Beranda Resensi Ulasan

Mengurai Luka Sejarah: Suara Korban yang Terlupakan dalam ‘Namaku Alam’

Sampul novel Namaku Alam (sumber: Tempo.co)
Sampul novel Namaku Alam (sumber: Tempo.co)

Oleh: Nadya Amelia Zulfi

Judul                       : Namaku Alam

Penulis                     : Leila S. Chudori

Penerbit                   : Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan pertama     : 2023

Halaman                  : 438

Harga                      : Rp. 108.000,-

Bagaimana rasanya membawa beban ‘dosa’ yang tidak pernah Anda lakukan? Inilah pertanyaan yang dihadapi Segara Alam, laku utama dalam novel Leila S. Chudori, “Namaku Alam”. Melalui karya fiksi sejarah yang berangkat dari riset mendalam ini, Leila mengangkat trauma lintas generasi pasca tragedi 1965, menampilkan suara-suara yang selama ini terbungkam.

Segara Alam merupakan anak bungsu dari seorang tapol bernama Hananto yang hidup bersama ibu dan dua kakak perempuannya. Alam memiliki kemampuan untuk merekam setiap memori yang pernah dialaminya, kemampuan tersebut dinamakan dengan photographic memory. Melalui kemampuannya ini, Alam mampu mengisahkan pengalaman hidupnya sejak masih belia saat ayahnya terjebak dalam situasi politik yang menegangkan pada masa lampau.

Alam tumbuh dengan stigma sosial yang menghadirkan diskriminasi terhadap ia sekeluarga. Mereka dipaksa menanggung konsekuensi dari sejarah yang tak mereka pilih. Hidup dengan penuh kehati-hatian di balik batasan tercipta bagi mereka yang memiliki relasi dengan ‘pengkhianat bangsa’. Dengan kondisi yang begitu menyesakkan, pertumbuhan Segara Alam membawa konflik batin pada dirinya. Sepanjang hidupnya, ia berusaha mencari jawaban di antara dua pilihan, yaitu menerima atau menolak identitas yang telah diwariskan kepadanya.

Berbekal rasa penasaran dan hasrat untuk menemukan jawaban, Alam berkelana dari satu tempat ke tempat lain hingga pencariannya mengantarkan ia pada pemahaman bahwa sejarah tidak hanya dapat dilihat dari satu sisi saja, melainkan juga dari suara-suara yang sempat tak terdengar—atau bahkan dibungkam.

Bertemakan sejarah, Leila menuliskan sekelumit peristiwa dan ragam cerita di balik trauma ingatan melalui sudut pandang korban. Tema yang diangkat ini menjadi kekuatan utama “Namaku Alam” sebab masih sedikitnya karya sastra yang mengungkapkan suatu perkara di masa lalu melalui perspektif lain. Dengan tema sejarah ini, Leila berhasil menyampaikan idebahwa dampak isu politik dapat dirasakan secara personal dan intim sampai meninggalkan luka pada korban-korbannya.

Mengenai gaya penulisan, Leila menampilkan narasi yang begitu puitis dengan diksi melankolis. Kehadiran simbol-simbol dan metafora menjadikan pengalaman pembaca terasa dekat melalui sisi emosional yang direfleksikan oleh tokoh di dalamnya. Leila cenderung menghadirkan narasi yang panjang dan mendetail sehingga mampu menciptakan suasana yang seolah dirasakan langsung oleh pembaca. Meskipun begitu, dialog tokoh yang menginjak usia dewasa begitu canggung. Perpaduan kosakata baku dan nonbaku membuat pengalaman membaca menjadi kurang dinikmati.

Seperti karya Leila sebelumnya melalui “Pulang” dan “Laut Bercerita”, teknik penulisan dalam Namaku Alam juga dituliskan melalui sudut pandang orang pertama untuk membangun kedekatan emosional dengan pembaca. Dituliskan dengan alur maju-mundur seperti ciri khasnya, Leila menyampaikan kesan sejarah yang terputus dan belum selesai dengan menghadirkan beberapa kilas balik menilik peristiwa di masa lalu. Bagi pembaca yang biasa bergumul dengan alur maju, “Namaku Alam” akan sedikit sulit untuk diikuti sebab menghadirkan banyak transisi dari masa kini dan masa lalu sehingga dapat menciptakan kebingungan.

Dewasa ini, generasi muda mulai peduli tentang sejarah Indonesia. Diskusi mengenai sejarah pun masif dilakukan di tengah modernitas ini. “Namaku Alam” hadir untuk mengisi diskursus melalui karya sastra yang memadukan sejarah kelam Indonesia dengan dinamika keluarga yang begitu kompleks. Novel ini menyampaikan kritik sosial yang dikemas dalam narasi dan sudut pandang pertama sehingga menciptakan ikatan emosional yang begitu kental. Buku ini menjadi salah satu rekomendasi bagi pembaca yang tertarik pada isu sejarah secara khusus, maupun mereka yang ingin memahami dampak trauma yang diwariskan dari generasi sebelumnya. 

“Namaku Alam” cocok dibaca oleh generasi muda bangsa Indonesia sebab sejarah bukan hanya bersumber dari catatan, tetapi juga dari mereka yang suaranya pernah dibungkam. Tetapi, jika kamu terbiasa dengan cerita ringan dan penuh kegembiraan, novel ini mungkin akan terasa berat dan menguras emosi. Beberapa bagian dalam cerita yang berupa narasi reflektif dan pemaparan trauma secara intens bisa membuat kamu merasa tidak nyaman. Namun, bila kamu ingin mencoba eksplorasi bacaan dan genre dalam karya sastra, “Namaku Alam” patut dijajal!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *