Oleh : Ahmad Abu Rifai
Kupikir sebentar lagi aku akan mati dan aku harus menulis sebuah catatan kecil. Aku tak ingin memori ini hilang begitu saja, terkubur bersama jasadku di liang penghabisan. Tanah akan menghapus sejarah. Aku tak peduli bagaimana nasib catatan ini—termasuk soal kamu membacanya atau tidak.
Maka catatan ini kumulai dengan mengenang suatu pagi mendebarkan saat aku berumur 16 tahun. Kala itu, Bapak mengantarkanku ke depan rumah. Ada dua orang bermata sipit berseragam hijau lumut. Kata Bapak yang seorang juru tulis keraton, mereka saudara tua. Merekalah yang akan membawaku ke sebuah tempat bernama Borneo, agar aku bisa mengembangkan bakat sebagai pemain sandiwara.
Pagi itu sebenarnya aku sedih karena kamu tak bisa mengantarkanku pergi. Kamu sedang ada pentas di keraton. Namun kamu senang, ‘kan? Menjadi pemain sandiwara adalah impian kita. Kemarin, aku juga sudah pamit. Dan kamu memberiku sebatang konde berbentuk bunga mawar sebagai permintaan maaf sekaligus pengingat. Saat kamu rindu dan kurang bersemangat untuk pentas, lihatlah konde ini. Aku akan selalu menemanimu. Kapan saja, bagaimanapun keadaanmu. Begitulah katamu. Aku senang. Senyum manismu serasa memelukku.
Aku kemudian naik mobil hitam bersama dua orang serdadu sipit itu. Ini pertama kali aku naik mobil. Aku duduk di baris kedua—sekaligus paling belakang karena hanya ada dua baris tempat duduk.
Kulihat wajah Bapak murung. Aku ingin berkata: Bapak tak perlu sedih. Kontrak kerja hanya dua tahun. Saat sudah selesai, aku akan kembali ke Yogyakarta. Saat itu, karirku pasti sudah baik. Aku akan membanggakan Bapak. Kulambaikan tangan seraya menampilkan senyum tanggung saat mesin mobil menyala. Meski demi cita-cita, meninggalkan rumah tetap saja hal yang berat.
Baca Juga Cerpen : Sesuatu yang Dimimpikan Seekor Anjing
Pukul satu siang aku sampai di sebuah pangkalan. Ada sekitar dua puluh perempuan yang mengantre untuk pemeriksaan kesehatan. Mayoritas dari kami seumuran. Dan mereka semua cantik. Aku berkenalan dengan seorang perempuan manis yang baru berumur 13 tahun. Namanya Sri. Dia dari Semarang.
“Kamu juga hendak bermain sandiwara?” tanyaku. Sri menggeleng. Dia mengaku akan disekolahkan oleh Jepang. Bapaknya—yang seorang kepala desa—bilang begitu.
Usai pemeriksaan, kami naik ke truk dan menghabiskan waktu berjam-jam di sana sebelum naik kapal. Samar-samar kuingat, perjalanan ke Borneo memakan waktu tiga hingga empat hari. Saat kulihat laut, aku tiba-tiba mengingatmu dan sungai. Aku ingat sejak kecil kita sering bermain di sungai desa bersama anak-anak lain.
Berbeda dengan anak perempuan lain, Bapak membebaskanku bermain bersama anak-anak lelaki. Kamu sering membuatkanku sebuah kapal dari daun bambu dan kita bermain balapan. Pernah suatu kali, aku membuat kapalku sendiri. Teman-teman mengejekku. Dan kamu langsung gagah membela. Aku merasa nyaman berada di dekatmu sejak kecil. Kamu yang lebih tua tiga tahun selalu bisa melindungiku. Apakah kamu pernah naik kapal sungguhan? Pernah atau belum, aku harap kita akan berlayar bersama menuju dermaga yang sama. Ah, baru beberapa waktu saja, pikiranku sudah dipenuhi kenangan sekaligus harapan tentangmu.
Hujan menyambut kami di Borneo. Seorang serdadu tinggi berberewok tebal mengarahkan kami ke kamar masing-masing di sebuah asrama yang cukup besar. Ada lebih dari dua puluh kamar dalam asrama itu. Kalau tidak salah, ada dua puluh empat. Aku bisa tahu sebab kamarku berada nomor dua dari pojok dan nomor kamarku 23. Di dalam kamar berukuran 7,5 meter persegi itu, ada sebuah dipan, satu meja, dan satu kursi. Cat ruangan berwarna putih.
Aku merebahkan diri di kasur. Perjalanan Jawa-Borneo betul-betul menguras stamina. Apalagi buat orang yang tak pernah melakukan perjalanan laut sepertiku. Aku melonggarkan baju. Sambil beristirahat, diam-diam aku membayangkan dinding putih itu sebagai kain latar belakang pentas. Aku menaruh potretku sendiri di sana sebagai seseorang yang sedang bernyanyi dan menari. Betapa indah. Ratusan pasang mata menontonku di atas panggung. Apa seperti itu rasanya menjadi pusat perhatian?
Baca Juga Cerpen : Gosip untuk Sandal Jepit
Tiba-tiba pintu kamarku dibuka. Serdadu berberewok tebal yang tadi mengantar para perempuan muncul sambil tersenyum. Tangannya masih memegang gagang pintu sementara pakaianku masih dalam keadaan longgar. Kurasa bagian atas dadaku cukup terbuka. Aku buru-buru memperbaiki pakaian dan lekas berdiri kemudian membungkukkan badan. Begitulah cara menghormati saudara tua, kata Bapak. Pria itu menutup pintu dan membalas salamku dengan anggukan kecil sambil tersenyum.
“Kimi wa kawaii-ne[1],” katanya. Aku tidak tahu dia bilang apa. Barangkali semacam ucapan selamat datang. Aku hanya tersenyum sambil mengangguk.
Pria itu tidak bicara lagi. Aku juga diam karena tak tahu harus berkata apa. Mungkin saja, beberapa saat lagi dia akan memberitahukan jadwal latihan atau pentas langsung di atas panggung. Namun ternyata yang terjadi bukan itu. Tak ada kata-kata keluar dari mulutnya, tetapi tangan kekarnya meraih bahuku dan menjatuhkanku di atas kasur. Aku mencoba berteriak, namun tangan kanannya membungkam mulutku sementara tangan kirinya menahan tubuh sekaligus bergerilya menyingkap pakaian.
Adegan kebiadaban itu pun tak bisa kuhentikan. Tubuhku terlalu lemah untuk melawan serdadu militer sepertinya. Dia makin trengginas. Kurasakan sekujur tubuhku panas dan perih. Sedetikpun aku tak berani membuka mata. Dalam kegelapan itu, kurasakan hujan kian lebat dan angin semakin kuat menusukkan dingin dan derita dalam tubuh. Potretmu pun datang dan terus bergelayut. Gusti, apa yang harus kukatakan padamu? Aku telah berjanji bahwa jiwa dan ragaku selamanya hanya untukmu. Namun kini, sebagian dariku telah direnggut paksa.
Serdadu amoral itu pergi tanpa mengucapkan apa-apa setelah menggagahiku. Aku masih tak membuka mata—hanya suara pintu dibuka yang kudengar. Mungkin kini dia sedang tersenyum karena telah menanamkan kuasa atas tubuhku. Dan aku.. aku merintih kesakitan karena kuasanya telah merobek tubuh dan hatiku. Beberapa jam setelah itu, dua orang berbaju militer datang lagi ke kamarku. Rasa sakitku belum reda barang sedikit, dan mereka membuat luka itu kian lebar.
