LINIKAMPUS Blog Kabar Kilas Panggung Ekspresi “Guru Butuh Kesejahteraan, Bukan Pujian” sebagai Momen Reflektif Hari Guru
Kabar Kilas

Panggung Ekspresi “Guru Butuh Kesejahteraan, Bukan Pujian” sebagai Momen Reflektif Hari Guru

Seorang mahasiswa tengah memvisualisasikan nasib para guru (Selasa, 25 November 2025) [BP2M]

Seorang mahasiswa tengah memvisualisasikan nasib para guru (Selasa, 25 November 2025) [BP2M]

alat makan ramah lingkungan

Suasana malam di halaman parkir Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi (FIPP) Universitas Negeri Semarang (Unnes) terasa berbeda pada Selasa, 25/11/2025. Di bawah remang-remang lampu, beberapa mahasiswa berkumpul dalam sebuah panggung ekspresi bertema “Guru Butuh Kesejahteraan, Bukan Pujian”. Acara yang digagas oleh Departemen Kajian Aksi dan Propaganda (KASPRO) BEM FIPP ini menjadi ruang refleksi bagi calon pendidik untuk menyuarakan kegelisahan mereka atas realitas kesejahteraan guru yang sering terabaikan dibalik sanjungan “pahlawan tanpa tanda jasa”.

Melalui orasi, teater, dan musikalisasi puisi, para mahasiswa menyalurkan pandangan kritis mengenai nasib guru di tengah sistem pendidikan yang belum berpihak sepenuhnya. Penanggung jawab acara, Mufli Baharudin Alayubi, menegaskan bahwa kegiatan ini lahir dari kesadaran kolektif mahasiswa pendidikan akan pentingnya keadilan bagi para pendidik. 

“Karena kita latar belakangnya dari Fakultas Pendidikan. Jadi disini kita benar-benar mengangkat bagaimana pendidikan saat ini? Terutama tentang guru,” ungkapnya.

Acara panggung bebas ini diadakan juga sebagai ruang untuk mengkritisi kebijakan yang memengaruhi nasib para guru, lebih jauh lagi nasib pendidikan nantinya. Diawali dengan orasi oleh seorang mahasiswa mengenai realitas getir guru yang ada di Indonesia. Salah satunya tentang penerimaan upah yang kurang menyejahterakan para guru sebagai garda terdepan pendidikan Indonesia.

Tak hanya orasi yang relatif persuatif, terdapat juga unsur reflektif berbentuk musikalisasi puisi dari Anas Fadli. Pesan dari penampilan ini sebagai aksi simbolik nasib guru yang kerap tidak terpenuhi hak-haknya. Seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu tentang penerimaan gaji yang jauh dari kata layak. Walaupun telah mengabdi belasan bahkan puluhan tahun tanpa kepastian status kerja.

Seusai orasi dan musikalisasi puisi yang cenderung pribadi, kini panggung ekspresi diisi dengan pertunjukkan kolektif. Anggota teater sosial politik (sospol) menampilkan kisah yang menggambarkan kehidupan para guru di bangku pendidikan. Teater ini dianalogikan dengan “Papan Tulis yang Retak.” Bermakna papan tulis sebagai media ajar menjadi tak utuh apabila hak para guru yang menulis di papan tulis, tidak terpenuhi.

Salah satunya tervisualisasikan dalam satu scene dimana para pemeran menggambarkan guru yang pernah mengalami tuduhan tindak kekerasan ketika menjalankan kewajibannya sebagai pendidik.

Acara berdurasi satu jam ini ditutup dengan sebuah lagu yang dilantunkan, mengiringi penghargaan pada para guru. Anas Fadli Husein selaku ketua departemen KASPRO berharap kegiatan semacam ini tak terhenti di FIPP saja, melainkan menjadi gerakan bersama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan guru di Indonesia. 

Acara berdurasi satu jam ini menutup malam dengan harapan tumbuhnya kesadaran akan isu pendidikan di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Anas Fadli Husein selaku ketua departemen KASPRO berharap kegiatan semacam ini tak terhenti di FIPP saja, melainkan menjadi gerakan bersama untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan guru di Indonesia. 

“Marilah kita untuk melek terhadap isu-isu pendidikan saat ini, karena jika bukan kita, maka siapa?” pesannya yang penuh reflektif.

Reporter dan penulis: Basith Adam, Puji Listari

Editor: Lidwina Nathania

Exit mobile version