Aliansi Jurnalis Jawa Tengah bersama Koalisi Masyarakat Sipil dan Aksi Kamisan Semarang menggelar aksi penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah pada Kamis (30/05). Massa aksi yang berjumlah lebih dari 50 orang tersebut menolak perubahan Undang-Undang Penyiaran yang pasal-pasalnya berpotensi melanggar kebebasan pers.
Aris Mulyawan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang, mengungkapkan kekhawatirannya akan RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers, khususnya larangan pada penyiaran eksklusif jurnalisme investigatif dalam Pasal 50 B ayat (2).
Aris juga mengingatkan bahwa larangan jurnalisme investigatif tidak hanya berdampak pada jurnalis, tetapi juga masyarakat. “Dampaknya bukan hanya ke jurnalis tetapi juga ke masyarakat,” katanya. Selain itu, menurutnya, kelompok masyarakat rentan yang dijadikan sebagai subjek penindasan akan kesulitan mengakses layanan advokasi dan pemberitaan.
Senada dengan Aris, Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) lewat Lenny Ristiyani menyampaikan keresahannya melihat RUU Penyiaran. Katanya, ini adalah cara pemerintah membungkam masyarakat. Apalagi jika korbannya kaum rentan seperti perempuan, jurnalisme investigasi dibutuhkan untuk mengungkap kekerasan seksual berbasis gender.
“Jurnalisme investigasi sangat berperan dalam mengungkap kasus kekerasan seksual berbasis gender,“ ungkapnya.
Lenny juga menyoroti bagaimana RUU Penyiaran menyempitkan peran jurnalis dalam membela korban. “Dalam setiap proses hukum, jurnalis harus selalu terlibat, seperti jika kasus kekerasan seksual berbasis gender tidak diberitakan dalam media,” tuturnya.
Jika RUU Penyiaran dengan pasal bermasalah tersebut tetap disahkan, ia khawatir penanganan kasus oleh pemerintah juga akan lambat. “Maka respons pemerintah akan lambat. Katakanlah saat viral baru direspons,” imbuhnya.
Soal ini, Ahmad Ramzy dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Dinamika juga angkat bicara . Ia berpendapat pemerintah seakan mengungkung jurnalis. Ahmad pun juga menjadi was-was terjerat pidana sehingga orang-orang mulai meninggalkan pekerjaan jurnalistik. “Ketidakadilan pemerintah kepada jurnalis ini merupakan salah satu bentuk agar kita merasa was-was terjerat sampai orang-orang tidak akan tertarik pada pekerjaan jurnalistik,” jelasnya.
Ia juga mempertanyakan bagaimana masa depan Pers sebagai pilar ke-4 penyeimbang demokrasi yang sedari ini dibungkam kebebasannya lewat RUU Penyiaran. “Kedepannya mungkin kita akan diisi pemimpin-pemimpin yang otoriter hingga tidak bebas menyuarakan apapun, padahal nilai utama demokrasi bagaimana pers memiliki fungsinya,” tuturnya.
Aris berharap RUU Penyiaran ini dibatalkan dan tidak disahkan secara diam-diam dengan mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal serta tidak lengah terhadap isu ini.
Dimulai pukul 16.00 WIB, Aksi penolakan RUU Penyiaran ini diawali dengan long march dari Patung Kuda Peleburan hingga Gedung DPRD Jawa Tengah. Selain penyampaian orasi dan tuntutan, pembacaan puisi juga dilakukan oleh para massa aksi. Setelahnya ada aksi simbolik berupa menggembok dan menaburkan bunga di depan Gedung DPRD Jateng. “Untuk meruwat matinya wakil rakyat yg mati nuraninya,” tutur Aris.
Aksi penolakan RUU Penyiaran ini ditutup dengan pernyataan sikap yang di dalamnya terdapat tujuh poin tuntutan, yaitu menolak pembahasan RUU Penyiaran, mendesak DPR menghentikan substansi yang bertentangan dengan nilai demokrasi, dan melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan revisi UU Penyiaran. Selain itu massa aksi juga menuntut membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil dalam proses penyusunan serta melibatkan dewan pers dan menggunakan UU pers sebagai pertimbangan dalam penyusunan RUU Penyiaran.
Reporter : Lidwina Nathania (Magang BP2M), Raihan Rahmat Darmawan (Magang BP2M), Laras Dwi Mufidah
Penulis : Raihan Rahmat Darmawan (Magang BP2M), Laras Dwi Mufidah
Editor: Adinan Rizfauzi