Sang Bajingan Menuntut Keadilan
Feature Uncategorized

Sang Bajingan Menuntut Keadilan

Naskah monolog Aeng ciptaan Putu Wijaya
Nanda, mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa melakonkan tokoh Alimin dalam pementasan naskah Aeng
(Dok. Mia/ BP2M)

Mereka menamakan aku bajingan. Mula-mula aku marah, karena
nama itu diciptakan untuk membuangku. Tetapi kemudian banyak orang
mengaguminya. Sementara aku kesepian. Ditinggal dunia yang tak sudi mengakuiku
sebagai anaknya. Kini, aku kembali. Aeng
menuntut keadilan.

Nama Putu
Wijaya tidak bisa dilepaskan dari dunia teater. Naskah-naskahnya mengguncang
sekaligus membumi. Mengaduk nalar sekaligus terpatri di hati. Naskah dramawan
asli Bali berjudul Aeng adalah salah
satunya. Aeng telah dipentaskan oleh
banyak pegiat teater
di berbagai panggung, namun pesannya tetap satu: menuntut
keadilan.
Monolog Aeng adalah representasi makna
eksistensi manusia dan peradaban, sekaligus sebuah kecaman, sepucuk peringatan.
Aeng atau Aing dalam bahasa Sunda
adalah sebuah kata kasar yang berarti “aku.” Aeng bercerita tentang tokoh bernama Alimin—seorang laki-laki—dengan
mengambil latar penjara. Namun, pemilik nama lengkap Aditya Aprisias Nanda
Raharja—seorang perempuan—dari teater SS, Unnes mampu
membawakannya dengan apik. Nanda, begitu nama panggilannya, mengguncang
sekaligus membenamkan penonton masuk ke dalam penjara cerita. Sebuah kekosongan,
rasa putus asa, kemarahan, kebencian, pemikiran, ketakutan, dan pilihan bunuh diri Alimin.
Sebelum memasuki babak pementasan monolog,
Nanda, yang dikaruniai mata berbentuk kacang almond tampak garang dan ganas
dengan rias eye liyer hitam di sekeliling
mata. Dia mengawali aksi di panggung dengan tarian lincah mengikuti lagu. Sorot
matanya tajam, tanda bahwa dia telah siap menjadi Alimin. Sebuah kalimat sinis bernada
kecam nan mencekam mengantar penonton memasuki gerbang cerita. “Satu hal yang
harus Anda tahu, Saya bukan badut. Badut sudah terlalu banyak!” Soal makna dari
kalimat itu, saya pun tidak mau memastikannya.
Menggugat
Keadilan

Penekanan Aeng berada di soal eksistensi manusia dalam ranah sosial. Paradoks
begitu banyak dimunculkan dalam monolog ini, antara biadab dan moral, antara
religius dan anti tuhan, antara borjuis dan proletar, antara nurani kebaikan dan
pilihan kejahatan. Segalanya runtut, eksistensi manusia di masa depan adalah
buah dari benih yang ditanam masa lalu. Dan apa yang pertama kali dilihat
Alimin? Kejahatan! “Ketika aku mulai melihat, yang pertama sekali aku lihat
adalah kejahatan. Ketika pertama kali mendengar, yang kudengar adalah keserakahan.
Ketika pertama kali berbuat yang aku lakukan adalah dosa.”
Aeng telah menjadi teks drama yang tidak
lagi monolog, tetapi segugus kontak sosial antar aktor yang melatarbelakangi
munculnya ungkapan hati Alimin. Kekerasan suami kepada ibunya, pengkhianatan
Nensi, seseorang yang memintanya menjadi pembunuh bayaran atau yang lainnya
telah menghidupkan sekaligus mematikan Alimin. Kontak sosial sedari kecil
menumbuhkan Alimin sebagai seorang yang dianggap bajingan, seorang pembunuh,
manusia jahat.
Sebagaimana diungkapkan Erich Fromm,
jika kecenderungan untuk tumbuh berkembang baik dihalangi, energi yang
terhalang itu mengalami proses perubahan dan beralih menjadi energi yang
bersifat destruktif. Sifat merusak merupakan akibat dari tidak dihidupinya
kehidupan. Dan Alimin berada tepat di kondisi itu. Kondisi individual dan
sosial telah menghalanginya untuk memajukan hidup, dan lantas pada waktu yang
bisa diprediksi, sumber itu muncul dalam berbagai bentuk kekerasan.
Sistem itu terlalu sulit untuk
didobrak, bahkan mungkin tidak bisa. Sistem tak mengenal rasa, ia adalah takdir
yang tidak bisa dirubah. Manusia mendapat jatah dari Tuhan untuk berperan dalam
masing-masing karakter. Tak ada kata malam tanpa siang, tak ada kebaikan tanpa
bersanding dengan kejahatan. Tapi ditakdirkan menjadi jahat, mengapa harus
dihujat, dikecam, dibantai? Aeng menampar
sistem sosial manusia yang berlindung dari balik moral dan nurani dengan
mencipta nilai kebaikan dan kejahatan. Kebaikan lantas dipuja, sedang kejahatan
dicela.
Manusia terlalu naif, kalau tidak
bisa dikatakan bodoh untuk menerima kebenaran sejati Tuhan. Di dalam ruangan
penjara, Alimin terlahir kembali. Dia melihat cinta dari balik jendela, ingin mengulang
apa yang sudah terjalani, “menjadi manusia biasa.” Tapi Tuhan datang malam itu
dan berbisik. “Jangan Alimin. Jangan melangkah surut. Penjahat harus tetap jadi
penjahat, supaya kejahatan jelas tidak kabur dengan kebaikan. Kini diperlukan
seorang penegas. Dan aku terpilih. Aku harus tetap di sini menegakkan
kejahatan!”
Penjahat bukan penjahat, tapi
pahlawan yang pura-pura jahat. Kejahatan ada demi sebuah keberimbangan dunia,
menjaga kebaikan selalu hidup. Meski buku sejarah tak pernah memasukkan
penjahat sebagai pahlawan, karena tidak ada penulis sejarah yang cukup gila
melihat kebenaran ini. Raga dan dunia adalah penjara sebenarnya, mati adalah kebebasan
sesungguhnya, melepaskan nyawa untuk terbang jauh dari dunia fana, menjemput
kebenaran sejati.
Kehidupan sudah terlalu buram
sehingga benar tak lagi sebagai kebenaran. Manusia ditelan sistem nilai dan
sosial yang dianggapnya paling benar. Hukum didirikan sebagai alat untuk
menjaga sistem itu. Tapi toh sistem itu adalah buatan manusia yang punya cacat.
Aeng menampar penonton untuk tidak
lupa bahwa hukum yang dianggap ideal menentukan kebenaran banyak menyimpan
catatan hitam. Kasus-kasus terlupakan, terkubur nasib, dan kebenaran sedikit
demi sedikit dikunyah zaman. “Sementara dogma-dogma makin keras dititup dan
aturan makin banyak dijejerkan untuk membatasi tingkah laku manusia, peradaban
makin kotor.”
Orang-orang bersih tidak pernah
benar-benar bersih. Mereka bersih hanya karena tidak secara langsung menyentuh
lumpur yang kotor. Alimin menuntut keadilan pada sistem yang dicipta manusia
dan ditasbihkan sebagai penentu kebenaran sejati. Sistem yang mengecam dan
menindih badannya dengan beban berat sebagai seorang bajingan. “Berikanlah saya
hukuman yang pantas. Tetapi jangan lupa berikan juga hukuman kepada orang yang
telah mencabik leher kami itu dengan setengah pantas saja.”
Keadilan yang dituntut oleh Alimin mungkin
utopis. Manusia terlalu pendek untuk meraih sesuatu yang teramat tinggi. Pada tali
gantunganlah, Alimin menjemput keadilan itu karena sudah tidak kuasa lagi
menanggung dan berteriak. Jiwanya kini bebas seiring pentas monolog itu
mencapai garis selesai. Namun, ketika Aeng
kembali dipentaskan, Alimin kembali hidup. Sang bajingan itu akan kembali
berteriak, menghujat, meminta keadilan melalui tubuh-tubuh baru yang lebih muda
dan segar.
[M Irkham Abdussalam]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *