Universitas Negeri Semarang (Unnes) saat ini sedang gencar melakukan pembangunan. Dalam tiap tapak langkah kami, dari kampus barat hingga timur, hal ini cukup menyita perhatian. Oktober lalu, monumen berbentuk Garuda Pancasila sempat hilang dan ternyata diperbarui. Tak hanya itu, trotoar di sepanjang area kampus barat dan timur juga dibongkar pasang. Lantas, hal ini menyimpulkan pertanyaan: “Apa letak urgensi dari pembangunan ini?”
Menyusuri letak urgensi pembangunan
Kami menyusuri kampus untuk mengamati pembangunan yang ada. Trotoar saat ini belum sepenuhnya bisa digunakan. Dalam proses pembaruan trotoar, tak bisa dipungkiri kemacetan sering terjadi. Debu-debu pembangunan gedung dan aspal menyisakan tanah dari ban mixer truck. Hal ini membuat pengguna sepeda dan motor perlu lebih berhati-hati saat melintasi jalanan di sekitar kampus barat Unnes. Terlebih saat jalanan licin karena hujan.

Dalam observasi kami, ada beberapa hal yang bisa terlihat jelas urgensinya. Pertama, lintasan melingkar di sekitar Tugu Sutera. Berdasarkan laman dari Blog Unnes, sutera adalah singkatan dari sehat, unggul, dan sejahtera. Terlihat beberapa pekerja tengah memperbarui keramik di bawah tugu tersebut. Setelah kami melihat lebih dekat, mereka tengah memasang ubin berjenis guiding block. Ubin ini berfungsi untuk memandu para penyandang disabilitas.
Objek kedua yang selanjutnya menyita perhatian yaitu Monumen Garuda Pancasila. Pada sekitar rentang bulan September hingga Oktober, dilakukan pembaruan monumen ini. Salah satu mahasiswa yang kami wawancarai merespon hal tersebut.
“Sebenarnya kalau urgensi dari patung Garuda sendiri pun kita udah tahu ya. Itu tidak penting sebenarnya dan itu pemborosan dana, urgensinya juga nggak ada.”

Ketiga, bergeser ke trotoar sepanjang kampus barat dan timur. Siti Muslikhatul Ummah, dosen program studi Ilmu Politik, menuturkan bahwa perbaikan jalur pedestrian diperlukan. Hal ini karena keberadaan jalur pedestrian yang mumpuni membuat pengguna jadi lebih nyaman. Sehingga menjadi bagian dari ritme harian warga kampus seperti jalan pagi sebelum kelas dan lari sore untuk melepas penat.
“Nah, ketika pedestrian itu dibangun menjadi lebih baik, walaupun sebelumnya sudah pernah ada, tapi mungkin beberapa rusak kemudian diperbaiki lagi. Soalnya saya sendiri juga pengguna pedestrian karena kemanapun biasanya jalan kaki. Apalagi yang di Unnes begitu. Jadi menurut saya itu oke,” katanya.
Sisi argumen yang berbeda disampaikan oleh salah satu mahasiswa Unnes. Ia mengatakan bahwa proses pembangunan menjadi kendala bagi para pejalan kaki.
“Mengganggu buat perjalanan (dengan) kaki. Terus juga debu-debunya.”
Dalam penglihatan kami, beberapa titik di trotoar dipasang keramik. Beberapa titik lainnya dipasang ubin taktil atau guiding block bagi para disabilitas. Tak hanya di sekitar Tugu Sutera, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tapi juga di sepanjang lintasan trotoar.
Mulai dari area Rumah Ilmu (Rumil), Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) hingga Rektorat. Trotoar yang semula sudah ada ubin taktil ini, dibongkar untuk diganti dengan yang baru. Pembaruan ubin pemandu disabilitas ini juga dilakukan di area kampus timur. Mulai dari area Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) hingga Fakultas Teknik (FT).

Menyusuri kampus barat, objek keempat, tepat di belakang rektorat, terdapat pembangunan gedung bagi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA). Urgensinya sudah tepat untuk proses pembelajaran. Namun, kini menyisakan dampak bagi para pengguna jalan yang melintasi pembangunan gedung tersebut.
Faza, mahasiswa FMIPA menyampaikan hal yang sering ia alami saat sedang melintasi area pembangunan tersebut.
“Menurutku sedikit mengganggu. Terutama kalo hujan gini karena tanahnya tuh pada kemana-mana di jalan. Jadi licin. Terus kalo panas pun, jadi agak berdebu juga.”
Hal ini sejalan dengan yang telah tersampaikan di awal, bahwa aspal menyisakan tanah dari ban mixer truck untuk pembangunan Gedung FMIPA.
Sejalan dengan yang diungkapkan Faza, mahasiswa lainnya menyampaikan hal serupa. Bahwa, pembabatan hutan bagi pembangunan gedung dan jalan yang menyisakan tanah adalah penyebab dan dampak dari pengingkaran prinsip konservasi.
“Mungkin alih fungsinya udah benar (untuk perkuliahan). Cuma, kenapa yang diambil lebih banyak lahan hijaunya? karena kan kita tahu juga Unnes mengambil tiga visi. Salah satunya konservasi. Jadi kayak tidak selaras dengan visinya.”
Bergeser ke arah gerbang keluar kampus barat, terdapat pembangunan halte pemberhentian shuttle. Tepatnya di depan Gedung Dekanat Fakultas Bahasa dan Seni (FBS). Hal ini terlihat dari keberadaan beberapa elemen yang baru dibangun salah satunya yaitu tempat duduk untuk bersantai atau menunggu shuttle.
Apa dampak dari semua pembangunan ini?
Syahnoon, Mahasiswa Ilmu Komunikasi menyampaikan keluhannya. Ia menuturkan bahwa pembangunan trotoar di sekitar stasiun pengisian bahan bakar (pom mini) area kampus timur cukup mengganggu. Sebab, puing-puing proses pembangunan sempat dibiarkan begitu saja tanpa langsung dipindahkan.
“Jadi sebelum pembangunan, orang-orang biasanya ngantri saja, sudah ‘makan antrean’ di trotoar. Kalau dalam situasi ini, antre mereka di trotoar itu jadi makin melebar,” ujarnya.
Dampak bagi perkuliahan juga dirasakan oleh mahasiswa jurusan biologi yang kebunnya dibabat untuk pembangunan gedung fakultasnya sendiri. Faza dari program studi Ilmu Lingkungan, menuturkan bahwa lokasi pembangunan tersebut, sebelumnya ialah kebun biologi. Kebun biologi digunakan oleh mahasiswa FMIPA untuk melakukan observasinya. Bahkan ia pernah mencari sample tanah di kebun biologi tersebut.

