LINIKAMPUS Blog Sastra Cerpen Bapak Tua dan Kenangan
Cerpen Sastra

Bapak Tua dan Kenangan

Ilustrasi seorang anak perempuan yang melihat bapak tua tengah bersepeda (Alya/ BP2M)

Ilustrasi seorang anak perempuan yang melihat bapak tua tengah bersepeda (Alya/ BP2M)

alat makan ramah lingkungan

Debu-debu asap sepeda motor mulai beterbangan menghiasi pagi di Jalan Veteran Kota Salatiga. Diiringi suara-suara sepeda motor dan bus-bus jurusan Semarang, suasana pagi bertambah ramai. Memang menjelang pagi  suasana seperti ini sudah menjadi bagian hidupku. Tinggal di daerah dekat Pasar Rejosari, Salatiga memang sangat berbeda. Suasana bisingnya kendaraan menjadi warna tersendiri dalam hidupku. Namun pagi kali ini tidak sama dengan yang kemarin. Pagi kali ini hanya sedikit orang yang berjalan kaki di depan rumahku. Kalaupun ada, itu hanya dua atau tiga orang lewat.

Pagi kali ini ada yang asing di mataku. Pada pukul sepuluh pagi, seorang bapak tua yang berusia sekitar 70 tahun mengayuh sepeda onthel dengan menggendong bagelen di keranjang besar. Melihat bapak tua itu ada rasa iba. Bapak tua melewati depan rumahku. Tepat pada ulang tahunku yang ke tiga puluh tujuh tahun, bapak tua itu untuk pertama kalinya menghiasi menit demi menit yang kulalui.  

Saat melihatnya, terbesit suatu tanya dalam pikiranku. Apakah bapak tua itu hidup seorang diri? Di mana anak-anak dan istrinya? Melihat kondisi bapak tua itu selalu timbul rasa ingin tahu tentangnya. Tapi sejak mondar-mandir di sekitar dekat rumahku, ia belum pernah menawarkan bagelen padaku.

Aku melihat bapak tua itu dari jauh. Aku berharap semoga ia menawarkan bagelennya. Tapi sudah kutunggu kurang lebih sepuluh menit bapak tua itu tidak menawarkan jualannya. Aku diam saja. Tak memanggilnya. Aku membiarkan bapak tua itu menjual bagelennya kepada orang yang ingin ia tawarkan. Meski dalam hati kecilku aku juga ingin bapak tua itu mampir ke rumahku.

Aku perhatikan bapak tua itu lama. Ia hampir menawarkan jualannya ke semua tetangga-tetangga dekat rumahku. Ia tampak senang jualannya laris. Ditengah kesibukannya, ia berjualan sesekali menengok ke arahku sambil tersenyum. Tapi bapak tua itu tidak menawari jualannya dari kejauhan. Aku berpikir apa yang terjadi dengan bapak tua itu? Ia seperti agak aneh. Dua menit kemudian aku tak lagi memikirkan bapak tua itu. Aku mencoba berpikir positif saja.  

Suasana pagi yang tak pernah aku duga sebelumnya. Di usia yang semakin bertambah ada saja yang terlihat beda dalam hidupku. Aku sendiri tak pernah menginginkan bertemu dengan orang seperti bapak tua itu. Dua hari yang lalu sebelum usiaku menginjak tiga puluh memang kerinduan hati ini adalah ingin bertemu dengan bapak yang sudah pergi dari rumah. Tapi entah kenapa di usia yang semakin bertambah ini aku bertemu dengan bapak tua itu. 

Apa Tuhan belum menjawab doaku? 

Apa Tuhan punya rencana lain?  Kadang tanya itu masih saja terbesit dalam pikiranku. Ada hal-hal yang tak kuduga. Ada hal-hal yang tak kuingin seperti terjadi. Dalam diamku kali ini mungkin Tuhan ingin mengajariku sesuatu. Sesuatu rencana lain yang lebih indah dari rencanaku.  

Sampai detik ini bapak tua itu sudah pergi dan tak menawarkan jualannya di Jalan Veteran Salatiga. Sementara aku masih saja memikirkannya. Entah seperti sulit aku mengusir pikiran itu. Lagipula bapak tua itu juga bukan bapakku. Tapi doaku dua hari lalu tentang kerinduan bapakku kembali ke rumah  , itulah yang membuat aku memikirkan bapak tua itu.

Memang sejak bapak diusir oleh keluarga besar ibu karena mendua dengan wanita lain, aku tak lagi merasakan kasih sayang di rumah. Kepergian bapak di saat usiaku menginjak enam belas tahun membuat aku merindukan sosok pengganti bapak. Bapak yang bisa memberikan kasih sayang penuh untukku, karena selama ini ibu yang masih satu atap denganku selalu berkata kasar dan jarang memberikan waktu untuk berbincang-bincang dari hati ke hati.