Sejak itu, aku menyadari bahwa orang-orang yang kata Bapak saudara tua itu menipuku dan para perempuan lain. Kami dijanjikan pekerjaan menyanyi, bersandiwara, bahkan sekolah ke luar negeri. Nyatanya mereka hanya menjadikan kami sebagai perempuan penghibur. Perempuan yang tiap saat bisa mereka datangi untuk menyalurkan birahi. Bagiku, mereka manusia paling jahat di muka bumi.
Aku takut. Aku sakit. Tiap hari belasan tentara itu menjamah tubuhku secara bergilir. Aku takut kehilangan diriku. Dan aku sakit mereka perlakukan seperti binatang. Jika kamu melihatku mereka perlakukan seperti ini, bagaimana perasaanmu? Apa yang kamu lakukan?
Asal kamu tahu, tiap hari kesunyian menyiksaku. Segerombol orang memang tak pernah absen mengunjungiku. Namun mereka memasungku dalam ruang kesepian. Aku sendiri di sana. Aku butuh kamu. Namun aku bahkan tak tahu kabarmu dan bagaimana cara menghubungimu. Mereka, tentara-tentara jahat itu, selalu mengawasiku tiap detik. Bahkan saat aku belanja di pasar, mereka selalu berada di belakangku. Tiap langkah dan napasku seolah mereka catat.
Saat itu, tidakkah kamu ingin tahu bagaimana kehidupanku? Andai saja kamu bertanya, aku akan menjawab bahwa semua telah hancur berantakan. Kemalangan dan kerinduan tak henti-hentinya menyiksaku. Kemalangan dari serdadu-serdadu itu dan kerinduanku padamu. Tiap waktu aku berdoa pada Tuhan agar bebas, meski tak jarang juga aku mengutuk-Nya karena memberikan kehidupan yang sama sekali tak kuinginkan.
Aku mengingat dulu, saat aku masih bersamamu dan Bapak, semua berjalan baik-baik saja. Meski Ibu meninggal saat aku berusia empat tahun, kehadiranmu telah kucukupkan untuk menambal lubang kehilangan itu. Aku ingat dulu kamu dengan manis memanggilku “dik” saat mengobrol, dan aku memanggilmu “mas”.
Ini berbeda dengan kondisiku sekarang. Lelaki-lelaki bajingan itu, memanggilku Joyu[2]. Belakangan, aku mengetahui panggilan itu berarti aktris. Kala itu mungkin mereka sedang mengolok-olokku yang dengan gampangnya ditipu dengan iming-iming panggung. Aku memang berpentas. Tapi panggungku adalah kasur. Dan aku hanya tokoh boneka yang bisa sesuka hati mereka mainkan.
Aku merindukanmu dan bunga-bunga mawar yang sering kamu berikan padaku. Setiap kali kamu menghadiahkan mawar, kamu juga akan memberiku puisi, atau setidaknya sebuah lagu cinta. Kita akan bernyanyi bersama. Puisi, nyanyian, dan mawar-mawarmu itulah yang mampu jadi obat bagi segala laraku.
Namun kini, saat lara terhebat menghujam ulu hatiku, tak ada kamu dan mawarmu. Di sudut kamarku hanya ada beberapa tangkai bunga anyelir kuning. Itu bunga dari seorang komandan paruh baya. Katanya, bunga itu cantik sepertiku. Bunga cantik untuk perempuan cantik. Kata-katanya, kujamin cuma bualan busuk! Dia tetap melecehkanku. Dan bunga anyelir itu kini kian layu seperti cahaya hidupku yang meredup. Ah, aku butuh mawar serta puisi-puisi indahmu yang menggugah dan nyanyianmu yang indah. Bukan seperti ini! Nyanyian kesedihan dan sajak-sajak pelaknatan.
Begitulah hari-hariku—hari-hari yang penuh kata-kata pelecehan, cambuk, dan lendir. Jika kamu mau mendengar lagi, maka akan kukatakan bahwa selain digagahi belasan orang tiap hari, belasan orang itu pun sering main tangan dan kaki. Saat mereka merasa kurang puas karena aku begitu kelelahan, bukannya memberi istirahat, mereka malah menampar dan menendang perutku. Tak jarang aku pingsan.
