LINIKAMPUS Blog Kabar Kilas Warnai Car Free Day Simpang Lima, Aliansi Perempuan Jawa Tengah Suarakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan
Beranda Berita Kabar Kilas

Warnai Car Free Day Simpang Lima, Aliansi Perempuan Jawa Tengah Suarakan Anti Kekerasan terhadap Perempuan

Massa aksi perempuan berjalan mengiringi masyarakat di CFD Simpang Lima, Semarang, pada Minggu (7/12/2025) [Vivin/BP2M]

Massa aksi perempuan berjalan mengiringi masyarakat di CFD Simpang Lima, Semarang, pada Minggu (7/12/2025) [Vivin/BP2M]

alat makan ramah lingkungan

Car Free Day (CFD) Simpang Lima Semarang, diwarnai kegiatan aksi 16 hari anti kekerasan terhadap perempuan pada Minggu (7/12/2025). Puluhan massa dari berbagai latar belakang berkumpul dalam aksi damai bertajuk “Stop Kekerasan terhadap Perempuan”. CFD dipilih sebagai lokasi strategis untuk menjangkau kesadaran publik secara langsung. Aksi ini juga menjadi puncak peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang berlangsung sejak 25 November hingga 10 Desember.

Kegiatan ini berhasil menarik perhatian dari masyarakat. Aksi damai diikuti oleh gabungan organisasi, di antaranya Bara Puan, Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM), mahasiswa Universitas PGRI Semarang (Upgris), Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Wahana Lingkungan hidup Indonesia (Walhi) Jawa Tengah, serta komunitas kampus.

Aksi ini bertujuan untuk mengkampanyekan anti kekerasan terhadap perempuan. Isu yang disorot antara lain Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), perlindungan perempuan pembela HAM, penanganan kasus kekerasan seksual, serta perlindungan terhadap perempuan jurnalis, perlindungan perempuan pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan. Dalam Laporan Tahunan Situasi Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2024 LRC-KJHAM terdapat 102 kasus di tahun 2024 dengan 84 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, sehingga kekerasan seksual yang mencapai 81%

Ria, salah satu peserta yang mengikuti kampanye beranggapan bahwa aksi gerakan perempuan adalah hal yang paradoks, namun sekecil apapun pasti akan memberikan dampak. Pengalaman dan subyektif sebagai perempuan penting untuk diperluas agar perempuan dapat saling merangkul satu sama lain. “Kita mengamplifikasi pengalaman-pengalaman kita sebagai perempuan, subyektif kita sebagai perempuan dan tentu saling rangkul,” ungkapnya.

Maemunah, sebagai mantan korban merasa penanganan kasus kekerasan dan pelecehan masih belum adil untuk korban, ancaman justru ditujukan kepada korban dan pihak yang melapor. “Orang-orang malah mengancam yang melapor. Korbannya itu diancam, dikucilkan, dicemooh, dan dihujat. Keluarga pelaku nggak terima, pokoknya diteror terus korbannya, kasihan,” jelasnya.

Aksi ini mengusung enam tuntutan utama, yakni:

  1. Memperkuat implementasi undang-undang tindak pidana kekerasan seksual.
  2. Menyediakan ruang aman dan inklusif bagi perempuan di semua bidang.
  3. Melibatkan perempuan secara bermakna dalam perencanaan dan pembangunan.
  4. Memperkuat perspektif aparat penegak hukum dalam penanganan kasus kekerasan seksual.
  5. Memberikan perlindungan kepada korban kekerasan yang memiliki kerentanan berlapis perempuan pekerja seks yang mengalami kekerasan, disabilitas, dan keragaman seksual identitas gender.
  6. Memastikan perlindungan terhadap perempuan di sektor lingkungan dan pesisir yang terancam oleh konflik sumber daya alam dan perubahan iklim.

Enam tuntutan ini disusun sebagai respon atas temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa perlindungan terhadap perempuan, khususnya dari kelompok rentan, masih jauh dari memadai.

Arvika berharap digelarnya aksi “Stop Kekerasan terhadap Perempuan” dapat mengedukasi masyarakat luas mengenai isu-isu yang disuarakan. Menurutnya edukasi melalui pendekatan yang soft (lembut) pada masyarakat dirasa penting melihat budaya patriarki yang masih ada di Indonesia sampai saat ini.

“Yang pertama adalah teredukasinya masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwasannya Indonesia ini masih kental betul dengan adanya budaya patriarki dan budaya patriarki itu tidak bisa hilang begitu saja tanpa ada pendekatan yang lebih soft gitu,” ujar Arvika.

Reporter dan penulis: Gemilliano Nawawi, Haidar Ali, Lidwina, Vivin Santia, Zahwa Zahira

Editor: Anastasia

Exit mobile version