Berbahasa di Era Milenial
Opini

Berbahasa di Era Milenial

[ilustrator BP2M/ Lala Nilawanti]
 
Oleh Dwi Indah Indriani

Era milenial tidak bisa dilepaskan dari pengaruh pesatnya perkembangan teknologi terutama internet. Menengok data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) tahun 2013 pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang. 95% dari angka tersebut menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Dari data tersebut  menunjukkan bahwa  manusia milenium tidak bisa lepas dari media sosial. Selain itu, faktor globalisasi pun berimplikasi pada melemahnya bahasa terutama dalam penggunaan media sosial.

Bahasa Gaul
Salah satu ciri khas bahasa dalam Ilmu Linguistik dalah bahasa bersifat arbitrer. Kata arbitrer bisa diartikan “sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap”. Meskipun bahasa itu arbitrer, penggunaan lambang untuk suatu konsep tertentu juga harus bersifat konvensional, yakni bahasa tidak akan menjadi bahasa jika belum memiliki kesepakatan suatu kelompok.

Tanpa disadari, penutur bahasa sudah melakukan hal itu dalam jejaring sosial walaupun bahasanya tidak sesuai dengan kaidah. Dalam jejaring sosial seseorang bebas menulis “status” dengan menggunakan gaya bahasa mereka sendiri. Akhirnya pembentukan bahasa yang tidak berdasarkan kaidah bahasa mulai bermunculan karena pembaca lebih banyak meniru apalagi dengan munculnya bahasa baru yang dianggap lebih nge-trend.

Penyingkatan kata marak digunakan, contohnya mager yang artinya malas gerak, cecans yang artinya cewek cantik, bete yang artinya boring total, OTW (On the Way) yang artinya dalam perjalanan, dan sebagainya. Bahasa gaul di media sosial terus berkembang dan berganti mengikuti trend. Bahasa gaul dapat dikatakan bahasa labil atau bahkan musiman karena bahasa tersebut akan viral sewaktu-waktu dan menghilang jika sudah tidak berlaku.

Salah Paham
Menyitir Tribun Jateng (31/7) dalam tulisan Azis Rahardyan “Kritis Bermedia Sosial” kasus Tanjung Balai, kericuhan terjadi karena kesalahpahaman masyarakat dari sebuah postingan di Facebook bahwa salah seorang warga berinisial M protes seakan tidak terima masjid dekat rumahnya memperdengarkan azan lewat pengeras suara. Padahal yang diinginkan M adalah masjid mengurangi volume pengeras suara saat azan dan pengajian. (Kompas Mahasiswa Edisi 90)

Bahasa ternyata dapat menimbukan kesalahpahaman di media sosial, entah dalam proses penyampaian atau dalam proses pemahaman. Seperti yang kita tahu, pada dasarnya setiap orang punya perbedaan pemikiran dalam memahami sesuatu, sehingga bisa saja terjadi kesalahpahaman sewaktu-waktu. Kesalahpahaman bisa diatasi apabila kita cerdas dalam menyaring informasi yang kita dapatkan dan tidak mudah terprovokasi jika informasi itu belum terbukti kebenarannya.

Berkaca dari banyaknya fenomena  dalam menyikapi bahasa di media sosial, Diskominfo Kabupaten Kendal menggelar sosialisasi penggunaan media sosial ke pelajar agar lebih bijaksana saat memposting ke sosial media karena media sosial adalah portofolio kehidupan di masa depan (Tribunjateng.com 29/4/2018).

Menggunakan internet sama halnya melatih diri untuk belajar beretika. Ketika menyelami dunia maya, saya jadi teringat status dari KH A Mustofa (Gus Mus) yang berjudul “Jum’at dan Silaturahmi.” Dalam status itu, Gus Mus menyampaikan sejumlah pengalamannya dan tidak lupa juga memberikan wejangan positif. Melalui akun Facebook pribadinya, Gus Mus memberikan nasihat kepada para pengguna media sosial untuk senantiasa menata kembali niat dalam menggunakan dan memanfaatkan sosial media. Sebagaimana sabda Rasulullah, “Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”

*Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia 
  Universitas Negeri Semarang 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *