Opini Ulasan

Mengembalikan Dunia Anak-anak

Oleh: Diki Mardiansyah*

 

Zaman telah berganti, teknologi maju semakin pesat. Kemajuan zaman dan teknologi seyogianya turut memunculkan upaya mengedukasi dan menjaga anak-anak tetap dalam “dunianya”. Hal ini penting dan perlu. Anak-anak berhak tetap berada dalam dunianya yang menyenangkan dan tidak “kaget” beranjak dewasa sebelum waktunya. Anak-anak harus bisa menikmati masa kecilnya dengan riang dan gembira.

Usaha-usaha kecil dan sepele perlu kita lakukan bersama: mengenalkan lagu dan buku anak yang bermuatan menghibur, menyenangkan, serta memiliki nilai pendidikan dan karakter. Kita akan mengingat lagi sekian tahun lalu. Lagu dan buku anak sempat jaya, pada masanya.

Membaca dan Mengenang (kembali) Buku Anak

Majalah Tempo edisi 4 Mei 2019 memilih mengingat kembali khazanah  buku bacaan sastra anak Sunda yang legendaris. Buku berjudul Roesdi djeung Misnem terbit di Den Haag, Belanda, pada 1911. Buku ini menceritakan pengalaman kehidupan Roesdi dan Misnem, dua orang kakak-adik.

Kita simak saja kisahnya: Seorang bocah lelaki duduk sambil melipat kedua kaki ke belakang. Tangan kanannya menopang, sementara tangan kirinya menjepit sebatang rokok lintingan besar. Asap mengepul keluar dari mulut anak bernama Ujang Roesdi. Kepala seekor kambing jantan yang menyembul di belakangnya seakan-akan menemani.

Alkisah, suatu hari Roesdi diam-diam mengambil tembakau dan daun enau dari dompet ayahnya yang tergeletak di atas meja. Ia melinting dan mengisapnya sambil bersembunyi di dekat kandang kambing. Setelah beberapa kali isapan, kepalanya pening, lalu ia muntah-muntah.

Citraan tersebut mencuri perhatian di antara ilustrasi lain yang tersebar dalam buku bacaan anak ini. Buku berjilid empat seri ini tergolong populer pada zamannya. Bahkan, sastrawan Ajip Rosidi, lewat tulisannya pada 1957 mengaku menyukai cerita buku tersebut sebagai bahan tesisnya di program studi Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 2008. 

Dulu, buku anak ini menjadi salah satu yang beredar sebagai bacaan di sekolah rakyat di Jawa Barat. Pada setiap jilidnya, buku Roesdi djeung Misnem mengisahkan keseharian kakak-adik. Roesdi berusia tujuh tahun dan bersekolah, sementara Misnem masih lima tahun. Pengembangan cerita dalam buku anak legendaris itu berkaitan dengan aspek sosial, adat, budaya, dan rekaman peristiwa lain pada zaman penjajahan. 

Kita sejenak mengingat kembali cerita-cerita dalam buku anak tempo dulu dan bertanya tentang kondisi buku anak kiwari ini. Kini, buku anak tidak lebih penting daripada gawai yang diisi aplikasi bermuatan joget-joget dan tembang dewasa yang tak semestinya “dikonsumsi” anak-anak seusianya.

Di koran Harian Kompas bertarikh 27 Agustus 2018, pemerhati anak dan ahli sastra anak, Murti Bunanta mengatakan, perkembangan pendidikan karakter dan moral anak perlu difasilitasi dengan tersedianya buku anak yang berkualitas. Lewat buku, anak diberikan ruang untuk berimajinasi dan menambah pengetahuannya.

Keberadaan buku anak sangat penting dan perlu. Dengan membaca buku anak, mereka bisa belajar memberikan rasa empati dan toleransi melalui cerita buku yang dibacanya. Selain itu, alur dan karakter tokoh sebuah karya sastra anak itu sangat berpengaruh terhadap pembaca. Penggambaran tokoh yang bersemangat dan mandiri tentu akan memberikan harapan bagi anak untuk meneladani nilai-nilai yang dimiliki oleh si tokoh dalam cerita buku anak.

Buku anak memiliki kriteria yang perlu dicermati. Kriteria buku anak yang bermutu memiliki bahasa yang sesuai dengan dunia anak (tidak ada konten pornografi dan mengandung suku, agama, ras, dan antar golongan), pengarang tidak memihak pada satu golongan, pengarang tidak menghakimi anak, dan memberi ruang eksplorasi untuk diadaptasi menjadi berbagai karya bagi anak.

