusti,” sahut Darti yang kalang kabut.
“Prapatan dusun,” jawab Narto. Darti sudah lari pontang-panting.
Ia bergegas menghampiri suaminya. Sudah banyak warga yang berkerumun di sana. Darti menyibak keramaian itu. Dilihatnya tubuh itu terkulai di jalan. “Bapak!! Tangi, Pak!!” jerit Darti histeris. Ia hampiri tubuh yang bersimbah darah itu. Beberapa warga mencoba menenangkan. Darti hanya bisa menangis dan memeluk raga suaminya yang membeku, yang tak lagi dihuni ruh.
Sepeninggal suaminya, Darti menjadi orang yang aneh. Ia banyak melamun. Terduduk di dipan depan rumah dengan tatapan kosong. Kadang ke sawah, kadang hanya terlantung-lantung di rumah. Bagi Darti, hidupnya sudah suwung. Kepergian sang suami menjadi pukulan terberat. Ada rasa sesal yang selalu menyelubungi Darti. Seharusnya ia lebih tegas melarang sang suami untuk pergi. Malam-malamnya selalu dipenuhi oleh rasa sesal dan tangis yang berkelindan.
Sampai akhirnya, Darti teringat dengan buku kuno yang ia simpan. Derit ranjang terdengar saat ia berdiri. Darti mengambil primbon kuno di sorok lemari. Buku turun temurun dari buyutnya. Warna buku itu sudah menguning dan lembar halamannya sudah rapuh. Perlahan ia sibak buku itu. Satu-dua kalimat sudah pudar. Matanya tertuju pada salah satu ritual untuk memanggil kembali ruh orang yang sudah mati.
“Lha iki. Pakai sajen,” ucapnya lirih.
Keesokan harinya ia mengumpulkan prasyarat ritualnya. Tak sulit. Hanya kembang kantil, bunga tabur taman, dan kemenyan. Ia akan meletakkan sajen itu di dekat pintu. Lantas mengalungkan rangkaian kembang di jendela. Darti juga membuatkan kopi dan pisang goreng yang biasa dimakan suaminya sebelum bertandang ke sawah. Tak lupa, ia puasa mutih untuk melengkapi ritualnya. Ia melakukan semua itu sesuai primbon.
Jika bergayut pada primbon yang ia baca, ruh suaminya akan datang menjelang petang. Tinggal semalam bersamanya. Sebelum akhirnya pergi bersama semburat saat fajar. Bagi Darti, tak masalah meski hanya semalam. Demi rindu kepada suaminya sudah tak bisa dibendung.
Darti tak sabar menyambut pendar kemerahan di Barat, pertanda petang telah tiba. Wajah sumringahnya terpancar. Ia kenakan jarik dan kebaya terbaik yang dimiliki. Bibirnya dipoles gincu kemerahan. Darti tak henti-hentinya menggelontorkan senyum. Ia tak sabar menanti sukma sang suami. Setelah sorot kemerahan terlihat di ufuk barat, Darti memutuskan untuk minum. Membatalkan puasa. Ia terduduk di dekat sajen. Kepalanya clingukan menanti kehadiran sang suami.
Sudah setengah jam ia terduduk. Semburat kemerahan sudah lenyap. Langit sudah menghitam legam. Gelap. Tapi Darti belum juga melihat suaminya barang sekelebat. Rasa kantuk mulai menggelayut. Maklum saja, ia sudah bekerja lembur untuk menyiapkan sajen. Untuk menepis rasa kantuknya, Darti melantunkan kidung sembari menunggu ruh suaminya. “Lakonana klawan sabaring kalbu. Lamun obah niniwasi,” lantunnya lirih. Tiba-tiba…. BRAKK. Suara itu berasal dari dapur. Dia terperanjat. Rasa kagetnya sekilas terganti oleh senyum sumringah.
“Wahh, itu pasti Bapak. Lewat mburi to. Pasti mau minum kopinya,” ujar Darti antusias. Ia bergegas ke Dapur. Di tengoknya setiap jengkal ruangan itu. Tapi tak jua berpapasan dengan ruh suaminya.
Tanpa dinyana-nyana, di sudut ruangan pojok kendi, sudah ada seonggok makhluk di depannya. Darti terperanjat. Sosok itu tak memiliki kulit legam seperti suaminya. Tak juga berambut cepak. Rambutnya justru terurai panjang.
“Iki ora bojoku…..”
*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2019