Menjelang Hari Lingkungan Hidup: Banjir Rob Makin Menghantui Pantura
Kabar Kilas

Menjelang Hari Lingkungan Hidup: Banjir Rob Makin Menghantui Pantura

Jumat (3/6), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang (BEM FE Unnes) yang tergabung dalam Koalisi Peduli Lingkungan Jawa Tengah menggelar diskusi publik bertajuk “Pantura Akan Tenggelam, Jika Kita Diam”. Diskusi yang berlangsung di Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Joglo FE Unnes ini membahas keberadaan banjir rob yang masih menghantui wilayah Pantai Utara Jawa atau Pantura. Selain itu, kegiatan yang berlangsung pada pukul 16.00-18.30 WIB ini merupakan bentuk penuansaan dari Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada 5 Juni. 

Amelia Choya, dosen FE Unnes mengungkapkan bahwa jalur pantura merupakan wilayah yang strategis untuk kegiatan industri. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran adanya kemudahan pendistribusian bahan baku di jalur tersebut. Walaupun demikian,  ia berpendapat jika pelaksanaan industri yang ada tidak dilakukan dengan bijak, maka akan berdampak pada kerusakan lingkungan. 

“Dampaknya dapat berupa polusi udara, polusi air, dan polusi tanah, dan salah satu bentuk pencemaran air ialah banjir rob,” ungkapnya.

Selain itu, adanya pemanasan global, penurunan muka tanah, tingginya pasang surut air laut, intensitas abrasi, dan kerusakan drainase merupakan faktor yang menyebabkan banjir rob. Hal itu diungkapkan oleh Amman Haris, dosen Ilmu Lingkungan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Unnes. Walau demikian, menurutnya ada upaya untuk mencegah agar banjir rob tidak semakin meluas.

“Upaya tersebut seperti didirikannya tanggul laut berlapis; memberhentikan industrialisasi; pembangunan rumah susun untuk warga terdampak; pembangunan polder; embung, waduk, breakwater, dan penanaman mangrove,” jelas Haris. 

Anggota koalisi Maleh Dadi Segoro Bagas Yusuf mengatakan perubahan pola arus laut akibat reklamasi juga berdampak pada ganasnya banjir rob. Ia mencontohkan Desa Mororejo yang terletak di Kabupaten Kendal sebagai salah satu wilayah yang paling terdampak.  

“Salah satu penyebab parahnya banjir rob di Desa Mororejo dikarenakan reklamasi yang memicu perubahan pola arus laut,” ungkapnya.

Di sisi lain, Bagas menyinggung posisi para pemilik modal di tengah bencana banjir rob. Menurutnya, selama ini para pemilik modal memanfaatkan musibah ini untuk mencari keuntungan. Hal itu dilakukan dengan membeli tanah-tanah warga yang sudah terendam dengan harga jauh lebih murah.

“Di kepala pengusaha tidak ada yang tenggelam. (Padahal) 99% warga Pantura ditenggelamkan oleh ekspansi industri,” pungkasnya.

Sebelumnya, pada 23 Mei lalu pesisir Semarang telah diterjang banjir rob. Tingginya gelombang pasang dan jebolnya tanggul di kawasan PT Lumicitra Nusantara berdampak pada ganasnya banjir. Dilansir dari Harian Kompas, setidaknya ada 13 daerah di pantai utara Jawa yang terdampak banjir rob. Di Semarang sendiri tercatat ada sebanyak 14.000 jiwa dan 539 rumah yang terdampak musibah itu.

Pada akhir diskusi, Ahmad Hammam, kepala Departemen Sosial Masyarakat BEM FE Unnes menyampaikan pesan akan pentingnya menjaga alam. Menurutnya, alam yang saat ini ada merupakan apa yang kita pinjam dari penerus kita.

“Kita bukan mewarisi alam dari nenek moyang, tetapi kita justru meminjam alam dari anak cucu kita nantinya,” ujarnya.

 

Reporter: Magang BP2M/Leni Septiani & Magang BP2M/Saiska Dwi Arimbi

Editor: Adinan Rizfauzi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *