Uang Kuliah Tunggal yang Tidak Lagi Tunggal: Bagaimana Sistem yang Ideal?
Beranda Berita Tokoh

Uang Kuliah Tunggal yang Tidak Lagi Tunggal: Bagaimana Sistem yang Ideal?

Melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi adalah pencapaian tertinggi dalam perjalanan pembelajaran yang memungkinkan individu untuk mendalami pengetahuan dan ilmu. Namun, impian ini sering kali diganjal oleh biaya kuliah yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Seolah-olah, peluang kuliah hanya terbuka bagi mereka yang memiliki tingkat ekonomi menengah ke atas. Pertanyaannya adalah, bagaimana nasib mereka yang berkeinginan kuat untuk kuliah, tetapi memiliki keterbatasan ekonomi? Mengapa biaya kuliah di perguruan tinggi saat ini terasa begitu mahal?

Dalam kesempatan ini, Reporter Linikampus berkesempatan mewawancarai Panji Mulkilah Ahmad, seorang penulis buku yang dikenal lewat karyanya berjudul “Kuliah Kok Mahal”. Ia adalah alumni Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang saat ini aktif bekerja di penerbit Semut Api di Yogyakarta. Dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 2019, Panji, sapaan akrabnya, mengulas sejarah peraturan perundang-undangan terkait pendidikan, khususnya perguruan tinggi, mulai dari era Soekarno hingga masa pemerintahan Joko Widodo. Buku ini memberikan pencerahan mengenai sistem pendidikan di Indonesia.

Berikut adalah kutipan dari wawancara kami dengan Panji Mulkilah Ahmad yang membahas tentang biaya pendidikan di perguruan tinggi, termasuk sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT), dan memberikan saran kepada mahasiswa dalam upaya memperjuangkan biaya pendidikan yang ekonomis dan adil.

Apa pendapat Anda mengenai perubahan dalam sistem UKT yang kini tidak lagi tunggal?

Sebagaimana telah diungkapkan dalam buku “Kuliah Kok Mahal,” terdapat pemahaman bahwa sistem UKT yang berlaku saat ini sudah tidak lagi dianggap sebagai model yang ideal. Dalam pandangan saya, sistem UKT yang ideal adalah yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan dan inklusivitas. Artinya, sistem ini seharusnya tidak membebani mahasiswa dengan berbagai biaya tambahan seperti uang pangkal, pungutan Kuliah Kerja Nyata (KKN), Kuliah Kerja Lapangan (KKL), Praktik Kerja Lapangan (PKL), Wisuda, tes Toefl, jaket almamater, sewa ruangan, dan sebagainya. Walaupun setiap kampus mungkin menerapkan varian biaya yang berbeda, penting bagi sistem UKT yang benar-benar ideal untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi tetap dapat diakses oleh semua tanpa hambatan finansial yang tidak perlu.

Namun, apakah sistem UKT yang adil dan inklusif masih memungkinkan untuk saat ini?

Saya merasa cukup pesimis mengenai hal itu. Pasalnya, saat ini, Uang Kuliah Tunggal (UKT) dalam praktiknya sudah tidak lagi tunggal. 

Lalu, faktor-faktor apa yang memengaruhi ketidakmungkinan hal tersebut?

Munculnya pungutan di luar UKT muncul ketika tidak ada protes aktif dari kalangan mahasiswa. Sebagai contoh, pada tahun 2015, ada pungutan Kuliah Kerja Nyata  (KKN) yang dibatalkan setelah demo mahasiswa. Kemudian pada tahun 2016, ada upaya pungutan uang pangkal yang juga dibatalkan setelah demonstrasi mahasiswa. Tahun 2017, terdapat pungutan uang kelulusan yang dibatalkan setelah aksi protes mahasiswa. Sejak saat itu, muncul berbagai jenis pungutan tambahan yang akhirnya dapat dibatalkan melalui demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Sayangnya, sejak pandemi, protes atau demo dari mahasiswa mulai berkurang, dan sekarang aksi mereka cenderung bersifat seremonial. Kenaikan uang kuliah sebenarnya dapat dicegah jika mahasiswa tetap aktif melakukan aksi protes seperti sebelumnya.

