Mengenal Psikologi dengan Berdiskusi
Feature Uncategorized

Mengenal Psikologi dengan Berdiskusi

BP2M/Lala, salah satu mahasiswa sedang berbagi cerita di forum diskusi (9/10).



“Rengkuhlah dan rangkullah mereka. Jangan pergi lagi dari mereka. Jangan singkirkan mereka. 
Karena sekali lagi, kita adalah sama,” ujar  Febri Aldi Maulia di tengah-tengah forum diskusi.

Semarang, Linikampus.com – Malam itu, Senin (9/10) hujan mengguyur kawasan Universitas Negeri Semarang (Unnes). Tidak terkecuali di NIR Cafe & Workingspece, Patemon, Gunung Pati, Semarang. Sesampainya tim Linikampus.com di NIR kafe, beberapa sepeda motor terlihat memenuhi tempat parkir di samping kiri kafe.

Diskusi yang sedang diadakan Himpunan Mahasiswa Psikologi Unnes terdengar hingga luar, tak kalah dengan suara deras hujan malam itu. Panitia acara mengambil tema diskusi “Depresi Tak untuk Diobati, Tapi untuk Ditemani”.

Muncul pertanyaan dari seorang peserta diskusi tentang Skizofrenia. Ia mengaku seorang Skizofren.

“Saya penderita skizofrenia. Tetapi teman-teman harus tau, saya itu sama dengan kalian. Hanya saja saya sedang sakit dan satu lagi, saya adalah orang baik,” ungkapnya.

Mahasiswa yang tidak ingin disebutkan namanya ini melontar tiga pertanyaan pada forum diskusi. Lima mahasiswa lainnya menanggapi dengan kemampuan dan pengetahuaannya masing-masing.

Meskipun forum diskusi tersebut tidak menghadirkan para ahli, seperti dosen atau yang lain, hal tersebut tidak menghambat jalannya diskusi.

Di tengah diskusi, salah satu mahasiswa Psikologi menegaskan, “Teman-teman ini adalah orang psikologi, jadi untuk ranah obat-obatan kalian itu enggak bisa megang. Ditakutkan adanya pembodohan masal, sehingga jangan terlalu ber-statement. Prinsip orang psikologi adalah enggak pakai obat-obatan. Obat itu sudah ranah psikiater,” tegasnya yang akrab dipanggil Nacil.

Selanjutnya, salah satu mahasiswa Psikologi berinisial OIR menceritakan pengalamannya yang pernah mengalami depresi di masa kecil. Dari awal ia mulai depresi, hingga ia bisa kembali normal. Ia juga bercerita tentang terapi yang dijalani dan obat-obat yang juga terus ia konsumsi.

Sampai pada suatu ketika, ia mulai menyadari bahwa ia tidak bisa terus bergantung dengan obat.

“Yang membantu saya sembuh bukanlah dokter, tetapi orang tua dan teman saya. Kata ibu, obat bisa membuat saya menjadi manusia yang kacau, sehingga saya mulai mengurangi mengonsumsi obat dan menyadari untuk mencari teman di sekolah,” sambil berdiri, OIR bercerita.

Semakin malam, diskusi pun memunculkan beberapa pembahasan. Dari depresi, trauma, perundungan, dan lain sebagainya.

Ada enam mahasiswa lain yang berbagi ceritanya. Seperti sebelumnya, teman-teman yang lain menanggapi semampunya, bahkan ditanggapi dengan pengalamannya sendiri. Hal ini yang membentuk suasana diskusi yang ramah dan hangat di NIR kafe.

Ekspresi yang dimunculkan ketika mereka bercerita sama sekali tidak menggambarkan kesedihan, justru mereka bercerita dengan ekspresi yang gembira dan sesekali mengundang tawa.

Di akhir diskusi, moderator, Febri Aldi Maulia memberikan pernyataan dan simpulan atas bahasan malam itu, “Kita adalah manusia yang sama, mahluk Tuhan yang punya nafas dan jiwa. Kita adalah satu kesatuan. Manusia bermoral dan butuh hidup sosial. Kita sama-sama lahir dari tanah, dan mati pun ditanah. Lalu apa yang membedakan kita? kenapa kalian menjauh dari mereka? kenapa mereka kita tinggalkan? dosakah mereka melakukan hal lain yang tidak sama dengan kita? tak perlu lari dari mereka. Karena sekali lagi, kita adalah sama.” [Lala,Sibad] 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *