LINIKAMPUS Blog Sastra Puisi Tanya Kehidupan
Puisi Sastra

Tanya Kehidupan

Ilustrasi Puisi "Tanya Kehidupan" [BP2M/Alfiah Malik]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

Oleh: Abizar Dhiaz Ulhaq*

 

Tanya kehidupan

Dalam setiap untaian kata di sudut tembok kelam

Dalam setiap bisik antar tembok rumah runyam 

Mengikat banyak malaikat di sepanjang jalan raya malam 

Bulan menjadi saksi kejamnya manusia yang beragam

 

Lantunan do’a di bawah atap rusak tanpa adikara 

Tangis insan di pinggir danau kota, desa dan muara

Jiwa mereka amerta tersimpan di bumantara

 

Di sudut lain kehidupan, tampak tawa yang nirmala

Anak kecil yang lelap dalam peluk ibunya 

Kenyangnya perut pemuda di atas lantai keluarga 

Rasa bahagia dirantai dan diikat mati dengan adiwangsa

 

Tertimpa dan tertindih umur yang panjang 

Nikmat bentala yang terikat dengan nyata tanpa ruang 

Mata tertuju pada kehidupan indah yang akan datang 

Tertata rapih dalam arsip kehidupan yang matang

 

Senandika tak pernah salah apalagi benar 

Sedikit memori menyadarkan untuk bersikap alakadar 

Tak semua tentang derita yang membakar 

Tak semua tentang bahagia yang tersebar

 

Mengerti bukan sekadar bersyukur 

Rela bukan sekedar ikhlas yang ditabur 

Dan percaya bukan sekedar iman yang terukur 

Karena kehidupan tak selalu tentang alam kubur

 

Peradaban

Lantusan kata yang mengisi riuh sebuah peradaban 

Mengikat perih dan luka, penuhi kuping kiri dan kanan 

Langkah kaki yang melewati jutaan kehidupan

Menikam cepat apresiasi dan penghargaan

 

Aksara cantik di batas kemajuan kasta

Dibaca dan dipandang setengah mata

Dari insan yang dianggap tidak tertata 

Terbelenggu pada nirmala harta dan tahta

 

Kepala yang tak pernah nampak rupawan 

Tangan yang tak pernah nampak Menawan 

Terlihat sedang mencari seorang lawan 

Padahal jelas membutuhkan banyak kawan

 

Mencekik habis semua yang dianggap tabu

Dibiarkan mati tanpa sebuah kubu

Lara dan gelisah di hati Seorang ibu

Terdenger jelas sampai bumi menjadi abu

 

Mentari datang sehabis malam yang panjang 

Sinarnya terasa aksa dan terasa terang

Alarm berteriak dengan bebas dalam ruang

Pertanda ini waktunya perang

 

Membangun jiwa dan raga anak bangsa 

Memeluk erat dengan hati dan juga rasa 

Hari ini, bukan besok apalagi lusa 

Mencari pengguncang dari masa ke masa

 

Keadilan entitas tunggal

Dalam dinginnya ruang malam tanpa pembatas

Terdengar sunyi bak sebuah formalitas

Mengingat kehidupan yang sudah lawas

Tersenyum tipis mengingat hidup yang tak waras

 

Dihajar sepi yang tiada habisnya

Menanti kabar yang tiada henti-hentinya

Tak ada satupun yang kau nanti di dunia

Selain perasaan yang kau sebut bahagia

 

Sedikit rasa yang disimpan dalam media

Membuat insan merasa aman serta percaya

Walau kadang nasib seakan adidaya

Yang kau perlu hanya adiwidia

 

Caci maki dalam diam sampai terucap

Rasa hina yang tiada henti dibentuk dan ditancap

Menghilang dan pergi dalam dunia yang gelap

Sampai kapan mau terus terlelap? 

 

Siksa tak pernah menipu bagai foto di kamera

Balasan tak pernah sedikit meskipun kau lara

Semua terekam dan tersimpan tanpa bicara

Akan semua hal yang kau sebut perkara

 

Rasakan apa yang kau sebut rasa

Bawakan apa yang kau bisa bawa

Dari dunia yang tidak akan selamanya

Menuju entitas yang tak punya nama

 

*Siswa SMA Negeri 15 Tangerang

Exit mobile version