Dan saat aku bangun, memar-memar sudah bermunculan di tubuhku. Berkali-kali, serdadu-serdadu bangsat itu malah menyabetku dengan rotan. Bahkan, tahukah kamu, mereka memasukkan benda itu ke kemaluanku! Sakit. Sakit tubuhku! Harga diriku juga mereka injak-injak. Saat itu aku pendarahan hebat. Tak ada yang menolong. Mereka membiarkan aku dalam luka tubuh dan batin.
Orang-orang Jepang itu pun menolak menggunakan kondom. Tak enak dan leluasa, kata mereka. Beberapa waktu lalu, aku sempat hamil. Dan apa yang mereka lakukan? Mereka mengurut perutku dengan kuat, memaksa janin keluar. Sakit sekali rasanya. Dan aku begitu berdosa karena tak bisa menjaga nyawa jabang bayi itu meski bapaknya orang jahat—bahkan aku sama sekali tak tahu siapa bapak anak itu.
Kawan-kawanku yang lain pun begitu. Tiga orang dari mereka bahkan meninggal karena penyiksaan—satu dari tiga orang itu meninggal saat diurut perutnya. Sebagian dari kami mengidap penyakit kemaluan parah. Seingatku ada lima. Tiap bulan, kesehatan kami–lebih tepatnya kesehatan kemaluan—sebagai wanita pemuas memang dicek.
Seseorang yang kata mereka dokter akan memasukkan sebuah alat bernama cocor bebek yang berbentuk seperti corong dalam kemaluan para perempuan. Dari sana, dia akan menilai perempuan itu masih layak atau tidak. Jika masih, maka dia akan tetap tinggal di asrama. Namun jika dia sudah tak layak, dia akan dibuang tanpa diberikan apa-apa lalu diganti dengan perempuan baru.
Kadang aku ingin sakit saja biar aku bisa dibuang, keluar dari asrama itu. Namun aku mengingatmu. Bagaimana kita bisa hidup bersama dengan baik jika aku memiliki penyakit mengerikan seperti itu?
Kondisi seperti ini berlangsung hingga suatu hari, kerani[3] memberikan kebebasan bagi para wanita pemuas sepertiku. Bahagia tentu muncul saat aku mendengar pengumuman itu. Namun aku juga bingung: ada apa dengan saudara tua? Bersama Sri yang seminggu lalu menggugurkan janinnya, aku memutuskan keluar asrama.
Kondisi Sri yang tak begitu sehat membuat kami bergerak lambat. Selama empat hari, kami berjalan menjauh dari kota, memikul kekhawatiran tentang pemerkosaan lain yang bisa terjadi sewaktu-waktu. Kami hanya membawa beberapa singkong dan dua botol air dari asrama. Dengan kondisi tubuh dan bekal yang kurang baik, satu-satunya hal yang bisa membuat kami kukuh adalah kerinduan pada rumah.
Kami berdua tiba di sebuah kampung di Banjarmasin saat bekal makan dan minum benar-benar habis. Di sana keajaiban terjadi. Aku dan Sri bertemu seorang prajurit Heiho[4] yang sedang bertugas di kawasan kampung itu dan sekitar. Namanya Gadi. Dia kemudian merawat kami selama dua minggu.
“Tunggu sampai kondisi aman. Sekalian sampai kalian benar-benar sehat,” kata Gadi. Selanjutnya dia berkata, Jepang sedang terdesak. Adalah sebuah kesyukuran bisa bebas. Benar juga, saat itu pertama kalinya aku bersyukur lagi kepada Tuhan.
Sri dan aku kemudian naik kapal dagang ke Surabaya pada awal September. Semua biaya Gadi tanggung. Aku dan Sri memang keluar dalam keadaan dompet kosong melompong. Tak diberi pesangon sepeser pun. Gadi memaklumi. Dia pria yang baik.