Kriteria dalam buku anak itu bukan tanpa sebab. Elizabeth Santosa, seorang praktisi psikologi pendidikan dan keluarga menerangkan, ada buku anak yang kontennya tidak sesuai dengan konteks anak zaman sekarang yang lebih dekat teknologi dan digital.

Sementara itu, perlu diketahui bersama bahwa menjadikan aktivitas membaca buku sebagai kegiatan menyenangkan jadi kunci dalam meningkatkan minat baca anak. Kesenangan terhadap membaca secara bertahap membuat anak terbiasa dan akhirnya menjadi gemar membaca.

Kita membuka lagi halaman koran Harian Kompas tertanggal 15 September 2018. Koran tegas menerangkan: Selama ini, kegiatan membaca cenderung menjadi beban bagi anak. Konon, anak-anak hanya disuruh membaca untuk mendapatkan nilai pelajaran, tetapi jarang untuk mendapatkan hiburan.

Tentu saja, hal ini membuat anak bosan dan akhirnya kurang berminat membaca. Dulu, membaca di sekolah hanya bertujuan untuk belajar. Tidak ada yang bertujuan untuk senang-senang. Padahal, membaca semestinya menjadi hal yang menyenangkan. Tidak bisa memungkiri, manusia adalah makhluk yang menyenangi hal-hal yang menyenangkan.

Membaca pun seharusnya menjadi hal yang menyenangkan bagi anak-anak. Semestinya, buku yang dibaca anak bukan hanya buku-buku pelajaran, melainkan juga buku cerita yang bermuatan menghibur dan menyenangkan bagi anak-anak.

Buku anak sedemikian penting. Bandung Mawardi dalam esai berjudul Bocah Ensiklopedis: Islam dan Ilmu dalam buku Terbit dan Telat (2020) mengingat Karlina Supelli. Karlina Supelli memberi kata pengantar singkat namun bermutu dalam buku berjudul Ensiklopedia Bocah Muslim (Mizan, 2004).

Seorang intelektual Indonesia itu menerangkan: “Mata anak adalah mata warna-warni yang selalu takjub memandang dunia. Buku merupakan salah satu pintu memasuki dunia itu. Tentu saja, ada banyak buku yang tidak menarik bagi anak-anak, bahkan ada pula yang membuat ngeri. Akan tetapi, tidak sedikit buku yang membawa kegembiraan dan menantang rasa ingin tahu lebih jauh.”

Belum lama ini, majalah Tempo 24 Juli 2021, dalam suatu artikel menyatakan mendongeng dapat menjadi salah satu cara menyenangkan untuk mendukung tumbuh kembang, terutama dalam menciptakan semangat membaca dan bercerita bagi anak-anak. Kebiasaan membaca sejak dini untuk anak memang tidak boleh diabaikan. Membaca untuk level pramembaca (dibacakan orang tua) tujuannya untuk mendengar, melihat gambar, mengetahui bahasa lisan, dan menceritakan kembali. Membaca bermanfaat bahkan sejak sebelum kita lahir!

Paceklik Lagu Anak

Bergeser dari buku, berpindah dalam dunia lagu. Kita membaca Koran Tempo 10 Juni 2007, koran mengingatkan kembali peristiwa agak lalu: Jangan dekat atau jangan datang kepadaku lagi/ Aku semakin tersiksa karena tak memilikimu/ Kucoba jalani hari dengan pengganti dirimu/ Tapi hatiku selalu berpihak lagi padamu…/ Aku terlalu cinta dia.

Lirik lagu Terlalu Cinta karya Yovie Widianto yang didendangkan penyanyi Rossa itu mengalir lancar dari mulut Tifa Wahyuni, bocah berusia 8 tahun. Siswa kelas II sekolah dasar di Kelurahan Kramat Pela, Jakarta Selatan, itu tidak sungkan atau malu melantunkannya, meski lagu orang dewasa itu berisi perasaan perempuan yang telanjur cinta dengan kekasihnya walau telah dikecewakan. Para orang tua menyadari pentingnya lagu anak-anak untuk putra putrinya, tetapi mereka nyaris tidak berdaya saat anak-anaknya secara spontan menyanyikan lagu-lagu orang dewasa.

Fenomena anak menyanyikan lagu yang tidak sesuai dengan usianya kerap kali terjadi, bukan saja pada si bocah kecil Tifa Wahyuni. Anak begitu fasih dalam melantunkan lirik lagu tanpa membaca teks. Tak jarang pula, mereka begitu lihai dalam menekan layar ponsel pintar. Anak-anak sangat peka terhadap materi dengaran atau auditif.

