*Oleh: Mico Lesmana Putra
Saat ini, banyak sekali pandangan bahwa organisasi kampus atau organisasi kemahasiswaan sudah tidak diminati oleh mahasiswa. Alasannya pun beragam, mulai dari budaya organisasi yang dinilai banyak merugikan mahasiswa dalam menempuh pendidikannya hingga keberadaan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Pandangan mengenai hal demikian juga berseliweran di media sosial, seperti TikTok dan Instagram. Misalnya saja unggahan Eno Bening pada akun TikTok pribadinya. Di dalam video tersebut ia menyampaikan bahwa organisasi kampus yang tidak berubah dalam kultur dan kebiasaan kaku–hanya menjalankan sebuah event dan berjualan gorengan–akan kalah pamor dengan internship yang dianggap lebih menguntungkan bagi mahasiswa. Keresahan itu juga disampaikan oleh akun Instagram bernama @xlfutureleaders yang membahas outlook organisasi kemahasiswaan di tahun 2023.
Selain itu, permasalahan umum organisasi kemahasiswaan lain adalah budaya rapat yang tidak efisien dan membuang-buang waktu. Banyak organisasi kampus pada saat menjalankan suatu program kerja akan mempersiapkannya dalam bentuk rapat rutin setiap minggunya. Tidak jarang rapat ini berjalan dalam waktu yang tidak sebentar. Biasanya, rapat dimulai setelah waktu magrib atau isya dan baru selesai ketika hari sudah berganti.
Senioritas dalam organisasi kemahasiswaan pun juga masih mengakar kuat. Misalnya saja ketika masa periode sudah selesai, kungkungan senior masih dapat dirasakan ketika menjalankan suatu program kerja. Padahal, yang dibutuhkan mahasiswa saat ini adalah tempat untuk mengembangkan diri secara nyata. Mahasiswa pun saat ini lebih tertarik pada kegiatan yang memiliki trade-off yang jelas dan menambah value dengan instan.
Meskipun demikian, organisasi kemahasiswaan masih tetap relevan dengan kebutuhan mahasiswa dan menjadi tempat terbaik untuk belajar di luar ruang kelas. Dengan catatan selama organisasi tersebut masih memiliki nilai dan program yang mampu mengembangkan soft skill mahasiswa. Soft skill memiliki bermacam bermacam bentuk, yang pertama adalah intellectual growth. Banyak organisasi mahasiswa yang memiliki program kerja yang mengembangkan intelektual mahasiswa, seperti diskusi isu nasional hingga bedah buku. Ruang kelas yang hanya terdapat dua sampai tiga sks, tentu memiliki keterbatasan dalam eksplorasi mendalam pembahasan suatu mata kuliah. Hal ini bisa dilanjutkan dalam forum diskusi dan juga bedah buku yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan.
Kedua adalah social impact atau dampak sosial ini pun menjadi prioritas bagi organisasi kemahasiswaan yang termanifestasikan ke dalam pengabdian desa. Baik dalam tingkatan jurusan, fakultas, maupun universitas. Kehadirannya dapat membangun kepedulian mahasiswa terhadap lingkungannya sekaligus dapat menciptakan program baru yang bermanfaat untuk masyarakat.
Ketiga, organisasi kemahasiswaan juga menjadi sarana untuk meningkatkan kepekaan. Peka terhadap kerusakan lingkungan, permasalahan sosial, dan terhadap persoalan lainnya. Kepekaan itu bisa diwujudkan dalam bentuk kegiatan advokasi kesejahteraan mahasiswa (adkesma). Dengan itu, penanganan atas kendala administrasi dan penyaluran informasi birokrasi bisa disampaikan dalam bentuk yang sederhana oleh anggota organisasi kemahasiswaan yang fokus dalam bidang advokasi. Tidak jarang, kehadiran fungsi ini bisa meringankan beban finansial mahasiswa yang menghadapi tingginya uang kuliah tunggal yang harus dibayarkan. Kepekaan mahasiswa terhadap lingkungannya bisa dibangun perlahan di dalam organisasi kemahasiswaan.
Terakhir dan tidak kalah penting, yaitu gerakan mahasiswa dalam peran checks and balances di negara demokrasi. Mahasiswa memiliki peran yang sangat besar dalam mengawasi berjalannya roda pemerintahan. Mahasiswa menjadi tumpuan masyarakat untuk menjadi pengawas setiap kebijakan publik yang dikeluarkan. Dengan kemampuan intelektualitas mahasiswa, pengawasan kebijakan publik dapat dilaksanakan dalam bentuk kajian, audiensi, hingga aksi dalam menentang kebijakan yang berlawanan dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga faktor ini dapat melatih daya kritis mahasiswa terhadap berbagai kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah.
Merujuk dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 77 dijelaskan bahwa organisasi kemahasiswaan memiliki fungsi, yaitu mewadahi kegiatan mahasiswa dalam mengembangkan bakat, minat dan potensi mahasiswa; mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian dan kepemimpinan, serta rasa kebangsaan; memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa; mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Dalam berorganisasi, kecerdasan interpersonal mahasiswa juga akan terbangun. Howard Gardner, ilmuwan yang merumuskan teori intelegensi ganda menyatakan bahwa kecerdasan interpersonal adalah kemampuan memahami pikiran, sikap, dan perilaku orang lain. Kecerdasan interpersonal mempunyai tiga dimensi utama, ketiganya merupakan kesatuan yang utuh: (1) social sensitivity atau sensitivitas sosial yang merupakan sikap empati dan sikap prososial; (2) social insight berupa kesadaran diri, pemahaman situasi sosial dan etika sosial dan keterampilan pemecahan masalah; (3) social communication berupa keterampilan mendengarkan efektif dan keterampilan berbicara yang efektif (Oviyanti, 2016).
Komunikasi dan pertemuan anggota yang intens, agenda serta program kerja yang telah disusun, pemecahan masalah dalam setiap kegiatan, kecerdasan interpersonal juga akan terbangun secara tidak langsung dalam setiap anggota organisasi kemahasiswaan. Dengan nilai tersebut, organisasi kemahasiswaan masih layak menjadi tempat belajar bagi mahasiswa. Selain itu, terlepas dari hierarki organisasi, setiap fungsionaris atau anggota organisasi akan memiliki kesempatan belajar kepemimpinan misalnya dengan menjadi ketua pelaksana dalam suatu program kerja. Meskipun dalam rentang waktu selama satu periode atau satu tahun, waktu ini dapat menjadi pembelajaran dalam meningkatkan skill komunikasi, problem solving, dan memahami karakter individu lainnya. Maka, organisasi kemahasiswaan masih sejalan dengan fungsi yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Nilai dan fungsi inilah yang tidak bisa didapatkan dari hanya sekadar mengikuti program internship atau program MBKM. Namun, organisasi kemahasiswaan juga harus mengubah kultur atau budaya organisasi yang tidak lagi relevan untuk saat ini. Misalnya rapat yang bertele-tele dan justru mengabaikan hal yang diperlukan dalam pengembangan diri setiap anggota. Organisasi kemahasiswaan saat ini harus mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman dan juga perkembangan mahasiswa itu sendiri. Alih-alih program internship dan MBKM memaksa mahasiswa menjadi calon pegawai yang dibutuhkan oleh birokrasi, organisasi kemahasiswaan justru masih dapat memberikan manfaat dalam membentuk karakter mahasiswa sebagai agen perubahan.
Daftar Pustaka
Oviyanti, F. (2016). Peran Organisasi Kemahasiswaan Intrakampus dalam Mengembangkan Kecerdasan Interpersonal Mahasiswa. Journal of Islamic Education Management, 68-69.
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020
Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.