Cerpen

Mirat

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
[Ilustrator.BP2M/Lala Nilawanti]

[mi:rat n cermin]

~~~~~~~
Oleh Anisya 
 

Kuperhatikan segala hiruk pikuk stasiun dalam diam. Terhitung sudah sekitar sejam aku menunggu di suatu sudut  stasiun hingga kurasakan kesemutan pada kedua kakiku. Tubuhku merosot, ganti posisi jongkok dengan ujung siku runcing menusuk paha yang kujadikan sebagai tumpuan saat menyangga kepala. Kata-kata sabar tidak henti-hentinya kuucapkan dalam hati. Bukannya lelah, hanya saja kemorat-maritan suasana stasiun masih memunculkan aura negatif di sekitarku.

Maka jangan heran saat kalian melewati seorang gadis berkuncir kuda dengan rok sebetis, akan melihat wajah masam lengkap dengan bibir tercebik kesal karena bosan menunggu seseorang. Entah sampai kapan orang itu keluar dari kereta yang mengantarkannya pulang dari antah berantah.

Hari sudah siang, dan kesibukan di depan sana masih tidak berkurang. Malahan, ada saja yang menjadi biang keributan. Sama sekali tidak kondusif saat orang-orang berubah anarkis, saling berebut bangku di dalam kereta. Diingatkan oleh petugas pun rasanya sia-sia saja. Tak akan didengar karena tertimpa suara keramaian. Maklumlah, kereta ekonomi memang tidak pernah sepi penumpang.

Kini, pandanganku berganti haluan. Kupandangi keletihan yang tergambar jelas pada wajah orang-orang disana. Lihat saja petugas tiket itu. Gerakannya melemah dan terkesan monoton dengan mimik datar tak melukiskan senyuman. Belum lagi para calon penumpang yang masih setia menunggu di bangku-bangku stasiun. Ada yang berbincang ringan untuk menepis kebosanan, ada yang sibuk menatap layar ponsel pintar, bahkan kulihat beberapa orang tampak melamun sambil berpangku tangan. Setidaknya mereka masih mencoba bersabar menanti kereta yang harus mengalami keterlambatan. Namun, sebagian orang yang tidak siap akan perpisahan seolah tak merasa risau. Sepasang sejoli itu contohnya. Tampaknya dari tadi mereka tak henti-hentinya mengobrol mesra dengan tangan yang saling menggenggam. Erat. Aku tersenyum tipis mengamatinya.

Suara berisik mesin kereta spontan membuat kepalaku terdongak. Senyum ku semakin lebar tatkala menyadari penantian memuakkan ini akan berakhir beberapa menit ke depan. Kesibukan semakin terasa kala lengkingan suara para petugas terdengar.

Mereka berkerja keras, berusaha mengatur para penumpang agar tidak berjubel, saling dorong-mendorong keluar dari tubuh si ular besi raksasa. Hari ini stasiun tidak pernah sepi, mungkin malah sebaliknya saat menjelang akhir Ramadan seperti sekarang. Selama itu pula mataku sama sekali tak berkedip. Mengamati suasana riuh di peron sana saja sudah membuat ngeri.

Aku melihatnya. Dia masih berbaur dengan orang-orang yang tidak sabaran, sangat berbanding terbalik dengan sosoknya yang tenang. Kepalanya tertoleh ke kiri dan kanan kemudian berjalan perlahan membelah kerumunan. Langsung saja aku berjinjit lalu memanggilnya dengan semangat. Maka hanya dengan lambaian tangan, sosok itu menyapa lengkap dengan senyuman.

“Cendana, pasti kamu sudah lama menunggu. Maaf, ya?”

Aku mengangguk. Kemudian membawakan salah satu tasnya, berinisiatif membantu.

“Bapak-Ibu sehat?” Mas Agil bertanya sembari mengencangkan tali ransel.

“Sehat. Bude-Pakde juga sehat.”

Sesampainya di luar stasiun, kami memutuskan untuk menunggu angkot lewat. Sengatan matahari memang lumayan panas. Belum lagi debu-debu beterbangan yang dengan nakal menempeli kulit eksotisku. Gatal bahkan sampai menjadi ruam kemerahan. Kami memilih duduk di tepi trotoar sambil berbincang-bincang. Banyak sekali hal yang ia ceritakan setelah lama tak bersua terhitung dari lebaran tiga tahun tahun lalu. Sibuk mencari gelar dokter spesialisnya.

Mas Agil memang menjadi contoh bagi pemuda-pemuda di desa kami. Bermula dari kematian ayahnya—yang juga paklik ku—sejak umur tujuh tahun, hingga Bulik Sripah yang terpaksa harus bekerja serabutan menjadi buruh cuci, nyatanya ia tidak gentar berusaha meraih cita-cita menjadi seorang dokter spesialis yang lebih mengedepankan kemanusiaan dibanding pundi-pundi rupiah yang masuk ke dalam kantong snelli-nya. Meski praktik di ibukota sana, dia juga biasa menjadi relawan yang turun langsung ke kampung-kampung pelosok maupun saat bencana alam terjadi. Seluruh pencapaiannya bukan barang mudah. Kuat fisik saja kurang, mentalnya yang sekuat baja telah terasah sejak bertahun-tahun lalu ketika setiap orang di keluarganya menyangsikan kemampuannya.

Omong kosong! Mereka hanya iri! Terutama Bude Yanti dengan segudang kata-katanya yang meremehkan. Bahkan tak lebih dari sekadar bualan saat membandingkan Mas Agil dengan anak-anaknya.

Ah, aku jadi teringat saat-saat itu…

***
 

“Kowe tho, kok ndak tahu diri sekali. Ibumu sudah kerja banting tulang, menyekolahkanmu sampai SMA. Eh, kok ya sekarang malah ngelunjak. Sekolah dokter? Kamu pikir berapa biayanya!? Mau membuat ibumu miskin lalu mati kelaparan!?” cerocos Bude Yanti sambil duduk lalu menyilangkan tungkai panjangnya. Gayanya memang macam ibu pejabat, padahal posisinya hanya sebagai RT tambah ketua PKK.

Saat itu memang aku masih duduk di sekolah dasar. Tidak terlalu mengerti permasalahan seperti apa yang menjadi pemicu perdebatan di tengah ruang keluarga rumah Bapak dan Ibu. Bahkan tidak sampai di sana saja, Bude ternyata masih berminat melanjutkan perkataan yang isinya seratus persen sarkas.

“Bude beri tahu, Le. Lebih baik kamu lanjut kerja saja, lagipula sudah setahun kamu kerja di warungnya Parmi. Mungkin kamu ingin sekolah lagi karena putra Bude, Karib mau disekolahkan di Akpol. Tapi kamu kok ya, ngoyo sekali, tho? Tidak usahlah memandang ke atas terus. Pegal lehermu nanti karena lelah mendongak!”

Suasana berubah hening. Kali ini memang Bude Yanti lah yang lebih banyak mengambil alih. Terlalu sibuk mengomentari urusan orang lain. Aku melirik Bapak yang hanya diam. Meski Bude Yanti kakaknya, tetap saja beliau tidak mampu membantah. Di haluan lain pemandangan sama juga terjadi. Bulik Sripah, ibu Mas Agil yang juga adik dari Bapak pun hanya memandang teduh putra semata wayangnya yang kini diadili bak tersangka. Kalau Bapak saja kehilangan kata-kata, apalagi Bulik Sripah yang hanya bungsu.

Pandanganku beralih begitu ada sedikit pergerakan dari Mas Agil. Masih seperti biasa, laki-laki itu tetap tenang seolah tidak terpengaruh dengan semua kata-kata Bude.

“Saya disekolahkan negara, Bude. Kuliah dengan bantuan beasiswa dan semuanya gratis. Apalagi setiap bulan diberi uang saku, jadi sebisa mungkin saya tidak berniat memberatkan ibu.”

“Tapi tidak selamanya kan, Gil!? Kalau nilaimu jeblok, beasiswanya dicabut! Kalau sudah begitu, bagaimana nasibmu? Menunggak pembayaran lalu di-DO? Kamu ingin mempermalukan keluarga juga ibumu!?”

Mas Agil mengulum senyum tipis. “Insyaallah, tidak akan terjadi, Bude. Agil akan belajar sungguh-sungguh, ” balasnya tetap tenang.

“Tapi…”

“Sudahlah, Mbak,” potong Bapak yang mulai lelah dengan perdebatan ini. Beliau kembali melanjutkan ucapannya, “Jangan terlalu menyudutkan Agil, Mbak. Kita kan belum tahu apa yang akan terjadi nantinya. Biarlah dia mencoba dulu. Lagipula jadi dokter kan cita-cita mulia.” Kini pandangan bapak mengarah pada Agil.

Dengan tatapan teduh seperti biasa, bapak menasehati dengan bijak, “Le, ingat perkataannya bapakmu dulu. Kalau sudah berhasil nanti, jangan sombong juga harus membuka mata selebar-lebarnya pada orang yang membutuhkan bantuanmu. Paham?”

Seulas senyum menghiasi wajah Mas Agil. Dia mengangguk. Aku pun ikut tersenyum lebar melihat Bapak dan Mas Agil bergantian. Benar, dialah bapakku, sosok sederhana namun memiliki hati lapang dan pandangan positif tentang hidup dan takdir Tuhan. Juga, dialah sosok Mas Agil, pribadi tenang dan pekerja keras. Dialah orang paling optimis di dunia, sama sekali tidak ragu akan cita-cita luar biasa yang ingin ia raih.

