Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Kabar Kilas

Lewat Diskusi Publik, SeniFeminis Suarakan Pemberantasan Perkawinan Anak

Tangkapan Layar Gathering SeniFeminis edisi Maret dengan tema Seni Untuk Aktivisme Berantas Pernikahan Anak, pada Sabtu (4/03). [Khairunissa/Magang BP2M]

Sabtu (4/3), Komunitas Seni dan Feminisme menggelar Gathering SeniFeminis edisi Maret bertema “Seni untuk Aktivisme Berantas Pernikahan Anak”. Kegiatan tersebut digelar sebagai bentuk apresiasi terhadap karya seni dari seluruh Indonesia sekaligus menanggapi meningkatnya fenomena perkawinan anak di Indonesia. Diskusi yang diselenggarakan melalui platform Zoom Meeting tersebut juga turut menghadirkan perwakilan dari Komunitas Flower Aceh, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Forum Kajian Perempuan Ponorogo (FKP Ponorogo). 

Nadila Yuvita, pembicara dari FKP Ponorogo, mengungkapkan bahwa salah satu faktor penyebab perkawinan anak di Indonesia ialah beban pengasuhan yang dibebankan pada seorang ibu. Sebaliknya, laki-laki kurang berkontribusi dalam mengasuh anak.

Ia juga menyinggung soal tingginya jumlah pekerja migran dari Ponorogo yang juga menjadi penyebab kurangnya perhatian mereka dalam mengasuh anaknya. “Sekitar 60 persen pengajuan dispensasi perkawinan anak berasal dari anak-anak yang ibunya menjadi pekerja migran,” tutur Nadila.

Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa faktor pendorong terjadinya perkawinan anak juga disebabkan oleh tingkat kemiskinan dan persepsi orang tua yang menganggap menikahkan anak dapat mengurangi beban ekonomi keluarga. 

Di sisi lain, perwakilan Perkumpulan Flower Aceh Riswati memberikan contoh kasus perkawinan anak di Aceh. Ia menjelaskan bahwa perkawinan anak di Aceh didorong oleh faktor kepercayaan dan nilai-nilai yang dijunjung masyarakat.

“Menolak lamaran dianggap tidak menghargai mempelai laki-laki. Hal ini yang kemudian mendorong praktik perkawinan anak,” jelas Riswati

Ia juga mengungkapkan bahwa larangan berzina atau berpacaran yang berlaku di Aceh membuat orang tua khawatir. Akibatnya, mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya.

Selanjutnya, selaku anggota Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati, menilai bahwa respons pengadilan dinilai kurang tegas dalam menghadapi pengajuan dispensasi perkawinan anak di bawah umur. 

“Pada proses dispensasi, hakim tidak bertanya kepada mempelai terkait kesiapan mereka untuk menikah. Pertanyaan tersebut justru menyasar kepada orang tua atau wali dari anak,” ungkap Mike.

Mike juga memaparkan bahwa pemaksaan perkawinan menjadi salah satu bentuk tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Praktik perkawinan anak ini tidak dianjurkan walaupun anak tersebut telah menginjak usia 18 tahun. Pasalnya, kesiapan mental dan fisik anak untuk menghadapi kehidupan pernikahan dinilai belum mampu. “Usia 18 tahun ke bawah belum dapat memilih keputusan sosial yang tepat. Kesiapan psikologis dan fisiknya, seperti organ reproduksinya belum matang,” jelas Mike. 

Mike juga menjelaskan bahwa dampak dari perkawinan anak berbahaya bagi kesehatan perempuan dan bayi karena dapat mengakibatkan adanya penyakit kronis pada organ reproduksi dan stunting pada anaknya kelak. Oleh sebab itu, perlu adanya solusi yang efektif untuk menekan angka perkawinan anak di Indonesia.

“Perlu adanya penguatan kebijakan pada proses pengajuan dispensasi perkawinan anak, bukan menghapus proses dispensasinya,” pungkasnya.

Menurut Mike penghapusan proses dispensasi pengajuan perkawinan anak menjadi salah satu sisi dilematis bagi upaya penekanan angka perkawinan anak. Pasalnya, proses dispensasi ini juga menjadi salah satu alat ukur untuk melihat angka perkawinan anak di Indonesia. 

Sementara itu, Nadila memberikan solusi efektif untuk menekan angka perkawinan anak di Indonesia, yaitu dengan perantara pendidikan. “Saya rasa memberi materi pembelajaran mengenai metode pendidikan seksual kepada mahasiswa prodi kependidikan dapat menjadi salah satu solusinya,” ungkapnya

Hal ini diungkapkannya karena seringkali menjumpai pendidik atau guru di Indonesia yang masih tabu dan enggan untuk menjelaskan materi pelajaran sistem reproduksi. Menurutnya, hal tersebut seharusnya tidak dilakukan.

Pada penghujung sesi diskusi sore itu Komunitas Seni dan Feminis juga turut menghadirkan penampilan pembacaan puisi tentang perkawinan anak yang dibawakan oleh Monika N Arundhati (Lembata, NTT) dan penampilan musik dari Kristina Jessica Kartika (Bali).

 

Reporter: Khairunissa Aura Fatimah (Magang)

Editor: Iqda Nabilatul Khusna 

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *