Membudayakan Hal “Sepele”
Uncategorized

Membudayakan Hal “Sepele”

Oleh: Amin Cahyadi
Penulis Catatan Harian
Express
BP2M/Jun
PARAH! Seperti menggali sebuah
ingatan kelam, kata tersebut kembali menghujam pikiran dan perasaanku. Hanya
lengang, lengang yang panjang apabila kata itu terlintas lagi. Tepatnya 10
April 2014, sebuah otokritik bagi kami (generasi muda) yang cenderung tumpul
dan kurang peka terhadap lingkungan. “But, it’s not me,” belaku menanam
keyakinan tentang masa pembuktian bahwa kata itu tak sepenuhnya benar.
Entah mengapa, sampai saat ini aku masih suka menulis
catatan harian, meski hanya satu kata, PARAH! Yah, walau terkadang bisa sampai
belasan halaman. Setidaknya, itulah sarana melawan sepi. Bisa saja dengan
menulis, aku membuat pertunjukkan orkestra yang dihadiri 40 kepala negara di
kepalaku. Menuliskan kelihaian pemain biola, cello, violin, saxophone, harpa, dan
aku adalah konduktor dari orkestra tersebut. Aku juga bisa membuat sebuah
orkestra tersebut kacau akibat ulah teroris yang menyadera 40 kepala negara
dalam pertunjukanku. Aih, aku tak pernah kesepian.
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun
? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai
jauh, jauh di kemudian hari,” begitu tulis Pramoedya (Anak Semua Bangsa hal.
84). Setidaknya, aku akan teringat terhadap masa yang pernah aku lalui dengan
menulis. Aku juga telah menuliskan sejarah. Apalagi sejarah selalu berulang,
hanya pelaku sejarah saja yang berbeda. Bukankah jatuh pada kesalahan yang sama
itu amat memprihatinkan?
Tuhan telah menganugerahiku ingatan. Aku menghargai
kemampuan sederhanaku menata kenangan. Itulah sebabnya, aku menulis. Menulis
yang sederhana sekalipun, catatan harian. Toh, bukankah hal besar seringkali
digerakkan hal yang dianggap kecil? Kisah yang aku catat, bisa jadi akan
menggambarkan rentang bentang perjalanan hidupku dan lingkunganku.
Setidaknya, cukup banyak orang yang menorehkan sejarah hanya
dengan catatan harian!Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib. Catatan
Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie. Anne Frank: The Diary of a Young Girl-nya
Anne Frank. Zlata’s Diary: A Child’s Life in Sarajevo-nya Zlata Filipovic. Ah,
entah berapa banyak lagi!
Seketika, aku teringat Erin Gruwell saat mengajar. Ia yang
baru berusia 25 tahun (1994), harus berhadapan murid yang hidup dalam
keseharian yang keras. Hidup dalam sentimen rasial yang cukup tinggi, narkotika,
senjata api, pembunuhan, akrab dengan geng bahkan penjara bukan hal yang asing.
Beberapa metode mengajar ia lakukan. Memberikan buku gratis,
mengatur letak duduk siswa hingga akhirnya ia mengajak murid-muridnya
menuangkan perasaan, harapan dan kesehariannya dalam catatan harian. Dengan
itu, muridnya aktif mengisi catatan harian dan Gruwell menemukan berbagai kisah
murid-muridnya. Membahas kegelisahan, cinta, bunuh diri, pembunuhan, geng,
narkotika, dan sebagainya.
Gruwell berhasil mencairkan sekat geng dan ras di kelas.
Menyemai toleransi dan empati pada siswanya. Semua itu juga diawali dengan
catatan harian. Berbagai kisah murid Gruwell itu telah diabadikan dalam The
Freedom Writers Diary (1999).
Aku juga akan membudayakan hal “sepele” itu. Suatu saat
nanti kau akan tahu apa yang tergores di dalamnya. Aku tak tahu bagaimana
kepastian tentang itu. Entah kau baru tahu saat aku telah tiada? Atau justru
kau akan tahu saat aku masih hidup seperti saat ini?
Maklum. Terkadang aku cukup ceroboh menjaga catatan-catatanku
sendiri. Bahkan tempo hari aku harus membedah dua ruangan sekaligus untuk
merajut jalinan ceritera yang terangkai dalam beberapa catatan harianku yang
raib.
Tulisan ini hanya pengingatku bahwa ingatanku tak pernah
menjamin dapat menggendong masa silam ke mana-mana. Bisa saja ingatanku lelah
lalu meletakkannya begitu saja di tepian jalan hidupku. Lebih celaka lagi jika
aku menyesali perbuatan itu dan kembali memungutnya. Tetapi, angin telah datang
terlebih dahulu menerbangkan kenangan tadi ke penjuru tiada.

Seluruh kisahku/mu/kita akan berbaring damai dan tak pernah
mati. Bisa saja terkadang menghantui tidurku/mu/kita. Namun, semoga setiap kata
yang terangkai itu mampu mengabadikan kata yang menyimpan roh kita

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *