Uncategorized

Mengeja Harapan Anak Jalanan

Oleh Marfuah L Hikaru

Matahariku/
Bangunlah matahariku/ Jika kau tak bangun semua merasa gelap/ Jika kau bangun
semua merasa terang
….

Asyik Berkumpul dengan Mahasiswa
Wulan, begitu katanya ia akrab di sapa oleh
teman-temannya. Awalnya ia enggan untuk berbagi cerita mengenai hidupnya di
jalanan. Bahkan, sejak awal perkenanlan ia menyebut namanya Laura. Namun
setelah di rasa cukup nyaman mengobrol, Wulan mengaku jika namanya yang
sebenarnya adalah Wulan, tepatnya Wulan Apriliani. Ia mengaku takut untuk
berkenalan dengan orang baru. Namun, jika ia sudah merasa dekat dengan orang
baru, ia tak canggung lagi untuk bercerita begitulah cerita Wulan pada 4 Desember 2013 lalu.
Rambutnya lurus sebahu, berwarna merah terbakar sinar matahari.
Bocah perempuan berusia sembilan tahun, rambutnya dipotong panjangnya di bawah
telinga, berkaus hitam, bercelana jeans panjang, serta dipadukan jaket berwarna
merah ini malu-malu membaca puisi. Ya, puisi berjudul Matahariku ini ia karang
dalam rangka lomba baca puisi. Wulan, anak jalanan yang begitu riang. Meski
awalnya malu-malu, ia bercerita mengenai kegiatannya di sekolah. Tak hanya jago
membuat puisi dan kerap mengikuti lomba menari atau baca puisi, ia juga salah
satu juara kelas di sekolah.

            “Aku
nek ning sekolahan entuk rengking dua, Mbak,” kata Wulan polos dengan bahasa
Indonesia yang bercampur bahasa Jawa Semarangannya. Ia mengaku pernah mendapat
juara dua di kelas.

Tersenyum Bersama
Tak hanya Wulan, ada Vinda yang juga ikut bercerita
mengenai kehidupannya. Meskipun malam hari kerap hidup di jalanan, ia mengaku
tetap sekolah di siang hari. Anak dengan rambut lurus sebahu dan memakai baju
kurung pendek ini lebih malu-malu. Sama seperti Wulan, ia tanpa alas kaki. Nyeker.

Cukup mudah menemukan anak jalanan seperti mereka di
Tugu Muda. Namun, pada pukul 18.30 mereka belum terlihat batang hidungnya. Satu
jam telah berlalu, baru mereka muncul bergerombol. Anak-anak tampang kumuh,
kulitnya mengkilat dan kehitaman akibat terbakar panas matahari, begitu juga
rambutnya nampak kemerahan, berkaus oblong, ada juga satu dua yang memakai
topi. Tak hanya itu, dua dari belasan anak ini juga ada yang membawa gitar.
Sebagai salah satu tempat wisata dan berada di pusat
kota, Tugu Muda memang tak sepi pengunjung. Seperti di malam minggu, ramai
dengan pasangan muda-mudi, pasangan suami istri beserta anak-anaknya, ada juga
segerombol anak muda yang sekadar nongkrong-nongkrong dan berfoto narsis. Serta
sekelompok anak muda sedang hunting
foto dengan kamera DSLRnya.
Hal ini menjadi ladang rejeki tersendiri bagi Wulan,
Vinda dan teman-temannya. Seperti Wulan dan Vinda, mereka mengamen atau hanya
minta-minta di kawasan Tugu Muda. Wulan mengaku, satu kali turun ke jalan, ia
dapat membawa uang 20 ribu sampa 50 ribu rupiah dari hasil meminta-minta. Uang
itu ia belanjakan untuk membeli makan dirinya dan neneknya di rumah. Sejak ibu
dan ayahnya pergi, ia tinggal bersama neneknya. Wulan menolak menceritakan
kenapa orang tua mereka pergi, masih cukup kecil untuk tahu mengenai urusan
rumah tangga orang tuanya. “Ibu nda` ada Mb. Bapak juga. Aku tinggal sama
Mbah,” jelas Wulan sambil matanya sibuk melihat ke sana-kemari. Entah apa yang
ia lihat, hanya saja ia memang anak yang aktif.
Berbeda dengan Wulan, Vinda mengaku ia tinggal
bersama orang tuanya dan saudaranya. Anak ke lima dari tujuh bersaudara ini juga
bersekolah. Seharusnya anak perempuan berusia delapan tahun ini sudah menginjak
kelas empat SD, namun karena tinggal kelas ia masih duduk di kelas tiga SD. Ia
meminta-minta di kawasan Tugu Muda. Anak berusia delapan tahun ini mengaku dari
hasil meminta-minta, uang 15ribu sampai 20 ribu ia dapat kantongi setiap hari.
“Aku ki asline kelas tiga Mb, tapi ora diunggahke
karo Bu Guru,” kata Vinda polos.
Wahyu dan Vinda, meski kerap hidup di jalanan,
mereka tetap sekolah. Ketika ditanya kapan mereka belajar. Wahyu dan Vinda
kompak menjawab, kadang belajar bareng sama teman-teman di Tugu Muda. Ada
kegiatan belajar bersama yang diselenggarakan sekelompok orang yang peduli anak
jalanan seminggu sekali. 

Berbincang dengan Mahasiswa
Wahyu dan Vinda kenal sejak kecil. Wulan yang
umurnya satu tahun lebih tua dari Vinda ini bercerita, katanya ia kenal
kehidupan jalanan sejak sering diajak ibunya jalan ke Tugu Muda. Meminta-minta  di Tugu Muda. Vinda juga mengamini hal itu. Seringnya
mereka bertemu di jalan, menjadikan mereka saling kenal. 

Sekarang, mereka
datang ke Tugu Muda sendiri tanpa ibu mereka. Menginjak SD, mereka berani ke
Tugu Muda sendiri tanpa ditemani seorang ibu. Hal itu dilakukan setelah sering
diajak ibu mereka ke Tugu Muda kemudian menjadi hafal jalan menuju Tugu Muda.

Faktor ekonomi menjadikan keluaraga Vinda jarang di
rumah. Mereka sibuk mencari sesuap nasi. Ia mengaku, warga di desanya setiap
malam sepi. Kebanyakan mereka turun ke jalan seperti mereka. “Di rumah sepi
Mbak, enggak ada orang. Di sini kan rame, bisa dapat uang juga,” katanya sambil
senyum malu-malu.

Benar saja, sepeti di katakana, Novi Candrita ketika
ditemui di kantor Yayasan Setara. Wainta berkerudung yang aktif di Yayasan yang
konsen dalam membina anak jalanan di Semarang ini mengatakan salah satu
anak-anak turun ke jalan adalah karena kurang intensifnya kedekatan keluarga
disebabkan mereka sibuk mencari nafkah. Anak-anak menjadi bosan dan bahkan
turut serta mencari uang dengan meminta-minta.
“Mbak, udah ya? Aku belum dapat uang ni. Mbak aku
laper belum makan, Mbak bisa ngasih aku uang enggak?” pinta Wulan dengan nada
lirih. Ia pun menghilang setelah mengantongi dua lembar uang seribuan dan satu
koin lima ratusan. Disusul Vinda, mereka mendekati pengunjung Tugu Muda kembali
mengharap rupiah. ***

Comment here