Transformasi fungsi dari kebun biologi ke gedung perkuliahan menyisakan ‘dilema’ bagi para mahasiswa FMIPA. Pasalnya, gedung tersebut menunjang perkuliahan mereka. Sementara, kebun biologi juga bermanfaat sebagai lahan hijau guna menunjang prinsip konservasi Unnes.
“Aku juga sedikit menyayangkan kenapa harus membabat hampir seluruh kebun biologi yang memang bermanfaat buat praktikum?” ungkap Faza.
Gema suara dari disabilitas yang perlu didengar
Trotoar yang sebagian besar dipasang ubin taktil bagi penyandang disabilitas, mendorong kami untuk mewawancarai salah satu mahasiswa yang mengalami kondisi disable. Ia bernama Martha. Ia menuturkan bahwa pemasangan ubin bagi penyandang disabilitas merupakan suatu niat yang baik. Walaupun ia belum pernah menggunakan trotoar tersebut, sebab menaiki sepeda motor tak sesulit berjalan di trotoar. Ia menyampaikan bahwa diperlukan parkir khusus motor yang membawa disabilitas.
“Gak ada parkir khusus disabilitas,” keluhnya. Hal ini patut menjadi kritik bagi kampus agar lebih inklusif di bagian-bagian yang jarang diperhatikan publik.

Martha juga berpesan agar kampus memasang stiker berlambangkan disabilitas. Sehingga semua orang mengetahui bahwa mereka perlu mendahulukan disabilitas.
“Unnes bisa kasih imbauan. Tempel stiker misalnya. Buat disabilitas diutamakan,” tegasnya.
Lantas, bagaimana respon pihak kampus?
Keluhan, kritik, dan pesan yang telah disampaikan perlu untuk dikonfirmasi oleh pihak kampus. Namun, hingga berita ini diterbitkan, upaya untuk mendapatkan penjelasan lengkap mengenai kebijakan dan anggaran pembangunan infrastruktur tersebut masih belum berhasil memperoleh kejelasan. Respon yang diterima dari humas kampus terbatas pada pengarahan untuk mengajukan permintaan informasi melalui kanal PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumen).
Tiup harapan, pertahankan prinsip konservasi
Berbagai hal telah diutarakan oleh perwakilan mahasiswa dan dosen. Kini, harapan perlu dilambungkan agar urgensi dan dampak pembangunan bisa menjadi bahan evaluasi. Sehingga, pembangunan tidak mengorbankan lingkungan dan memfokuskan diri pada kualitas pembelajaran.
Seorang mahasiswa mengungkapkan harapannya mengenai pembangunan yang sedang berlangsung. Menurutnya, pembangunan tidak semata-mata soal estetika. Namun juga tentang pemanfaatan fasilitas yang sudah ada.
“Mungkin mereka memperhatikan sudut estetika, cuma hal-hal yang sebenarnya sudah ada perlu diperhatikan juga,” ungkapnya. Salah satu yang perlu ditekankan yaitu kualitas kenyamanan dalam perkuliahan.
Dosen program studi Ilmu Politik, Ummah memiliki pandangan yang sejalan dengan mahasiswa tersebut. Ia berharap pembangunan kampus kedepannya lebih difokuskan pada peningkatan kenyamanan fasilitas perkuliahan.
“Gedung di C6 mungkin bisa diperbaiki lagi untuk penerangannya dan sirkulasi udaranya, supaya nyaman ketika perkuliahan,” harapnya.
Faza mengutarakan pesannya. Bahwa, menjaga citra sebagai Kampus Konservasi akan lebih baik untuk memperhatikan kembali titik-titik lokasi yang akan dibangun. Sebab, ia mempertimbangkan bahwa Unnes memiliki lahan yang begitu luas. Jika tiba-tiba lahan tersebut dibabat menjadi gedung, sama halnya membabat semua flora dan fauna yang ada di dalam lahan tersebut.
“Kalau Unnes memang menjaga citra sebagai konservasi mungkin bisa lebih diperhatikan lagi titik-titik lokasi yang akan dibangun, belum lagi flora di lahan tersebut yang harus dibabat,” kritiknya.
Senada dengan Faza, Syahnoon menuturkan perlunya konsistensi terhadap prinsip yang digaungkan Unnes yaitu konservasi.
“Jika kita (Unnes) mengambil budaya konservasi, kita juga harus memikirkan dampak jangka panjangnya.”
Reporter dan penulis: Tim Redaksi
Editor: Lidwina
