Oleh: Abizar Dhiaz Ulhaq*
Tanya kehidupan
Dalam setiap untaian kata di sudut tembok kelam
Dalam setiap bisik antar tembok rumah runyam
Mengikat banyak malaikat di sepanjang jalan raya malam
Bulan menjadi saksi kejamnya manusia yang beragam
Lantunan do’a di bawah atap rusak tanpa adikara
Tangis insan di pinggir danau kota, desa dan muara
Jiwa mereka amerta tersimpan di bumantara
Di sudut lain kehidupan, tampak tawa yang nirmala
Anak kecil yang lelap dalam peluk ibunya
Kenyangnya perut pemuda di atas lantai keluarga
Rasa bahagia dirantai dan diikat mati dengan adiwangsa
Tertimpa dan tertindih umur yang panjang
Nikmat bentala yang terikat dengan nyata tanpa ruang
Mata tertuju pada kehidupan indah yang akan datang
Tertata rapih dalam arsip kehidupan yang matang
Senandika tak pernah salah apalagi benar
Sedikit memori menyadarkan untuk bersikap alakadar
Tak semua tentang derita yang membakar
Tak semua tentang bahagia yang tersebar
Mengerti bukan sekadar bersyukur
Rela bukan sekedar ikhlas yang ditabur
Dan percaya bukan sekedar iman yang terukur
Karena kehidupan tak selalu tentang alam kubur
Peradaban
Lantusan kata yang mengisi riuh sebuah peradaban
Mengikat perih dan luka, penuhi kuping kiri dan kanan
Langkah kaki yang melewati jutaan kehidupan
Menikam cepat apresiasi dan penghargaan
Aksara cantik di batas kemajuan kasta
Dibaca dan dipandang setengah mata
Dari insan yang dianggap tidak tertata
Terbelenggu pada nirmala harta dan tahta
Kepala yang tak pernah nampak rupawan
Tangan yang tak pernah nampak Menawan
Terlihat sedang mencari seorang lawan
Padahal jelas membutuhkan banyak kawan
Mencekik habis semua yang dianggap tabu
Dibiarkan mati tanpa sebuah kubu
Lara dan gelisah di hati Seorang ibu
Terdenger jelas sampai bumi menjadi abu
Mentari datang sehabis malam yang panjang
Sinarnya terasa aksa dan terasa terang
Alarm berteriak dengan bebas dalam ruang
Pertanda ini waktunya perang
Membangun jiwa dan raga anak bangsa
Memeluk erat dengan hati dan juga rasa
Hari ini, bukan besok apalagi lusa
Mencari pengguncang dari masa ke masa
Keadilan entitas tunggal
Dalam dinginnya ruang malam tanpa pembatas
Terdengar sunyi bak sebuah formalitas
Mengingat kehidupan yang sudah lawas
Tersenyum tipis mengingat hidup yang tak waras
Dihajar sepi yang tiada habisnya
Menanti kabar yang tiada henti-hentinya
Tak ada satupun yang kau nanti di dunia
Selain perasaan yang kau sebut bahagia
Sedikit rasa yang disimpan dalam media
Membuat insan merasa aman serta percaya
Walau kadang nasib seakan adidaya
Yang kau perlu hanya adiwidia
Caci maki dalam diam sampai terucap
Rasa hina yang tiada henti dibentuk dan ditancap
Menghilang dan pergi dalam dunia yang gelap
Sampai kapan mau terus terlelap?
Siksa tak pernah menipu bagai foto di kamera
Balasan tak pernah sedikit meskipun kau lara
Semua terekam dan tersimpan tanpa bicara
Akan semua hal yang kau sebut perkara
Rasakan apa yang kau sebut rasa
Bawakan apa yang kau bisa bawa
Dari dunia yang tidak akan selamanya
Menuju entitas yang tak punya nama
*Siswa SMA Negeri 15 Tangerang