Menit demi menit  sering aku lalui dengan rasa haus akan kasih sayang bapak. Tiap kali aku melihat teman-teman sebayaku dipeluk dan disayang dengan bapaknya, timbul rasa iri dalam diriku. Aku ingin seperti mereka juga. Aku ingin merasakan kehangatan seorang bapak. Tapi itu hanyalah mimpi-mimpi yang tak pernah menjadi nyata hingga usiaku menginjak ke tiga puluh tujuh tahun.

Dalam hati, aku selalu merindukan bapak pulang kembali. Aku rindu masakannya. Aku rindu suara lembutnya. Aku rindu tangannya yang selalu menepuk pundakku dan memberi semangat. Kerinduan-kerinduan itu selalu membawa aku meneteskan air mata.

Tiba-tiba kemunculan bapak tua itu membawa ingatanku tentang bapak yang pergi entah ke mana. Bapak tua itu wajahnya mirip seperti bapakku. Cara tersenyumnya pun sama dengan bapak. Caranya berjalannya yang menunduk, bisa dibilang persis dengan bapak. Bapak tua yang baru saja kulihat itu membawa aku tak henti-hentinya untuk merindukan bapakku.

Dalam kesendirian di pagi ini, aku teringat akan kata bbapakku sebelum pergi dari rumah. Meskipun bapak memang adalah dipihak yang salah,  namun beliau selalu berkata positif. Beliau selalu berharap yang terbaik untuk anaknya.

“Bapak, Kenapa?”

“Jelita, besok pagi bapak tak lagi di rumah ini.”

“Loh, kenapa pak?”

“Kakak dan adik ibumu tak menginginkan bapak tinggal di rumah ini. Mereka mengusir bapak dengan tidak terhormat. Mereka marah besar. Semua ini karena kesalahan bapak yang sudah selingkuh dengan wanita lain.”

“Jelita masih nggak percaya.”

“Apa yang bapak katakan ini benar. Memang Bapak dipihak yang salah”

“Tapi bapak, masalah ini kan bisa diselesaikan dengan baik-baik.”

“Jelita, mereka sudah tidak mau bapak di sini. Kamu yang sabar ya nak. Jadi anak yang gigih berjuang. Sekolah yang rajin. Jadi orang sukses. Dan bisa banggakan orang tua.”

“Bapak, tapi anakmu Jelita ini tidak bisa menerima semunya!”

“Bapak besok tidak di rumah ini lagi. Kakak dan adik ibumu tidak bisa menerima bapak lagi. Aku harap Jelita tidak sedih berlarut -larut.”

“Hati Jelita rasanya sakit. Meski Bapak dipihak yang salah tapi saudara-saudara dari pihak Ibu tak seharusnya begitu!”

“Jelita, kamu jangan marah ya sama saudara-saudara ibu, jaga ibumu. Kamu anak satu-satunya Ibu.”

Satu per satu kenangan itu membuat aku seperti menginginkan bapak segera ke rumah. Tapi aku sendiri tak tahu di mana bapak? Aku sudah kehilangan jejak bapak. Sejak bapak diusir dari rumah, rasa kerinduan yang tak berhenti tentang bapak terkadang muncul. Tapi semua itu hanyalah kenangan yang sementara lewat dalam hidupku. Keinginan akan bertemu dengan bapak hanya bisa dirasakan saat aku tidur dan memimpikannya.

Tiga jam berlalu. Kerinduan bapak masih saja menghiasi menit demi menit yang sudah berlalu. Pada menit-menit berikutnya aku selalu berharap, meski bapak tak bersamaku, ia selalu kuat dan sabar hadapi apapun. Aku berharap bahwa bapak selalu ingat dengan aku dan ibu.

Waktu terus melaju. Tiga jam telah berlalu. Sepuluh menit pun berlalu. Tiba-tiba tak pernah kuduga kehadiran bapak tua itu muncul di depan rumahku. Saat itu, aku memang sedang melihat keadaan luar rumah. Sosok bapak tua itu mengejutkan aku.

“Pagi, nona cantik.”

“Pak.. pagi pak..”

“Beli bagelennya?” tawarnya.

“Iya pak.”

“Kenapa nona tampak sedih?”

“Eh, iya pak. Lagi kangen seseorang pak.”

“Kangen siapa nona?”

“Saya kangen Bapak saya.”

“Memang bapaknya nona di mana?”

“Pergi, nggak tau ke mana.”

“Kalau begitu anggap saja saya bapakmu sendiri nona. Saya itu tidak pernah punya anak, karena saya hidup melajang sampai tua.”

“Oh iya pak, terima kasih pak”

“Ini bagelennya dibawa saja. Nggak usah dibayar.”

“Loh pak, jangan begitu!”

“Bapak cepat-cepat, pergi dulu ya karena banyak hal yang harus dibersihkan di rumah. Lain waktu ke sini lagi.”

Hari itu aku sangat bersyukur. Sebab, aku merasakan sesuatu yang lain dari bapak tua itu. Ketulusan terpancar darinya. Aku merasakan kehangatan saat berbincang-bincang dengan bapak tua itu. Aku percaya pertemuan aku dengannya pasti ada rencana Tuhan yang indah. Dibalik masalah selalu ada hal positif dalam hidupku. 

Penulis: Devita Andriyani

Exit mobile version