“Kau mungkin sekarang sudah bebas dari cengkeraman Jepang. Namun, besar kemungkinan kehidupanmu akan berbeda dari sebelumnya. Bersabarlah,” pesan Gadi saat dia melepasku dan Sri di tanah Borneo. Aku tak begitu peduli dengan kalimatnya itu. Yang jelas aku berterima kasih. Dan kini, rasa rinduku sudah memenuhi dada.
Aku naik delman menuju kampung. Dua tahun kutinggal, tempat ini hampir sama sekali tak berubah. Bagaimana dengan Bapak dan kamu? Kuharap, kalian pun masih sama menyayangiku seperti sebelumnya.
“Dua tahun, kan? Cuma dua tahun. Jika kita bertemu lagi, kita akan menikah,” katamu sore itu. Kini tubuhku tak lagi sama. Namun rasa cinta.. rasa cinta tak berubah sedikit pun. Kita tetap akan menikah, bukan? Kita akan menjadi keluarga kecil bahagia dengan tetangga-tetangga penolong meski sesekali menggunjing—persis seperti cerita yang ada dalam pementasanmu.
Baca Juga Cerpen : Mirat
Begitulah harapanku saat pulang kampung. Namun semua patah! Saat aku kembali ke kampung halaman, yang ada hanyalah berita duka dan tatapan jijik nan menakutkan. Bapak meninggal setahun lalu. Dan sekarang, semua menatapku seolah aku sampah, makhluk yang tak punya perasaan. Mereka menyebutku ransum Jepang! Hei, memang siapa yang mau hidup jadi pemuas nafsu bejat mereka? Aku dan perempuan-perempuan lain tak hanya disetubuhi paksa, tetapi juga disiksa dan dihardik dengan kata-kata buruk yang tak pernah kalian dengar.
Aku menangis hampir sepanjang waktu sambil mencarimu di desa-desa, di mana saja yang menggelar pementasan. Kamu satu-satunya alasanku tetap hidup dan kembali ke tempat ini sekarang. Akhirnya aku bertemu denganmu pada suatu sore di dekat keraton. Dari pakaianmu yang berhiaskan pernak-pernik berwarna, kupikir kamu akan berpentas.
“Apakah kamu tidak merindukanku?” tanyaku penuh belas kasih. Kamu menunduk diam. Aku pun mulai menerka-nerka pikiranmu. Lewat kabar yang berhembus, kamu mungkin tahu aku jadi salah satu perempuan pemuas. Puluhan atau bahkan ratusan lelaki telah mencicipi tubuhku. Namun kamu harus tahu, satu kalipun aku tak pernah melepaskan keperawananku.
Yang mereka rebut itu cuma tubuh. Tak ada kenikmatan atas persetubuhan-persetubahan itu bagiku. Yang ada hanya luka—termasuk luka di selaput daraku. Sepenuhnya, cinta ini tetap untukmu. Jiwa ini tak pernah sedetikpun bergeser darimu. Mungkin ini sulit bagimu, tetapi apa yang kurasakan jauh lebih mengerikan daripada yang bisa kamu bayangkan.
“Mas?” tagihku lagi. Kamu sedikit mengangkat kepala dan memandangku.
“Maaf, kamu sudah tidak suci,” jawabmu. Dan seketika kehidupanku seolah berakhir. Ternyata, tentara-tentara Jepang bukan orang paling jahat di muka bumi.
Marcapada, 27 November 2018
20.03 WIB
[1] Kimi wa kawaii-ne = kamu cantik (bahasa Jepang) [2] Joyu = aktris (bahasa Jepang) [3] Petugas tiket jugun ianfu (wanita penghibur) [4] Heiho = pasukan beranggotakan orang Indonesia yang dibentuk tentara Jepang
Mahasiswa Sastra Inggris Unnes 2016 nyambi Takmir BP2M