Jika anak-anak mendengar sesuatu dan mereka suka, maka secara natural akan terekam apa pun liriknya. Pencipta lagu anak, Hartono, menasihati bahwa anak jauh lebih mudah mengingat melalui lagu. Bahkan, sejak masih dalam kandungan, ibu sudah bernyanyi untuk anaknya. Nyanyian seorang ibu, diharapkan dengan nyanyian itu anak menjadi baik. 

Kita prihatin terhadap pacekliknya lagu anak. Minimnya lagu anak di Indonesia membuat banyak pihak khawatir, terutama karena lagu-lagu yang banyak beredar tidak sesuai untuk dikonsumsi anak-anak. Sejumlah upaya dilakukan untuk mengembalikan kejayaan lagu anak, salah satunya dengan mempromosikan lagu yang layak dengar oleh anak.

Pada 27 Agustus 2018, di koran Harian Kompas mencatatkan: Peluncuran album bertajuk Sejuta Pelangi Indonesia pada Sabtu (25/8/2018) di Jakarta, merupakan salah satu upaya untuk mempromosikan lagu yang layak dengar oleh anak. Peluncuran album ini juga merupakan salah satu dukungan terhadap gerakan #SaveLaguAnakIndonesia. Gerakan ini bertujuan memperkaya industri musik dengan lagu yang sesuai dengan kategori konsumsi anak.

Semula, lagu dan penyanyi anak sangat populer di Indonesia pada tahun 1990-an. Acara anak-anak pun sering mendapat tempat di sejumlah kanal televisi. Namun, kini, media hiburan yang cocok bagi anak semakin sulit ditemukan. Saat zaman sekitar tahun 75-an ke atas, lagu anak begitu banyak. Begitupun dukungan dari media yang memberikan ruang bagi anak melalui program-program khusus anak. Sedangkan kini program TV dinilai kurang memberikan ruang bagi anak untuk bereksplorasi.

Martha Silalahi seorang pegiat di Jingga PR and Media Firm, mencatatkan minimnya lagu dan penyanyi anak disebabkan oleh kelalaian dalam melihat kebutuhan seorang anak. Dari sudut pandang relasi publik, pemenuhan kebutuhan anak hanya ada pada aspek sandang, pangan, dan papan. Padahal, anak memiliki kebutuhan lain, seperti media hiburan edukatif.

Mantan penyanyi era 70-an Santi Sardi (pelantun lagu Menabung) menyampaikan bahwa kurang bergaungnya lagu anak di kalangan anak zaman sekarang merupakan tanggung jawab sosial berbagai pihak, terutama peran keluarga dalam hal ini orang tua. Orang tua harus lebih intens menyajikan lagu-lagu yang laik diperdengarkan oleh anak-anak seusianya.  

Di koran Harian Kompas, 25 Agustus 2018 menerangkan, Penyanyi cilik Bahan Wibowo (5) dengan suara lantang menyanyikan salah satu lagu anak dari 20 Lagu Anak Pilihan Dendang Kencana berjudul Aku Suka Membaca.

Baca, baca, baca/ Baca, baca, baca/ Mau banyak tahu, harus banyak baca/ Baca, baca, baca/ Baca, baca, baca/ Aku suka membaca. Lirik lagu sederhana itu tiga kali diulang Bahana dengan nada riang. Pesan dari lagu anak itu juga begitu jelas bahwa anak-anak harus rajin membaca.

Sobari dalam Ardipal (2015) menyebutkan, hampir dua puluh tahun anak-anak diasuh dan diperdagangkan dengan lagu yang memberi dampak psikologis dan mental yang kurang baik seperti mengandung kekerasan. Diperlukan tiga pertimbangan dalam memilih atau memperdengarkan lagu bagi anak-anak, yaitu aspek psikologis, fisik, dan mental. Dari sisi psikologis sebagai pendidik, orang tua, seniman, atau pengelola media perlu mempertimbangkan nilai-nilai moral yang terkandung dalam lirik.

Kita mengingat lagi pentingnya mengembalikan “dunia” anak di era kiwari ini. Jangan sampai anak dewasa lebih cepat dari waktunya. Anak harus mengenal buku dan lagu anak sesuai dengan dunianya.

Diki Mardiansyah [Dok. BP2M]
*Mahasiswa Ilmu Hukum Unnes 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *