Siang itu, terik matahari di depan kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur seolah turut mewakili kobaran semangat massa yang berkumpul sejak pukul 09.00 WIB. Senin, 8 Januari 2024 silam, ratusan mahasiswa dan anggota lembaga swadaya masyarakat, puluhan wartawan, serta berbagai elemen masyarakat sipil lain tumpah ruah di depan kantor yang menjadi tempat berlangsungnya sidang putusan kasus Fatia-Haris tersebut.
Mereka yang bergabung tidak hanya dari Jakarta dan kota-kota sekitarnya. Ahmad Shalahuddin Mansur, perwakilan Komite Politik Yogyakarta, mengatakan ia datang bersama 25 rekan lainnya yang berasal dari Semarang, Surabaya, Purworejo, Purwokerto, Lamongan, dan Yogyakarta. Kata Ahmad, rekan-rekannya datang dengan harapan yang tak berbeda dengannya, yakni adanya putusan yang adil terhadap kasus kriminalisasi Fatia-Haris.
“Kebebasan sipil adalah harga mati bagi negara yang menjadikan demokrasi sebagai panglima. Merepresi kebebasan berpendapat sama artinya membunuh cita-cita agung reformasi dan mandat demokrasi,” ucap Ahmad.
Semenjak kasus Fatia-Haris mencuat, jaringan solidaritas memang bermunculan di beberapa kota, seperti Ponorogo, Malang, Surabaya, Lamongan, Semarang, Salatiga, Trenggalek, Kediri, Demak, Rembang, Magelang, Purworejo, Cilacap, Purwokerto, Yogyakarta, Cirebon, Tasikmalaya, dan Bandung.
Jaringan solidaritas itu pun memantik terbentuknya Komite Politik di beberapa daerah. Komite Politik ini lah yang kerap mengawal dan memantau perkembangan kasus Fatia-Haris. Mereka pun juga menggelar sebuah kegiatan bernama Festival Keadilan di berbagai daerah sebagai sarana menggalang solidaritas.
Aprilia, salah satu advokat Fatia-Haris, mengungkapkan aktivis hak asasi manusia rentan dikriminalisasi, sehingga penting untuk menyatukan solidaritas dari seluruh daerah. “Posisi mereka tidak ada apa-apanya karena berhadapan langsung dengan petinggi negara, yakni Luhut Binsar Pandjaitan,” ucap Aprilia.
Fatia-Haris Dinyatakan Bebas
Kurang dari pukul 12.00 WIB, apa yang diharapkan Ahmad dan rekan-rekannya pun terbayar. Setelah mereka berkumpul berjam-jam, pengeras suara yang dipasang di atas mobil komando–yang menyuarakan persidangan di dalam kantor Pengadilan Negeri Jakarta Timur–pun mulai melantunkan putusan sidang.
Hasilnya, persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana memvonis bebas Fatia-Haris. Kedua aktivis HAM tersebut dianggap tidak terbukti melakukan penghinaan terhadap sosok Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.
“Sesuai pasal, maka terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan. Terdakwa direhabilitasi memulihkan hak kedudukan harkat dan martabatnya,” ucap Ketua Majelis Hakim Cokorda Gede Arthana saat membacakan putusan.
Massa aksi yang mendengar putusan akhir pun bersorak gembira. Mereka serentak berteriak, “Menang!” di tengah keramaian di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Tak lama kemudian, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti pun keluar dari pengadilan. Kaki mereka melangkah ke mobil komando.
Fatia mengawali orasi dengan pengeras suara yang ia pegang kuat-kuat. Di hadapan massa, Fatia mengatakan apa yang baru saja terjadi hendaknya tidak boleh membuat semua berhenti begitu saja. Sebab, pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia masih terjadi.
“Kawan-kawan, hari ini kita sudah membuktikan dan kita menang. Kemenangan ini bukan hanya soal Fatia dan Haris. Tapi, milik semua. Ini harus dijaga konsistensinya, tidak boleh hanya berhenti sampai hari ini,” katanya.
Tak berbeda jauh dengan Fatia, Haris pun juga mengingatkan lagi mengenai pentingnya hak asasi manusia. “Kita datang kesini karena ada kejahatan pada republik ini. Republik ini punya kita, dan kita tidak terhitung jumlahnya, kita harus memperjuangkan hak asasi kita!”
Latar Belakang Kasus Fatia-Haris
Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dilaporkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan atas dugaan pencemaran nama baik yang dinilai jaksa penuntut umum melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP Tentang Penghinaan.
Kejadian ini bermula dari perbincangan yang ditayangkan melalui podcast Haris Azhar (Lokataru) yang mengundang Fatia Maulidiyanti mewakili KontraS, serta Owi dari WALHI Papua. Dalam perbincangan itu, mereka fokus membahas tentang berbagai masalah tambang emas di Intan Jaya, Papua. Tambang emas tersebut dinilai telah melanggar hak asasi masyarakat adat sekitar pertambangan.
Berbagai masalah tersebut menimbulkan keresahan pada masyarakat adat setempat. Salah satunya adalah tindakan mengungsikan masyarakat adat dan bupatinya ke pengungsian yang tak layak dan TNI yang melakukan kriminalisasi kepada warga sekitar pertambangan. Selain itu, pengerukan tambang emas memicu terjadinya pencemaran air, kekeringan, serta munculnya gas beracun yang merusak lingkungan dan merugikan keseharian warga sekitar pertambangan.
Adapun kepemilikan pertambangan emas di Papua yang diulas oleh Fatia-Haris dalam podcast tersebut atas nama Mining Industry Indonesia (MIND ID). Berkaitan dengan hal tersebut, Fatia mengungkapkan bahwa kekuatan yang lebih besar terletak pada PT Tobacon Bela Mandiri, anak perusahaan dari PT Toba Sejahtera Group. Adapun PT Toba Sejahtera Group tercatat menanamkan sahamnya di MIND ID.
“Direktur Tobacon adalah seorang Purnawirawan TNI bernama Paulus Prananto. Sementara itu, saham Toba Sejahtera ini dimiliki oleh salah satu pejabat kita, Luhut Binsar Pandjaitan,” ungkap Fatia, yang kemudian disahuti oleh Haris, “The Lord ya”, balasnya. “Jadi, bisa dibilang Luhut bermain dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua, hari ini,” ucap Fatia.
Reporter: Magang BP2M/Lidwina Nathania
Editor: Yulfiha Nur Azizah