Ilustrasi Suka-suka KPUR [BP2M/Feby]
Ilustrasi Suka-suka KPUR [BP2M/Feby]

Kekacauan Penetapan Calon Presma dan Wapresma untuk Pemira 2022 menambah daftar catatan gelap demokrasi kampus. Munculnya calon tunggal memperlihatkan ketidaksehatan demokrasi dan perlu menjadi perhatian bersama. KPUR yang semestinya menjadi pihak paling bertanggung jawab, perlu buka suara terkait persoalan ini.

***

Tinggal hitungan hari Unnes akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Raya (Pemira) yang biasa digelar setahun sekali. Sebelum hari itu tiba, pemira tahun ini cukup mendapat respons dari berbagai kalangan sejak ditetapkannya calon tunggal oleh Nur Rohmat Sholichin, Ketua Komisi Pemilihan Umum Raya KM Unnes 2021.

Kekacauan bermula saat Abdul Kholiq dan M. Najwa Sidqi ditetapkan menjadi pasangan tunggal calon presma dan wapresma yang akan maju di pemira 5 Januari mendatang. Hal tersebut lantaran ditemukannya bukti kejanggalan berkas dari tiga bakal calon lain, yakni pasangan Tulus-Aldi, Sony-Afifah, dan Fauzan-Qois dengan kasus masing-masing. 

Berdasarkan Peraturan tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemilihan Umum Raya Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Tahun 2021 Pasal 16 ayat (1) disebutkan bahwa penetapan pasangan calon Presma dan Wapresma, serta anggota DPM KM Unnes dilaksanakan melalui sidang verifikasi pada tanggal 20 Desember 2021 pukul 19.00 WIB, secara offline di PKMU lantai 2.

Dalam pelaksanaannya, jadwal dimajukan lebih awal dan KPUR menetapkan calon Presma dan Wapresma serta anggota DPM KM pada pukul 12.20 WIB. Artinya, penyelenggara pemira memang sudah tidak taat sejak awal atas peraturan yang dibuatnya sendiri. Perihal perubahan jam verifikasi dan penetapan calon ini, KPUR menganggap kehadiran keempat paslon sebagai bentuk persetujuan dan alasan lain, untuk menghindari kerumunan jika penetapan tetap dilakukan ketika malam hari. 

Ketika persoalan belum benar-benar selesai dan tiga bakal calon tidak berada di tempat saat sidang penetapan berlangsung, KPUR secara sepihak memutuskan sidang–bahkan mengesahkan putusan menggunakan tangan, alih-alih palu sidang. Hal ini yang kemudian direspons publik karena mempertanyakan integritas KPUR. Ketika publik merespons ketetapan tersebut ramai-ramai, ketua KPUR justru menghilang tanpa memberi keterangan dasar penetapan keputusan sidang tersebut.

Absennya ketua KPUR dalam memberikan keterangan terhadap publik seakan menjadi pembiaran terhadap segala pelanggaran yang terjadi–sekaligus mereka sepakati sendiri. Lebih dari itu, adanya paslon tunggal dalam pemira menjadi noda kelam demokrasi kampus saat ruang demokrasi seharusnya dibuka seluas-luasnya bagi siapa pun, ini terjadi sebaliknya. 

Adanya calon tunggal dapat memicu hilangnya kontrol dan adu gagasan terhadap partisipan pemilu raya. Ketiadaan kontrol inilah yang membuat jalan demokrasi kampus yang diperjuangkan selama ini terasa pahit. 

KPUR beserta pihak penanggung jawab pemira perlu mengambil sikap demi berlangsungnya demokrasi kampus. Jika tidak memungkinkan, barangkali keberadaan “kotak kosong” menjadi satu-satunya pertahanan terakhir.

 

Salam,

Redaksi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here