Tiga pemuda mendengarkan alunan nyanyian di balik kamar mandi. [Doc.Nailus] |
Jangan sampai, hanya karena suara serak-serak basah bisa merusak stabilitas dan keharomonisan suami-istri. Atau boleh dibilang, jangan hanya karena suara dapat mengacaukan sistem imajinasi kita.
Sebuah nyanyian terdengar saat ruangan masih gelap. Vokal dan alunan musik mengiringi lampu pertama yang menyala di sudut kanan panggung tepat mengarah pada WC Umum. Lalu lampu kedua pada Pos Ronda dan seorang hansip yang sedang tidur, selanjutnya lampu ketiga, keempat, dan kesemua lampu menerangi panggung lakon “Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi.”
Lakon gubahan Seno Gumira Ajidarma yang diangkat dari cerpen dengan judul yang sama karya Gusmel Riyadh dibawakan penuh gaya dan gestur khas Laboratorium Teater Usmar Ismail, komunitas teater Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes. Lab. Usmar Ismail menyajikan keutuhan cerita yang ringan dan lucu namun tetap sarat makna.
Ada hal yang patut diperhatikan sebelum menonton lakon ini. Jangan menonton lakon ini tanpa sebelumnya membaca naskah atau cerpennya. Meski akan mengacaukan ekspektasi ketika menonton pementasan lakonnya. Mengapa demikian? Karena pesan yang utuh telah diuraikan SenoGumira dan Gusmel Riyadh dalam karyanya.
Pesan yang utuh dalam sebuah cerita atau kisah sangat jarang bisa menjadi sangat abadi walau divisualkan dengan beragam cara dan gaya. Barangkali ini adalah keahlian Seno Gumira. Jika kita sedang berbicara naskah atau cerpen, terkadang tafsiran orang akan sangat berbeda-beda menanggapi satu persoalan di dalam kisah (naskah drama, cerpen, bahkan novel). Namun, ciri khas lakon ini begitu melekat dengan Seno Gumira Ajidarma beserta pesan yang disampaikan di setiap alur dan dialog-dialog yang ada.
Terlepas dari alur dan dialog yang disajikan Lab. Teater Usmar Ismail, rasa-rasanya pesannya tetap sama. Pesan tersebut adalah bagaimanakah sistem kerja imajinasi kita? Siapa yang mengaturnya, apakah otak atau alam bawah sadar? Atau justru keduanya merupakan komplotan?
Baiklah. Mungkin pesan tersebut bukan tampak dan terdengar seperti pesan karena itu adalah pertanyaan. Dan apakah semua pesan harus melulu merupa pernyataan? Tidak. Untukku, mungkin.
Selebihnya dan seterusnya, aku dan segenap kawan yang menonton pentas tersebut sangat menikmati guyonan dan tingkah para aktor. Krisis apresiasi yang sekarang marak dibicarakan akan sangat timpang dengan apa yang tejadi saat lakon dipentaskan. Riuh dan tepuk tangan penonton yang memenuhi Ruang B1-106 mengakhiri pertunjukan drama Rabu malam itu, (7/12). Karena selain syukur, apalagi yang mungkin kita dustakan?
Nailus Salsabila
Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia 2014