Apakah terdapat alternatif lain untuk mencegah kenaikan uang kuliah selain melalui aksi protes? 

Menurut saya, saat ini, aksi protes adalah satu-satunya alat efektif yang tersedia. Lebih lanjut, seringkali mahasiswa tidak memiliki perwakilan yang memiliki kemampuan tawar-menawar untuk menyuarakan aspirasi mereka. Oleh karena itu, untuk saat ini, aksi protes dianggap sebagai satu-satunya cara yang efektif untuk mengawasi dan memprotes kenaikan uang kuliah.

Banyak perguruan tinggi kini beralih dari PTN-BLU ke PTN-BH, memberikan kewenangan penuh pada kampus dalam menetapkan biaya kuliah dan membuka program studi baru. Salah satu tren yang mencolok saat ini adalah beberapa kampus membuka program studi kedokteran yang sangat diminati. Namun, apakah hal ini menunjukkan dorongan bersaing dalam membuka program studi kedokteran atau hanya mengikuti tren pembukaan prodi baru?

Terkait dengan kampus yang membuka program studi kedokteran, pada dasarnya hal ini tidak menjadi masalah, melihat dari fakta bahwa jumlah dokter di Indonesia masih tergolong sedikit. Namun, permasalahan muncul ketika kampus-kampus yang membuka program studi kedokteran ini masih terpusat di Pulau Jawa. Sebaiknya, kampus-kampus yang ingin membuka program kedokteran sebaiknya terdistribusi di luar Pulau Jawa karena kebutuhan akan tenaga medis di luar Pulau Jawa masih tergolong tinggi.

Namun, masalah yang timbul adalah kampus-kampus yang membuka program studi kedokteran mungkin mengikuti tren dengan niat untuk memenuhi permintaan pasar. Lebih jauh lagi, dalam konteks pendidikan kedokteran, biaya kuliah yang tinggi dianggap sebagai hal yang lumrah.

Apakah kuota penerimaan mahasiswa baru melalui jalur Mandiri lebih besar daripada jalur Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT) dipengaruhi oleh status PTN-BH atau faktor lain? 

Sebenarnya, ini bukan dipengaruhi oleh status PTN-BH. Saya ingat, ketika saya menjadi mahasiswa baru, tidak ada pembatasan rasio penerimaan mahasiswa baru di jalur Mandiri. Kemudian, ada peraturan pembatasan penerimaan mahasiswa baru yang diterapkan. Pembatasan ini juga berlaku saat kampus masih berstatus BLU. Namun, yang membedakan PTN-BH adalah bahwa tidak hanya terdapat jalur Mandiri, tetapi juga lebih banyak jalur alternatif yang beragam, seperti kemitraan, kelas internasional, dan berbagai jenis jalur lainnya. Namun, perlu dicatat bahwa kampus yang belum memiliki status PTN-BH juga dapat menerapkan jalur-jalur alternatif, seperti yang dilakukan oleh Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed).

Pada dasarnya, status PTN-BH memberikan badan usaha ini lebih banyak otonomi dalam mengatur kebijakan di dalam kampus. Perbedaan antara PTN-BLU dan PTN-BH sekarang ini hanya terletak pada struktur kelembagaannya. Mengenai pemangkasan kuota Kartu Indonesia Pintar-Kuliah (KIP-K) yang terus berkurang setiap tahun dan kasus penyelewengan yang terjadi, perlu diingat bahwa tuntutan pendidikan gratis tetap menjadi yang utama, tetapi harus diikuti dengan perbaikan kualitasnya.

Apa yang harus dilakukan mahasiswa untuk memperjuangkan kuliah gratis?

Mahasiswa harus terus aktif dalam memperjuangkan sistem pembayaran uang kuliah yang lebih adil. Menurut pandangan saya, keadilan berarti biaya kuliah tidak seharusnya ditanggung oleh individu, melainkan harus sepenuhnya ditanggung oleh negara alias gratis. 

Pengalaman Narasumber

  • S1 Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman
  • S2 Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
  • Bekerja di Penerbit Semut Api Yogyakarta
  • Penulis Buku “Kuliah Kok Mahal”
[BP2M/Rifky Arindra]

Penulis: Ary Tama
Editor: Rosa Maria Gustaf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *