Sekarang bukan lagi era di mana yang kuat adalah manusia yang memiliki kekuatan fisik di banding yang lain. Bukan pula era industri di mana manusia digantikan dengan mesin. Namun era sekarang adalah era informasi. Manusia yang unggul adalah mereka yang menguasai informasi lebih banyak daripada liyan.
Melalui medium bahasa, visual, audiovisual maupun bentuk-bentuk inovatif, informasi coba hadirkan bukan sebatas hanya dalam pikiran saja, namun informasi yang disisipkan menjadi konduktor penggerak tindakan dan pemilihan keputusan manusia. Era informasi membuka pintu lebar bagi kaum pewarta untuk membangun pandangan melalui informasi yang disebarkan, lalu dikonsumsi publik dan berakhir pada pilihan-pilihan–baik kecil atau besar–dalam setiap laku manusia.
Media massa sebagai salah satu corong informasi bagi publik turut berubah seiring perkembangan teknologi. Media sekarang tak hanya sebatas audio, audio visual, apalagi cetak, namun telah begitu jauh memanjakan konsumen dengan memadukan unsur-unsur yang jauh lebih kreatif di dalam pengemasan informasi/ berita. Era sekarang adalah era di mana setiap manusia mempunyai ruang dan kesempatan yang sama untuk menjadi produsen sekaligus konsumen. Batas-batas macam legalisasi, ilmu, kajian, kepakaran, dan bentuk-bentuk pelatihan untuk mengasah ketrampilan sudah mulai berkurang. Semua, di mata mayantara adalah salah. Produsen sekaligus konsumen.
Sayang hal itu tidak pernah lepas dari banyak kontroversi dan penyimpangan. Muncul media-media penyaji berita yang rentan akan kepentingan. Bahkan salah satu trik dalam menggaet banyak pendukung dalam pemilihan umum (pemilu) juga tidak lepas dari adanya strategi yang melibatkan media sebagai corong produksi informasi yang intensif. Apa yang coba dikejar dari banyak media dalam berlomba-lomba memproduksi berita tidak lain hanya karena industri media butuh asupan bahan bakar bernama finansial. Agar tetap jalan, industri media bergerak lebih jauh lagi dalam menguasai pasar melalui inovasi penyaji berita yang lebih kreatif, memanfaatkan teknologi internet. Apa yang dikejar bukan soal apakah berita tersebut mencerdaskan pembaca tapi orientasi profit besar menjadi landasar utama. Ambil contoh dramatisir yang dibuat salah satu media maya yang cukup punya nama besar terkait kasus Tolikara. Banyak media mengompori kasus tersebut dengan membubuhkan dramatisir di dalamnya dan sedikit data valid yang dilibatkan. Drama selalu menarik, sekaligus memicu hasrat manusia awam untuk menyelam lebih jauh. Alhasil, produk berita dengan dramatisir dan minim data berbuah pada tindakan yang berefek besar. Kasus Tolikara bukan soal sederhana. Media menyetir kisruh antar umat beragama, bukan saja di tempat kejadian, Tolikara, namun di seluruh daerah Indonesia.
Salah satu pengamat media dari Remotivi pernah membuat judul yang menggertak. “Tips Agar Tidak Tolol di Internet”. Kebanyakan orang sekarang sudah mengonsumsi informasi, yang jadi masalah, “tolol” bukan soal tahu atau tidak suatu informasi, namun tolol juga bisa diukur dari kapasitas pilihan tindakan apa yang akan dilakukan. Internet menjadi basis baru industri media melebarkan sayapnya. Berita diproduksi bukan lagi soal tugas mencerdaskan pembaca, namun sudah berorientasi pada konsep pendapat profit yang tinggi. Soal efek berita yang akan terjadi nanti, itu urusan belakang. Rauh rupiah dulu.
Dalam rapat tema, kami, para aktivis pers mahasiswa Unnes mencoba untuk menghadirkan ruang yang memiliki tujuan untuk mengembalikan kodrat informasi pada tujuan untuk mencerdaskan pembaca. Jika produsen berita tidak bisa dicegah, informasi yang lalu lalang di hadapan kita makin hari makin banyak, maka tak ada cara lain. Pembaca–kita semua–harus menjadi cerdas. mampu memilih dan memilah berita agar kita mampu menentukan pilihan yang tepat, tindakan yang lebih mengutamakan kepedulian dan pengembangan banyak orang. Di sini dan sekarang, dunia sudah memasuki era informasi. Yang besar dan berkuasa adalah mereka yang mampu menghadirkan informasi dan menggerakkannya sesuai dengan apa yang diinginkan. Apakah kita masih yakin bahwa informasi hanya sebatas informasi saja? Atau mungkin saja, informasi itu bukan justru membuat kita cerdas namun justru menjadi–maaf–“tolol”?
Jauh lebih penting mana sekarang, tidak tahu, tidak mau tahu, sekadar tahu, atau benar-benar tahu?
Jawabannya kami tunggu di tanggal 7-8 November 2015. Mari belajar, mari berdiskusi untuk mengembangkan khasanah keilmuan kita. Selamat datang di panggung jurnalistik dunia maya.