Oleh Ade Novianto*
Sepatu heels digesek-gesek ke aspal di pelataran rumah. Ukuran betis yang kecil serasi dengan panjang kakinya yang lentik, lantas jari-jari gemulainya mulai masuk ke lubang ukuran 40 itu dengan licin. Senja yang merayap turun di timur ditandai guratan langit-langit kesumba bersahut-sahutan dengan suara perkutut yang sedang birahi di bawah kanopi ukuran 8×4 meter. Gulma-gulma di seberang mulai dihinggapi kupu-kupu kuning-biru yang meliuk-liuk bebas. Pohon ceri dan pisang ditatapnya serius, sambil menunggu kabar adanya getaran di genggamannya. Kabar yang dibuat seminggu lalu melalui aplikasi pesan hijau-putih itu berakhir dengan suara kecupan yang melintang antar kota.
Getaran pertama tangan Alina pada gadged menyadarkannya dari lamunan pohon-pohon liar itu. Dengan cepat, sorot matanya memalingkan tatapan itu ke bawah, tepat di atas pahanya. Kedua jempolnya sangat lihai memijit kotak cahaya itu, menggerak-gerakannya seperti menulis huruf Z pada satu jempol. Pancaran cahaya yang ke luar dari kotak kecil membuat bedak tipis di wajah wanita 28 tahun itu nampak lebih dewasa, lipstik dengan warna merah tua membawa senja menjadi malu dibuatnya, lesung alaminya lebih jelas terlihat anggun ketika disenter manja, lantas Alina menarik-narik bibir setengah tipisnya melebar membentuk senyuman lentik. Dibukanya pesan itu dengan penuh perasaan dan harapan. Kerutan dahinya membentuk tiga garis dengan bahu yang diangkat menandakan bahwa ada tambahan waktu untuk menunggu lebih lama di bale bambu tepat di sisi depan kamar pribadi di rumahnya.
“Aku 15 menit lagi sampai. Macet banget, nih.”
***
“Pendengar di mana pun berada. Kami informasikan bahwa telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara kereta KRL dengan gerobak selendang mayang pada pukul 17.45 di jalan Poris Indah. Belum diketahui pasti penyebab terjadinya kecelakaan tersebut. Akibat dari itu, jalan menuju Benteng Betawi pun tersendat begitu juga sebaliknya yang menuju ke arah Daan Mogot. Menurut saksi mata yang telah bersedia memberikan informasi kepada wartawan kami yang berada di lapangan bahwa kejadian tersebut secara tiba-tiba saja gerobak yang dimiliki oleh seorang warga Tangerang itu menerobos palang pintu kereta dengan tergopoh-gopoh. Diketahui seorang yang bernama Sadi pemilik yang juga pedagang selendang mayang itu mengaku bahwa gerobaknya melesat begitu saja tanpa didorong. Kemacetan ini diperkirakan mencapai 4 kilometer. Berikut wawancara tim kami yang berada di lapangan.
“kejadiannya seperti apa, Bang?”
“itu lho, gerobak saya tiba-tiba nyelonong aja”
“kok bisa, Bang?
“iya, saya juga enggak tau. Tiba-tiba maju aja ke depan, padahal enggak saya dorong, baru kali ini saya ngalamin begini”
“sebelumnya belum pernah terjadi seperti ini, Bang?”
“wong saya tiap hari liwat sini, dagang udah 25 tahun enggak pernah absen liwat sini, saya enggak tau, kok gerobak saya tiba-tiba mirip mobil remote kontrol gitu”.
“Bang Sadi ini baru mulai keluar dagang atau sudah pulang dagang?”
“tuh mas liat, candil, bubur sum-sum, gula aren, biji salak, santen, es batu, semuanya ditabrak belum sempet dibeli”.
Pendengar yang budiman. Kami anjurkan bagi siapa saja yang hendak melintasi jalan Poris Indah segera mencari alternatif jalan lain untuk menghindari kemacetan. Demikian laporan senja ini. Tetap berkendara dengan hati-hati patuhi aturan-aturan lalu lintas. Selamat menunaikan ibadah solat magrib bagi Anda yang berada di daerah Jakarta dan sekitarnya.”
Suara laporan yang keluar dari speaker mobil itu menjawab kecemasan di balik pesan yang terkirim sekitar tiga menit lalu ke Alina. Dengan terpaksa, Mario mengambil gadged nya yang berada di bangku, di mana Alina akan duduk di sebelahnya nanti untuk segera memberi tahu lanjutan peristiwa tiga menit lalu kepada kekasihnya itu.
“ada-ada aja, denger berita cuma gara-gara gerobak selendang mayang ditabrak KRL macetnya sampe 4 kilo”.
“hhhaaaaa……h?”
***
Kerutan bibir Alina mulai terasa. Warna merah tua pada lipstiknya sedikit berubah agak-agak kegelapan. Sepatunya yang mengkilap diayun-ayun ke atas lalu ke bawah dengan tumit belakang menumpu tanah seperti menginjak pedal. Ia menelengkan kepalanya ke atas melihat perkutut bapaknya yang sudah diam di atas ranting pohon di dalam kandang yang bulat. Sambil menyanyi-nyanyi dengan cara berdesis lewat lagu kesukaannya. Lagu cinta yang menurutnya masih relevan dengan zaman. Masih layak untuk dipersembahkan kepada kekasih di seluruh dunia. Dengan cara itu, kegelisahannya menanti Mario akan sedikit terobati karena kekasihnya pun memiliki kesukaan yang sama dengan lagu yang dinyanyikannya itu.
10 meter mendekati peristiwa kejadian, di dalam mobil, Mario hendak menggonta-ganti saluran radio untuk menenangkan gendang kupingnya dari laporan-laporan wartawan lapangan yang sedikit menyebalkan. Tangan kirinya menjulur ke depan tengah menuju tombol-tombol kecil dengan simbol kanan dan kiri. Mulai mencari. Matanya melirik-lirik ke arah kiri dan kanan dari dalam kaca, dilihatnya penuh orang-orang mengantri melewati rel kereta yang menjadi sebab kemacetannya. Dilihatnya juga orang-orang yang kepanasan lantas membuka helm kemudian membakar kreteknya dengan santai, ada yang mengenyot permen, ada penumpang yang turun dari tumpangannya memilih jalan kaki, ada beberapa kuliner yang kebanjiran order penonton dadakan di peristiwa itu, ada angkringan yang sibuk membentangkan spanduk, pedagang kacang ijo, nasi uduk, pecel, cilor, seblak, es buah, kebab, pancong, telor gulung, gulali, jamu, sendal, sayur, sampai teknisi tv tabung menggeleng-gelengkan kepala betapa panjangnya antrian malam itu.
“truk maju!!”
“motor minggir dulu, Bang”
“terus!!! terus!!!”
“…minggir dulu bajay woy!”
“adu…h ini gimana udah mentok”
“terus, Bang, ambil kiri, kiri, kiri,”
“woy goblokkk!!!”
***
Matahari ditelan gelap. Bintang kecil dikit demi sedikit mulai bertebaran. Awan tipis-tipis dicampur asap sate menyuruk ke langit. Orang-orang di dekat peristiwa memiliki latar belakang kepentingan yang berbeda-beda. Satu teriakan disambut teriakan lanjutan. Dari pegawai negeri sampai pengangguran dibuat pusing. Masing-masing punya kepentingan, begitu juga para saudagar-saudagar metropolitan trotoar. Alina masih saja menanti-nanti Mario dengan lagu-lagu kesenangannya. Dengan sedikit bimbang ia menengok ke arah bulan sambil komat-kamit seperti menanyakan nasib hubungannya dengan Mario. “Kalau kau memang benar-benar cinta, beranikah kau menghadap ke ayahku, inginkah kau memiliki segalanya dariku, aku sangat mengharapkan itu, Mario”.
Wajahnya sendu ditikam was-was. Mario menemukan saluran radio yang tepat untuk perasaannya saat itu dengan posisinya yang juga tepat di atas rel perlintasan peristiwa. Dilihatnya ceceran gula aren, onggokan candil bergeletakan, gagang gerobak yang patah, tutup toples robek, dibuka kaca mobilnya terdengar suara seperti lebah.
“absurd!!!” teriak ketus Polantas yang menggiring para pelintas lantaran gerobak selendang mayang ditabrak KRL.
Berhasil melewati rel, Mario ditimpah kebetulan melalui saluran radionya. Sebuah lagu kesukaannya yang juga disukai oleh Alina diputar atas permintaan salah satu pendengar setia. Dengan dua kancing baju di atas terbuka menunjukan bahwa ia juga lelah menghadapi awal malam ini. Dengan semangat, pedal gas ditancap lalu membiarkan pedal koplingnya menganga.
Ijinkanlah kukecup keningmu
Bukan hanya ada di dalam angan
Esok pagi, kau buka jendela
Kan kau dapati seikat kembang merah
Syair yang menggema bersama desiran angin yang masuk di sela-sela kaca yang terbuka, mulut Mario seperti terbiasa mengikutinya.
“udah sampe mana?”
“sudah kulewati rel kereta keparat itu, Alina. Tunggu aku. Paling berapa menit lagi”
Lewat telepon itu Alina mendengar syair-syair yang juga dinyanyikannya kala menunggu di bale bambu.
“lha, Ebiet?”
“iya”
Engkau tahu, aku mulai bosan
Bercumbu dengan bayang-bayang
Bantulah aku temukan diri
Menyambut pagi, membuang sepi
Disaat itu, telepon tanpa ditutup dengan bernyanyi bersama.
Ijinkanlah aku kenang
Sejenak perjalanan
Ho ho ho
Dan biarkan ‘ku mengerti
Apa yang tersimpan di matamu
Ho ho
Syair-syair itu sangat begitu lekat dengan Alina dan Mario. Suara yang menyayat hati telah keluar dari lubang-lubang kecil dalam persembunyian di balik perjalanan.
Barangkali di tengah telaga
Ada tersisa butiran cinta
Dan semoga kerinduan ini
Bukan jadi mimpi di atas mimpi
*Alumni Hubungan Internasional Universitas Satya Negara Indonesia