Dalam sekejap, semua ucapan Bude Yanti pun hanya terdengar seperti angin lalu saja bagiku.

***

“Buku Mas Agil sebanyak ini?” Aku menatap takjub pada tumpukan buku yang kini disusun rapi oleh sang empunya di meja. Semua besar, tebal, penuh tulisan rapat dan kecil-kecil, juga gambar-gambar berwarna yang membuat perut seketika bergejolak. Bahkan bisa kutemukan beberapa buku miliknya berbahasa Inggris.

“Bisa ya menghafal sebanyak ini?”

Mas Agil tertawa. “Buku kedokteran memang seperti itu, Cendana,” katanya. “Kabar Karib bagaimana? Sudah membaik?”

Kututup buku di tangan lalu menggerakkan bahu. “Tidak tahu.”

Mimik wajahnya berubah, berganti memandangku dengan dahi berkerut. Sesaat ia terdiam, namun begitu terdengar suara ketukan pintu disusul suara bapak yang menyambut seseorang, kami berjalan keluar kamar. Untuk tiga hari ini Mas Agil memang berniat menginap di rumah Bapak dan Ibu, menunggu Bulik Sripah pulang dari Magelang.

Sungguh sebuah kejutan begitu kedua mataku menangkap seorang wanita paruh baya tengah duduk di lincak, berhadapan langsung dengan Bapak. Mereka mengobrol begitu intens, bahkan sempat kulihat ia tampak murung, tertunduk lesu menatap ubin dingin rumah kami. Sosoknya dulu yang selalu tampak necis dan berkelas, sekarang tak ubahnya seorang wanita kurus dengan wajah pucat akibat banyak pikiran.

Pertanyaannya, benarkah wanita yang kulihat saat ini benar-benar Bude Yanti?

Mas Agil menepuk punggungku pelan. Memberi isyarat agar menunggu saja di balik pintu ini sementara dirinya menghampiri Bapak dan Bude Yanti yang masih terlibat obrolan serius. Lima menit mereka berbincang. Bicara macam-macam. Sayup-sayup kudengar Bude Yanti sempat bermadah sambil menepuk-nepuk lengan Mas Agil, namun selanjutnya tak sedikitpun bagian percakapan yang tertangkap oleh telingaku. Mungkin suara nyanyian kartun menimpa suara mereka. Entahlah, aku juga tidak begitu tertarik dengan obrolan orang tua.

Setelah beberapa menit lamanya, kutegakkan tubuhku saat kulihat Budhe Yanti berdiri lalu bersalaman dengan Bapak dan Mas Agil. Beliau pamit dengan senyuman dan mimik wajah lebih cerah dibandingkan saat datang tadi. Penasaran, akhirnya aku bertanya.

“Pak, tidak biasanya Budhe Yanti datang berkunjung,”

Bapak tidak langsung menjawab, dan baru menanggapi saat Mas Agil kembali masuk ke dalam kamar.

“Budemu meminta bantuan Agil untuk mengurus administrasi operasi Karib. Penyakitnya memburuk, Nduk. Kasihan, masih muda ginjal dan paru-parunya rusak karena terlalu banyak ‘minum’ dan merokok. Agil juga sedang merekomendasikan dokter kenalannya dari ibukota. Mungkin minggu depan, Karib bisa dioperasi.”

Aku terdiam lama mencerna semua ucapan Bapak. Pasalnya Karib tak sampai lulus dari Akpol karena minum alkohol dan sempat direhab akibat kecanduan narkoba.

“Lalu, ada lagi yang dibicarakan, Pak?”

Bapak hanya tersenyum simpul. Sambil melipat sarung lalu duduk di depan televisi, beliau mengatakan, “Kamu disuruh cepat menikah dengan Juned si penjual tahu keliling. Lebih pas, menurutnya. Dia menganggap seleramu terlalu tinggi dengan putranya Pak Camat, takut jadi perawan tua kalau banyak memilih. Katanya jangan mau lah kalah dengan putrinya, Arumi yang sekarang dilamar pengusaha batu-bara.”

Tawa Bapak terdengar renyah, namun aku hanya tersenyum miris setelah mendengar cerita Bapak tentang betapa remehnya seorang Cendana. Harga diriku jatuh, melesak jauh melewati inti bumi begitu kata ”perawan tua” tercetus untuk kesekian kalinya dari bibir yang sama.

Merasa kesal, kuputuskan untuk kembali ke kamar. Jika Mas Agil memilih sabar menghadapi tabiat ‘tidak-tahu-diri’ Bude Yanti, maka aku benar-benar berada di ambang kesabaran sekarang. Lelah! Ingin kutulikan saja telingaku saat mendengar kata-kata satirenya!

*lincak: bangku panjang, biasanya dari bambu.
*snelli: jas dokter

Exit mobile version