Cerpen Sastra

Tak Sedarah

Ilustrasi Cerpen "Tak Sedarah" [BP2M/Syarifah Nur H]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

*Oleh: Novyana

Aksara terpaksa mengambil cuti dari kantor untuk mengurus semua hal terkait kasus kematian sang ayah. Hari ini pihak kepolisian resmi menutup kasus kecelakaan yang dialami ayah Aksara.

“Kalo bukan aku, siapa yang akan mengurus kasus ini?” Aksara hanya bisa membatin dalam hati sembari sesekali mengangguk mendengar penjelasan polisi. Dokumen itu selesai dengan pungkasan tanda tangan Aksara di atasnya. Kasus ini selesai, itu yang dapat ia simpulkan. 

Jauh di dalam lubuk hatinya, ia menganggap kasus ini belum tuntas, bahkan aneh. Mulai dari tuduhan yang akhirnya mengarah ke ayahnya, menganggap bahwa ayahnya bunuh diri. Aksara meragu, rasanya  tidak mungkin jikalau ayah mengakhiri hidupnya sendiri seperti yang dikatakan dalam surat itu. Ironisnya, bahkan jenazah ayah belum ditemukan. Tetapi, ia memutuskan untuk tetap pulang. 

Kini Aksara hanya tinggal bersama ibu dan kedua adiknya. Mereka pasti tengah menunggu kedatangannya. Lebih tepatnya menunggu untuk mengetahui apa yang surat itu katakan tentang kematian ayahnya. Begitu sampai, ia dapat melihat wajah sendu dari ketiganya. Terlebih sang ibu yang sudah dipastikan akan lebih cepat bersedih dari yang lainnya. Aksara tahu betul bahwa sang ibu sangat mencintai ayahnya, ia dapat melihat rasa cinta  itu ketika sang ibu mau menerima ayahnya.

“Tidak bisa banding, nak?” Sungguh Aksara tak mampu melihat tatapan penuh harap itu dari sang ibu. Tak terelakkan, ia hanya bisa menggelengkan kepala.

“Tertanda, Aksara Harsawijaya. Bagus mas, bagus. Kayak gini aja Mas Aksa udah nyerah. Setidaknya ajukan banding. Iya kalo ayah memang udah jelas meninggal tapi ini mayatnya aja belum ketemu, Mas!” Ajeng–adik pertama Aksara– langsung saja merebut berkas yang ada di tangannya. Ia langsung meledak-ledak tak terima atas keputusan yang Aksara ambil.

“Kenapa nggak kamu aja yang urus? Ajukan banding, temukan mayat ayah, bagi warisan, beres!  Mas nggak usah ambil cuti! Semua bisa kerja, kembali ke rutinitas, itu kan yang kamu mau?” Terkesan kasar, namun perkataan Ajeng tak bisa ia biarkan.

“Oh, jadi sekarang Mas Aksa nuduh aku rencanain kecelakaan Ayah? Bagus, memang pintar andalan keluarga ini, tapi kenapa bodoh dalam meletakkan tanda tangan?” 

“Akui saja kalau Mas Aksa memang menantikan surat itu supaya bisa mengurus warisan secepatnya. Nggak usah naif,” Alfin–adik bungsu Aksara– sepakat dengan Ajeng, semakin menyulut emosi Aksara. Namun, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan debat kusir ini lantaran melihat wajah sang ibu yang semakin sendu dan khawatir. 

Ia menenangkan diri di kamarnya, merenungkan banyak hal yang membuat pusing kepalanya. Ia akui tanda tangan itu memang keputusan yang bodoh. Tetapi, bukankah akan sia-sia jika tetap saja bergantung pada polisi? Ia ingin mengatasi masalah ini sendiri. Detik berikutnya ia baru teringat bahwa mobil serta bukti kecelakaan ayah masih di tangan polisi. 

Ia memutuskan untuk menemui Ratih, sahabatnya. Ratih adalah satu-satunya yang tahu bagaimana Aksara menghadapi kasus ini di saat keluarganya hanya bisa menodongkan pisau belati ke arahnya. Ratih itu pintar, ia lulusan jurusan hukum pada salah satu universitas di Inggris. Jadi wajar saja kalau dirinya berhasil menjadi pengacara handal. Ratih bahkan mendapatkan julukan “Malaikat Maut” lantaran banyaknya kasus yang dimenangkannya. 

“Aku heran, kenapa bisa secepat ini selesai?” tanya Aksara pada Ratih sembari menunjukkan kertas yang dengan bodoh ia tandatangani. 

“Singkatnya karena sudah melebihi batas waktu, bukti tidak kuat, mayat masih belum ditemukan. Di sini dinyatakan tenggelam karena bunuh diri, sebenarnya secara hukum ini memang pantas dianggap selesai.” Green tea latte itu sudah separuh Ratih habiskan, pertanda memang dia menyimak dan ikut berpikir akan kasus ini. 

“Tapi anehnya kenapa mayatnya bisa gak ketemu? Menurutmu ini aneh nggak?” Ratih tersenyum. Aksara tahu Ratih akan menertawakan pendapatnya yang tidak lucu ini. 

“Kamu pernah jadi Tim SAR, Aksa?” 

“Ngaco, mana pernah,”

“Berarti kamu tidak tau betapa sulitnya menyelam minimal empat jam ditambah ini musim hujan. Kasus ini sudah hampir sebulan dibuka, kamu bayangkan saja sendiri.” Aksara mulai berpikir kalau semua ini masuk akal. Semua pendapat Ratih sangat masuk akal, menurutnya.

“Keluargamu menuduh kamu, kan? Menganggap semua ini kamu lakukan demi warisan?”

“Itu wajar,” balas Aksara enteng. 

“Benar, sangat wajar. Tapi pernah nggak kamu berpikir kalau bisa saja salah satu dari mereka yang melakukan? Alih-alih mengaku, dia justru mengundang tuduhan terhadapmu,” 

“Sekarang kamu sedang menuduh keluargaku termasuk Ibuku melakukan ini, Rat?” Lagi-lagi Ratih tersenyum. 

“Aksa..Aksa pantas saja Ajeng sama Alfin bilang kamu bodoh, memang kamu sebego ini, hahaha.” Aksara masih tidak mengerti. Alih-alih melayangkan protes, ia justru memilih untuk menunggu Ratih menyelesaikan kalimatnya. 

“Itu hal yang sangat klasik yang dilakukan pembunuh dalam sebuah kasus pembunuhan kepala keluarga, Aksa. hampir 60 persen kasus yang kutangani dulu saat masih di London mempunyai motif serupa,” Ratih melanjutkan kalimatnya, berusaha memberi petunjuk kepada Aksara. 

Memang petunjuk itu tak bisa dirinya terima sepenuhnya, namun membuat Aksara sedikit berpikir. Tetapi, jika memang salah satu dari mereka, apakah itu tidak ironis. Baru saja kemarin Ajeng menuduhnya, pasti pelakunya mendengar debat kusir kami. Aksara bahkan tak membantah ketika Ratih menyebutkan bahwa alasannya pasti karena warisan. 

Aksara mulai mempersempit kandidat pelaku, yakni Ajeng. Menurutnya, Ajeng pasti sadar jikalau jatah warisannya adalah yang paling sedikit. Alasannya sesederhana, pengaruh patriarki. Aksara mulai memperhatikan gerak-gerik Ajeng akhir-akhir ini. 

“Ajeng, apa kebetulan kamu…” Tak dapat menahan gejolak  rasa penasarannya, Aksara jutsru menanyakan hal tersebut langsung kepada Ajeng.

“Bunuh Ayah? Pikir saja sendiri, Mas, aku capek,” 

Jawaban ambigu itu membuat Aksara semakin terombang-ambing. Terlalu ambigu untuk dipercaya atau tidak. Ia memutuskan untuk tetap memantaunya sembari berpikir mencari alasan untuk berganti menuduh Alfin. Ia sudah bertekad untuk tidak gegabah dengan menanyakannya langsung kepada Alfin. Namun, Alfin justru sudah mengetahuinya dari Ajeng. 

