Kabar

Merunut Kronologi dan Perkembangan Aksi Tolak Omnibus Law di Semarang

Massa Aksi Tolak Omnibus Law. [BP2M/Lalu]

Pasca pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober, penolakan terhadapnya terus bergulir di masyarakat. Aksi demonstrasi di depan  gedung DPRD Jawa Tengah pada Rabu (7/10) lalu mejadi salah satu bentuk penolakan atas UU yang awalnya dijadwalkan disahkan pada 8 Oktober ini. Para demonstran terdiri atas berbagai elemen Serikat Buruh/Serikat Pekerja, Organisasi, NGO, mahasiswa, pelajar dan Organisasi Masyarakat Sipil lainya di Jawa Tengah.

Para demonstran bersatu dalam menuntut adanya kepastian terkait alasan pengesahan UU Cipta Kerja, baik dari segi waktu pengesahan dan substansi di dalamnya. Mereka juga menilai pasal-pasal dalam undang-undang yang merugikan buruh harus diperbaiki.

Pergerakan massa aksi ini diawali dialog dengan pihak kepolisian di titik kumpul aksi, Pos 4 Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Seperti yang diunggah akun Instagram @mahasiswabergerak pada pukul 09.32 WIB. Tidak lama setelah itu, berbarengan dengan keberangkatan reporter Linikampus menuju titik kumpul, rombongan massa aksi dari Universitas Negeri Semarang mulai meninggalkan kampus. Mereka beramai-ramai menaiki motor sembari menyalakan klakson dan terdengar pula suara sirine.  Para mahasiswa ini mengenakan jas almamater sebagai identitas serta membawa beberapa atribut seperti bendera kuning dan spanduk.

Membuka Paksa Pintu Gerbang DPRD Jateng

massa aksi di depan gedung DPRD Jateng [BP2M/Lalu]
massa aksi di depan gedung DPRD Jateng [BP2M/Lalu]

Pukul 11.55 WIB demonstran yang  mengatasnamakan diri aliansi Geram (Gerakan Rakyat Menggugat) melakukan persiapan aksi, setelah itu mereka mulai memenuhi depan gedung DPRD Jateng. Tak berhenti disana para demonstran berusaha membuka secara paksa pintu gerbang DPRD Jateng. Gerbang berhasil dirobohkan oleh para demonstran pada pukul 12.17 WIB. Para demonstran mulai memasuki halaman gedung DPRD Jateng dan  menuntut audiensi terbuka dengan pemerintah.

“Kami menuntut audiensi terbuka saja dari perwakilan DPRD provinsi, karena kita tentunya nggak percaya kalo apa yang kita sampaikan, akan disampaikan ke atasan,” ujar Abi, salah satu perwakilan massa dari elemen mahasiswa.

Orasi dan Tuntutan Demonstrasi

Iringan demonstran dari HMI, KPBI (Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia), KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia), dan FSPIP (Federasi Serikat Pekerja Indonesia Perjuangan), mendatangi DPRD pada pukul 13.16 WIB. Kemudian demonstran dari persatuan buruh dan mahasiswa menyampaikan orasinya, menuntut untuk merebut hak rakyat.

“Saya perwakilan dari buruh. Saya tidak takut virus tapi saya lebih takut masyarakat Indonesia terinjak,” kata salah seorang demonstran dari elemen buruh dengan nada menggebu-nggebu.

Perwakilan massa dari elemen buruh yang tidak setuju dengan UU Omnibus Law menyampaikan orasi bahwa dengan adanya UU Omnibus Law akan mendukung para investor, mematikan UKM dan koperasi masyarakat. Selain itu, mereka menyatakan ketidaksetujuan penghapusan ketentuan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Sebagai gantinya pemerintah provinsi harus menetapkan upah minimum provinsinya. Penggantian kebijakan ini dinilai akan membuat upah menjadi lebih rendah dari sebelumnya.

Perwakilan buruh juga menyoroti nasib petani dalam orasinya ia  mengungkapkan petani-petani semakin sekarat karena dipaksa menggunakan pupuk pabrik. Terakhir, ia menuntut adanya demokrasi langsung. Yaitu rakyat memiliki kebebasan secara mutlak memberikan pendapatnya, dan semua aspirasi mereka dimuat dengan segera di dalam satu pertemuan alias tidak mewakilkan suaranya badan legislasi.

Pukul 13.44 WIB Perwakilan mahasiswa dari UIN Walisongo, Rizal, menyampaikan orasi menolak omnibus law. Menurutnya UU Cipta kerja yang disahkan secara diam-diam sangat mencekik masyarakat.

Dari segi substansi, dalam UU Cipta Kerja terdapat banyak pasal yang potensial akan merugikan dan mengabaikan pemenuhan hak-hak buruh, petani, nelayan, jurnalis, mahasiswa, masyarakat kelompok rentan dan minoritas serta elemen rakyat sipil lain nya. UU Cipta Kerja yang telah disahkan tersebut dinilai sebagai karpet merah bagi para oligarki.

Bambang Eko Purnomo, dari fraksi Demokrat menemui para demonstran  untuk mewakili DPRD provinsi. Ia mengatakan bahwa tuntutan hari ini akan langsung disampaikan ke pusat dan ia menuturkan dirinya bertanggungjawab sebagai perwakilan dari DPRD Provinsi.

“Jadi insyaallah apa yang menjadi tuntutan kita bersama, bahkan partai kami pun juga menuntut dan walk out di sidang itu. Kami juga bersama-sama dengan panjenengan semua untuk memperjuangkan ini,” ujarnya.

Penangkapan Massa Demonstran

polisi mencengkram kerah jaket demonstran [BP2M/Lalu]
polisi mencengkram kerah jaket demonstran [BP2M/Lalu]

Pukul 15.00 WIB situasi menjadi memanas akibat adanya massa aksi yang mulai melempari batu ke arah gedung DPRD Jawa Tengah. Diduga pelaku pelemparan batu tersebut adalah oknum pelajar. Beberapa koordinator aksi meminta massa untuk mundur dan mengamankan diri.

Karena situasi semakin tidak kondusif dan tak terkendali, akhirnya pada pukul 16.02 WIB pihak aparat mulai menembakkan water canon dan gas air mata ke arah para demonstran. Aksi benar-benar selesai saat aparat mulai membubarkan paksa para demonstran kurang lebih pada pukul 16.15 WIB.

Pembubaran demonstran secara paksa diwarnai dengan tindakan represif dari aparat, seperti pemukulan, penyeretan, dan menghapus dokumentasi peserta aksi. Aparat kepolisian pun menangkap sejumlah massa aksi dan mengamankannya di Polrestabes Semarang. Selepas aksi, aparat masih melakukan sweeping hingga malam hari.

Menurut siaran pers LBH Semarang, puluhan mahasiswa, pelajar, dan santri ditangkap, dipukul, dan diseret-seret secara paksa oleh anggota polisi. Selain itu, satu pengacara publik YLBHI-LBH Semarang ditangkap dan dipukul karena mengambil video saat polisi melakukan tindakan represif terhadap massa aksi. Satu orang pengacara publik YLBHI-LBH Semarang lainnya mengalami kekerasan hingga kerudung robek akibat ditarik paksa oleh aparat.

Berdasarkan siaran pers tersebut, sekitar 240 massa aksi diamankan di Polrestabes Semarang. Sementara postingan instagram @mahasiswabergerak hingga pukul 21.00 WIB menyebutkan setidaknya ada 261 massa aksi yang masih ditahan dan belum diketahui dengan jelas kondisinya.

Menurut keterangan Arif Afruloh, salah satu koordinator lapangan, 261 orang massa aksi tersebut ditahan di beberapa tempat, yakni Polrestabes Semarang, Kantor Gubernur, Polda Jateng, dan Polsek.

“Jadi di 4 titik. Tapi kebanyakan memang di Polrestabes,” kata Arif Afrulloh salah satu koordinator lapangan aksi.

Arif juga menjelaskan bahwa pada pukul 02.30 WIB, 190 massa aksi yang berada di Polrestabes sudah dibebaskan sementara yang lainnya masih ditahan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sampai saat ini masih ada beberapa massa aksi yang belum dibebaskan. Perkembangan terakhir pada Jumat (9/10) masih ada 4 orang massa aksi yang ditahan di Polrestabes Semarang. Massa aksi tersebut semuanya dikonfirmasi berstatus mahasiswa.

Laporan dan pendampingan hukum atas kasus penangkapan ini diurus oleh tim hukum, yang terdiri atas YLBHI-LBH, PBHI Jateng, FSPIP, dan KASBI. Bentuk pelaporan dengan mengisi formulir pada bit.ly/laporkanaparat dan mengirim foto atau video kekerasan aparat.

Menurut Tim Advokasi Pembela Kebebasan Berpendapat Jateng, seharusnya polisi tidak melakukan penahanan terhadap peserta aksi mengingat tidak ada swab test terhadap peserta aksi yang ditahan. Hal ini sangat berpotensi menjadi klaster baru penyebaran Covid-19.

Reporter: Niamah, Idhea, Doni, Adam, Fikri, Alfian

Penulis: Hani dan Alya

Editor: Nila

Comment here