Gerakan Rakyat Menggugat (Geram) menggelar aksi di Tugu Muda untuk menolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Sabtu (3/12). Aksi ini digelar sebagai respons dari kabar akan disahkannya RKUHP yang padahal masih memiliki cacat di sana-sini. Aksi tersebut menggandeng berbagai elemen mulai dari mahasiswa, masyarakat sipil hingga media massa.
Umarul Faruq, koordinator massa aksi yang juga merupakan perwakilan dari Koalisi Rakyat Semarang Tolak RKUHP, menyatakan bahwa KUHP seharusnya mengatur relasi antara individu dengan individu, bukan individu dengan sebuah lembaga atau jabatan seperti yang tercermin dalam RKUHP ini. Ia menyoroti pasal 218 RKUHP mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan presiden dan wakil presiden, juga pasal 240 yang tak jauh beda soal ancaman pidana penghinaan terhadap pemerintah.
“Pasal ini kami pikir sangat bermasalah bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia dan berpotensi menjadi pasal karet yang bisa menjerat teman-teman aktivis dan siapapun masyarakat Indonesia yang ingin menyuarakan pendapatnya,” terang Faruq (3/12).
Lebih lanjut, Faruq juga menyoroti pasal 188 RKUHP mengenai ancaman pidana terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran Marxisme-Leninisme. Faruq berpendapat bahwa seharusnya hukum pidana tidak boleh mengatur dan memberikan porsi yang sangat sempit bagi pengembangan ilmu pengetahuan termasuk Marxisme-Leninisme.
“Saya pikir ini adalah ideologi yang progresif dan mampu menumbuhkan perkembangan demokrasi yang lebih utuh,” lanjutnya.
Sementara di draf terbarunya, Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah telah sepakat merevisi pasal 188 RKUHP sehingga berbunyi, “Setiap orang yang menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dan Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum dengan lisan atau tulisan dipidana maksimal 4 tahun penjara.”
Terkhusus bagi lembaga pendidikan maupun penelitian dan pengkajian yang tidak bermaksud menyebarkan atau mengembangkan Marxisme-Leninisme, terdapat pengecualian dalam pasal 188 yang tertuang dalam ayat 6. Ayat ini berbunyi, “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila untuk kepentingan ilmu pengetahuan.”
Abdul Kholiq, Ketua BEM KM Unnes sekaligus peserta aksi, menegaskan bahwa larangan penyebaran paham Marxisme dan paham lain yang bertentangan dengan Pancasila itu justru membatasi, sementara sebuah pemikiran seyogianya haruslah tanpa batas. Sejalan dengan hal tersebut, Tagor, salah satu peserta aksi berpendapat bahwa RKUHP ini ingin mengatur jalan pikiran masyarakat, sehingga masyarakat harus lebih pandai memilah dan mencerna.
Pasal lain yang bermasalah, yaitu pasal pelarangan aksi tanpa pemberitahuan dan penghinaan terhadap pemerintah yang dirasa mencacatkan demokrasi dan membatasi ruang. Disebutkan terdapat lebih dari 18 pasal problematik yang banyak diperdebatkan bahkan ditentang oleh para ahli. Bersama mereka, massa aksi ini dengan tegas menolak pengesahan selama pasal-pasal bermasalah itu belum direvisi atau dihapuskan.
Melansir dari koran.tempo.co, di tengah kelumit pasal 188 RKUHP yang sangat multitafsir dan berpotensi menjadi alat untuk mengkriminalkan dan membungkam orang-orang yang dianggap berseberangan dengan pemerintah ini, DPR melalui juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Albert Aries, bersikukuh bahwa frasa “paham lain yang bertentangan dengan Pancasila” sengaja dimasukkan dalam pasal 188 agar dapat menjangkau segala paham yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila. Ia menegaskan kebebasan berpikir dan berpendapat masyarakat tetap terjamin sesuai dengan pasal 28J ayat 2 UUD 1945.
Meski demikian, banyak pihak tetap mengkhawatirkan terjadinya multitafsir dan penyalahgunaan pasal untuk kepentingan penguasa. Termasuk Geram dan sekelompok massa yang bersimpati terhadap kelangsungan demokrasi di negeri ini. Berbekal dengan hal itu, mereka turun ke jalanan dan melakukan aksi penolakan terhadap RKUHP yang masih memiliki pasal-pasal bermasalah.
Menindaklanjuti dari aksi ini, Faruq menegaskan, sebelum kejelasan pengesahan atau tidaknya pada 15 Desember, Geram akan terus bersuara dan berupaya menolak RKUHP. Dalam waktu dekat, mereka akan kembali menggelar aksi bertepatan dengan peringatan hari HAM pada 10 Desember mendatang, dengan harapan dapat merangkul lebih banyak massa dan menyuarakan penolakan mereka hingga sampai ke telinga pemerintah.
Reporter: Aminatul Janah, Alvina Ajeng, Khodijah Sefinda
Editor: Iqda Nabilatul Khusna