“Aku dengar dari Mbak Ajeng kalau Mas Aksa mulai nuduh dia? Apa Mas Aksa bakal nuduh aku juga?” 

“Iya, benar,” 

“Yang jelas mas, semua orang bisa jadi pembunuh,”

Mengapa semua jawaban itu tidak jelas? Apa sulitnya menjawab dengan ya atau tidak. Aksara mulai kalut, ia tak tahu bagaimana lagi caranya untuk memecahkan kasus kematian sang ayah. Semuanya terasa sangat abu-abu membuat ia takut untuk melangkah. Ia berpikir untuk segera mengetahui keberadaan sang ayah untuk memastikan semuanya. Hanya tersisa satu nama lagi yang belum ia curigai, yakni sang ibu. Namun, ia bahkan tak sanggup berpikir bahwa sang ibu bisa jadi adalah pelakunya. 

Ia sudah mulai tenang melihat sang ibu  yang akhir-akhir ini mulai merawat tumbuhan. Aksara berpikir bahwa itu adalah bentuk pengalihan agar sang ibu tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Omong-omong, setiap kali Aksara melihat bunga yang ditanam sang ibu ia menjadi tenang. Warna bunga itu biru semi ungu, kesukaannya. Aksara yakin ibu menanamnya untuk diam-diam menyemangati dirinya. Aksara sungguh menyayangi sang ibu. 

Satu minggu telah berlalu dan Aksara belum menemukan titik terang apapun. Ditambah kedua adiknya yang tampaknya pergi liburan hingga tak terlihat di rumah, dihubungi pun tak bisa. 

Ibu tampaknya tahu bahwa dirinya sedang cemas. Tubuh yang hampir renta itu perlahan menghampirinya, tangan yang halus itu mulai membelai surai rambut Aksara. 

“Ajeng sama Alfin kayaknya pergi liburan, Bu. Aku semakin merasa kalau cuma aku yang peduli sama Ayah,” ucap Aksara memulai percakapan

“Ibu tau kamu yang paling peduli, semua itu terlihat, tapi adik-adikmu tidak pergi liburan, nak,” Aksara menatapnya heran. 

“Lalu kemana, Bu? Mereka sempat pamit ke Ibu?”

“Iya,” 

“Mereka pamit untuk menyusul Ayah,” lanjutnya yang seketika membuat Aksara terkesiap sesaat. Seperti kata Ajeng, Alfin, bahkan Ratih, Aksara memang terlalu bodoh untuk mengartikan hal implisit. 

“Maksud Ibu, ma..” 

“Iya, mati. Awalnya Ibu hanya ingin mencoba seberapa kuat racun bunga itu. Ternyata kuat. Bahkan yang tenggelam dia hilang,” 

Teh bunga itu, Aksara meneguknya lima menit lalu. Bunga aconit. Bunga berwarna biru semu ungu yang Aksara kira sengaja ditanam untuknya, namun ternyata untuk semua. 

“Tenang saja, Aksa, racun itu tidak terlalu menyakitkan di 15 menit awal. Sembari menunggu, Ibu persiapkan pemakaman kalian berdua dulu. Bau sekali kedua adikmu itu. Ibu tidak tahan. Oh, bukan Ibu, boleh kuganti dengan aku? Ibumu terlalu istimewa bagi Ayahmu, tapi aku yang mengurus hari tua lelaki itu, yang benar saja!”  

Tubuh Aksara mendadak kaku. Ia seketika ambruk, ekor matanya mengikuti arah wanita itu. Lalu tertuju pada bayangan yang ia kenal. Bayangan lelaki yang selalu mengajarkan ia kepada semua kekuatan dunia dan tipunya. Bayangan itu memusnahkan wanita yang meracuni kami bertiga. 

Sayangnya rencana wanita itu berhasil. Setidaknya semua harta Ayah kembali padanya hingga akhirnya Aksara bisa menutup mata dengan sebuah senyuman, menandakan bahwa ia merasa bersyukur akhirnya dapat mengetahui siapa pelaku sebenarnya.

 

*Mahasiswi Sastra Inggris Unnes 2021

Exit mobile version