Oleh: Arkan Labib Afkari*
Demokrasi seolah menjadi narasi besar yang dapat menjamin tiap individu untuk berekspresi, mengungkapkan apa yang ia pikirkan, dan apa yang ia kehendaki. Sekilas memang format demokrasi ini mengindikasikan kepada liberalisme. Lantas apa yang sebenarnya membedakan antara demokrasi dan liberalisme? Perbedaannya terlihat pada konsensus yang dihasilkan dari kebebasan individu atau masyarakat tersebut dalam membentuk suatu norma. Konsensus inilah yang kemudian mengikat individu satu dengan individu lain dan masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Di banyak negara, pemerintahan dalam demokrasi dipilih melalui sistem pemilihan umum. Kita pun sering mendengar slogan demokrasi oleh Abraham Lincoln: Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan demikian, cukup meyakinkan bila demokrasi memberikan harapan kehidupan yang harmonis dan sejahtera. Namun, harapan tinggal harapan.
Sekilas demokrasi begitu ideal di Indonesia, sehingga bisa menyelamatkan banyak orang. Akan tetapi, pada praktiknya demokrasi hanya dijalankan secara prosedural belaka tanpa memperhatikan substansi. Kita bisa menyaksikan, praktik demokrasi yang besar hanya terjadi ketika Pemilu saja. Selepas itu, kebijakan yang dibuat tidak banyak mempertimbangkan kepentingan rakyat. Banyak kita jumpai kasus perampasan hak masyarakat kecil pada beberapa tahun belakangan ini. Juga banyak terdengar praktik penggusuran rakyat kecil untuk kepentingan bisnis dan investasi asing.
Demokrasi pada Baiknya
Kalau dilihat secara historis, pada zaman Yunani dulu demokrasi dimaksudkan untuk menghadirkan pemerintahan yang bisa diakses oleh seluruh individu dalam suatu negara. Semula demokrasi dibuat supaya publik bisa saling beradu argumen membahas suatu kebijakan untuk kemanfaatan negara maupun tiap individu. Dalam hal ini, demokrasi memberikan hak penuh bagi tiap individu menyampaikan keluh kesahnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Percaturan ide, argumen, masalah rakyat hingga negara dibahas secara konkrit tanpa adanya ekslusifitas suatu suku, agama, ras, dan antargolongan, ada dalam konsep demokrasi. Pastinya gambaran semacam ini membuat suatu fantasi yang sebetulnya ideal, terutama bagi Indonesia yang memiliki masyarakat heterogen.
Namun, pada praktiknya, demokrasi seolah menjadi cara melanggengkan dominasi kuasa oleh yang kuat saja. Pada fenomena Pemilu, misalnya, demokrasi berjalan hanya pada tataran peraihan suara. Padahal usaha memenangkan calon presiden pun bisa diselesaikan di “meja makan” sebelum pemilihan itu dilaksanakan. Minimnya pemahaman dan kesadaran tentang bagaimana menjalankan negara yang baik dan bisa diakses oleh semua orang, memberikan jalan praktis untuk meraih kemenangan, walau menghalalkan segala cara. Pembasisan massa yang dibangun bukan berasal dari jual-beli gagasan, melainkan hanya dengan tawaran-tawaran materi seputar uang dan jabatan.
Demokrasi lahir karena sebuah keterpaksaan. Rakyat yang sadar akan hak setiap individu dan demi memeratakan kesejahteraan mendedikasikan demokrasi sebagai konsep yang bisa mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan rakyatnya. Meskipun demokrasi mengalami perkembangan dalam berbagai format, tapi pada intinya tetap berusaha menjamin kehidupan bernegara. Ini merupakan bentuk ikhtiar dari rakyat sebagai pemberi perintah supaya negara tetap ada dan terikat untuk memberikan manfaat yang bisa dirasakan oleh semua orang.
Penyakit di Demokrasi dalam Humanisasi
Demokratisasi kini melekat hanya dalam tujuan pragmatisme. “Asal menang dan tertib ‘demokrasi prosedural’, ngga jadi masalah” mungkin ungkapan tersebut adalah adagium yang dipakai oleh para tim pemenangan. Tidak peduli visi-misi sebesar, sebagus, seinovatif apapun tetap akan tidak terpakai jika memang demokrasi dalam Pemilu hanya sebatas pembasisan massa belaka. Forum konsolidasi yang telah di setting sedemikian rupa di banyak titik daerah pemilihan (Dapil) menunjukan siapa yang akan menang tanpa perlu menunggu waktu lama.
Fenomena-fenomena tersebut akhirnya memunculkan beberapa pertanyaan. Apakah demokrasi hanya sebatas pembasisan massa? Apakah visi-misi dan rekam jejak suatu calon tidak berpengaruh dalam Indonesia ke depan? Apakah nilai (kemanusiaan, pengorbanan, dan kebangsaan) itu penting dalam demokrasi? Apakah yang diberikan pendidikan dalam demokrasi untuk menjamin masa depan negara?
Secara kasat mata, para elit ini pun sebenarnya orang cerdas, punya gelar sarjana, paham akan konsep kenegaraan. Namun, cukup disayangkan ketika kecakapan intelektual digadaikan dengan kecakapan teknis-pragmatis dalam meraih kemenangan. Ataukah ada maksud di balik tujuan pragmatis tersebut? Bisa jadi dalih kebaikan dan menyelamatkan negara menyembunyikan maksud melanggengkan kekuasaan dan kekayaan untuk pribadi maupun kelompoknya.
Memang nafsu kekuasaan dan kekayaan ini sangat akut dan merangsek sumber daya negara. Dari sini bisa terlihat bahwa elite kita memang tidak banyak yang mau berkorban. Padahal, “Leiden is lijden”, pemimpin adalah menderita. Tanpa pemimpin yang mau menderita, rakyat tidak akan mendapat kesejahteraan. Semua kepentingan hanyalah milik korporasi yang dimiliki oleh elite untuk diambil untungnya sepuasnya.
Ataukah ada masalah lain? Misalnya, masyarakat yang belum cerdas, sehingga mudah “diakali”. Secara tidak langsung, problem masyarakat ini bersumber pada pendidikan yang diberikan. Pendidikan di Indonesia masih tersekat dengan hal-hal yang formal. Masyarakat belum sampai merasa memperoleh pendidikan pada aspek informal, seperti pengetahuan akan standar kesehatan, media sosial, kebudayaan, dan lain sebagainya yang ada di kehidupan sehari-hari, tanpa harus di kelas atau sekolah. Kasus ini menjadi PR bagi semua yang bertanggung jawab atas problem-problem tersebut supaya bisa mengentasnya tanpa harus melalui metode yang formal.
Format Baru Demokrasi Kita?
Demokrasi memiliki arti yang dilematis. Melalui kebebasan dan kesetaraan yang selalu menjadi branding dari demokrasi pada akhirnya menimbulkan kontra definisi. Demokrasi memberikan ruang kepada orang yang anti-demokrasi. Apa yang sebenarnya diperjuangkan dalam demokrasi pun tak luput dari dilema itu sendiri. Satu sisi pemerintah yang semula berasal dari rakyat biasa yang kemudian berkehendak secara independen untuk membuat suatu kebijakan, sisi lain kebijakan dibuat terlepas dari utilitas itu akan berdampak pada banyak orang atau segelintir orang saja. Peralihan kekuasaan yang dicapai melalui cara pragmatisme “asal menang dengan banyak massa” dianggap sudah cukup demokratis. Jual-beli ide atau gagasan tidak laku lagi dalam meraih simpati rakyat karena massa sudah dibasiskan dengan tawaran materi.
Hal ini mulai menggiring pada paradigma baru bahwa nilai (kemanusiaan, pengorbanan, dan kebangsaan) sudah tidak laku lagi. Dominasi yang kuat atas yang lemah sudah tidak diperhatikan lagi dalam praktik bernegara. Dominasi yang kuat dibiarkan karena yang lemah sudah putus asa untuk berusaha membuat suatu perubahan. Yang lemah mengikuti arus bagi yang kuat. Akankah ini menjadi format demokrasi Indonesia yang baru dan kita harus menormalisasikannya? Tampaknya ini menjadi perhatian yang serius, menemukan format demokrasi yang lebih ideal untuk kebermanfaatan seluruh elemen masyarakat.
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020
Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi.