Melihat Kekonyolan Pemira Unnes 2021
Beranda Opini Ulasan

Melihat Kekonyolan Pemira Unnes 2021

Oleh: Abdul Manan

Mahasiswa Ilmu Politik 2019

 

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, pemilihan umum raya (pemira) Unnes hari ini cukup membuat ramai media sosial warga Unnes. Berbagai akun anonim bermunculan dengan gagasannya masing-masing. Ada yang menyuarakan untuk memboikot pemira dan saling tuduh sebagai pendengung satu sama lain. Situasi pandemi juga mendukung ramainya perbincangan pemira di media sosial. Banyak mahasiswa masih berada di rumah, sedangkan media sosial mendominasi informasi mengenai pemira. Di ruang media sosial lah diskursus pemira hidup. 

Perbincangan publik diwarnai dengan isu calon tunggal, maladministrasi, kepentingan suatu golongan, blokade organisasi tertentu, dan lain-lain. Hal ini yang membuat saya tercengang dan cukup enggan untuk mengikuti isu pemira. Namun, karena kegaduhan tak berujung yang nggateli membuat saya ingin menumpahruahkan pandangan mengenai pemira KM Unnes 2021.

Pemira acap kali diwarnai oleh kekonyolan tiap tahunnya. Kekonyolan demi kekonyolan terus berdatangan, dari isu mengemis-ngemis Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sampai politik teknis-legal-formal yang selalu ‘diagung-agungkan’.

Pengemis KTM

KTM tidak lain menjadi persyaratan dalam pencalonan. Dalam pasal 67 huruf f dan g UU KM Unnes Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemira, begitupun di dalam Petunjuk Teknis Pemira KM Unnes 2021, KTM menjadi syarat administratif pencalonan dengan jumlah sekurang-kurangnya 30 lembar baik Presma dan Wapresma di tiap fakultas maupun Anggota DPM KM di tiap dapil. Artinya, setiap orang yang hendak berkontestasi dalam pemira harus memiliki basis dukungan. KTM menjadi buktinya. Memberi salinan KTM dalam bentuk apapun artinya bentuk dukungan kepada calon, baik eksekutif kampus maupun legislatif kampus.

Hal ini tidak menjadi masalah selama calon pemilih sadar akan siapa calon yang mereka pilih, baik gagasan, rekam jejak, maupun latar belakang ideologisnya. Dukungan diberikan bukan sebagai pemilih tradisional dengan basis loyalitas, melainkan dengan kesadaran diri sebagai pemilih kritis untuk mengawal gagasan.

Persoalan yang muncul adalah bagaimana anggota tim sukses (timses) menggaet dukungan. Dengan celah tersebut, segala cara bisa dimungkinkan. Praktik-praktik timses meminta KTM acap ditemui di dalam lingkaran pergaulan penulis, bahkan penulis sendiri mengalaminya secara langsung. Tidak heran jika muncul indikasi pemaksaan dalam meminta KTM; blokade masuk organisasi tertentu; relasi kuasa antar angkatan di dalam perkuliahan dan senior-junior di dalam organisasi, termasuk politik transaksional. Jatah jabatan misalnya.

Lihatlah para pengemis KTM. Tanpa urat malu, mereka meminta dukungan hanya dengan modal: minta foto KTM-nya dong. Hello, siapa Anda? Apakah senaif itu cara kalian menggaet dukungan?

Ajang Konten Kampanye Tak Esensial

Kekonyolan selanjutnya datang saat dan menjelang kampanye. Lagi-lagi, media sosial menjadi ruang yang sangat efektif untuk adu kuat kampanye. Gagasan ditumpahruahkan dalam media sosial seperti Instagram, Tik Tok, Twitter, Whatsapp, dan  lainnya. Oleh karena itu, timses berlomba-lomba membuat konten untuk mengemas gagasan calon mereka sekreatif mungkin. 

Bahkan saking kreatifnya, mereka lupa pada sesuatu yang esensial. Konten kampanye hanya menjadi ruang pencitraan diri dan banyak ungkapan klise. Tidak ada gagasan yang dibawa. Tidak ada keresahan yang disuarakan. Tidak ada pemikiran ideologis yang ditampilkan. Kultur semacam ini ibarat air yang membasuh telapak kaki, segar tapi sesaat lalu hilang tak berbekas lagi. 

Ruang kampanye seharusnya menjadi tempat pertukaran pikiran dan membincangkan keresahan satu sama lain. Adanya debat hanyalah ruang adu gagasan yang diformalisasi oleh penyelenggara pemira. Sejatinya, diskusi dan perdebatan isu yang kontekstual hari-hari ini harus mendapat porsi lebih, bahkan—meminjam anasir Pram—sudah sejak dalam pikiran.

Atas Nama Administrasi

Hal lain yang membuat jengah adalah persoalan administratif yang selalu menjadi momok. Bejibun persyaratan administratif yang dibuat hanya menjadi muara seremonialisasi politik yang akut. Konon, seremonialisasi politik itu menubuh pada BEM melalui kegiatannya, pada DPM melalui produk hukumnya, pada calon pemilih melalui orientasi politiknya, dan pada pemira itu sendiri melalui mekanisme ugal-ugalannya.

Mereka semua disibukkan oleh hal-hal yang sifatnya teknis, tidak fokus pada substansi politik. Hal ini berujung pada bagaimana mahasiswa bersikap atas praktik politik kampus yang ditampilkan. Seolah-olah, dengan peraturan basis dukungan melalui KTM sebagai syarat pencalonan menjadi pembenaran atas berbagai praktik penggaetan dukungan melalui penarikkan KTM secara serampangan. Seolah-olah, dengan ditetapkannya calon tunggal merupakan konsekuensi administratif yang sudah sesuai dengan peraturan. Seolah-olah, dengan dilaksanakan pemira melalui kultur  teknis tersebut demokrasi berjalan.

Politik yang ditampilkan pemira lagi dan lagi hanya didominasi oleh persoalan teknis-legal-formal melalui perangkat administratif. Sialnya, hal tersebut menubuh di dalam produk hukum yang mengikat dan seakan menjadi kebenaran yang mutlak, harus sesuai peraturan, harus sesuai undang-undang.

Demokrasi bukanlah ajang pencitraan diri untuk memperoleh dukungan semata. Demokrasi adalah ruang publik di mana orang-orang bebas ikut-mengambil-peran untuk mendiskusikan keresahan dan gagasannya secara egaliter, inklusif, dan nondominasi. Bahwa kemudian terdapat bukti praktik-praktik banal seperti blokade organisasi tertentu dan pemalsuan dokumen, hal itu tidak dapat dibiarkan.

Jangan berbesar harapan jika pemira selanjutnya  akan banyak yang berpartisipasi. Jika corak politik yang ditampilkan masih berputar-putar dalam persoalan administratif, transaksional, dan ajang citra diri, partisipasi publik Unnes dalam politik kampus jelas akan menurun.  Sungguh ironi, kekonyolan-kekonyolan itu bukannya dievaluasi malah diteruskan, dinormalisasi, dan menjadi agenda tahunan. Apakah ini efek doktrin akut dari kekuasaan yang lebih besar melalui jargon menjadi ‘generasi penerus’ alih-alih menjadi ‘generasi pengubah’?

 

Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi dari penulis, bukan merupakan sikap redaksi maupun organisasi.

Abdul Manan [BP2M/Tria]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *