Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Opini Ulasan

Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan yang Berpihak

Muhammad Adam Khatamy [Ilustrasi/Teguh]

Oleh: Muhammad Adam Khatamy*

Pada tahun pertama kuliah, saya pernah mengikuti sebuah diskusi mengenai kajian lingkungan hidup strategis dan Moratorium Izin Tambang Pegunungan Karst Kendeng Rembang di sebuah universitas swasta di Semarang. Salah satu pembicaranya merupakan perwakilan Dinas ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Jawa Tengah yang memulai paparannya dengan kelakar bahwa tidak ada barang di bumi yang dihasilkan bukan dari proses pertambangan.

Kemudian ia menyatakan bahwa kawasan cekungan air tanah di Pegunungan Kendeng tidak memiliki aliran sungai bawah tanah atau underground river, sehingga moratorium (penangguhan) izin tambang semen di Pegunungan Karst Kendeng tidak perlu dilakukan.

Padahal saat itu, pembicara dari tim KLHS Kendeng menyatakan telah melakukan uji menggunakan cairan pewarna dan garam beryodium, untuk menguji keberadaan sungai bawah tanah di dalam Pegunungan Karst Kendeng. Hasilnya menyatakan bahwa keberadaan sungai bawah tanah dapat dibuktikan secara ilmiah, sehingga pertambangan Pegunungan Karst Kendeng dapat mengancam keberadaan air bagi masyarakat sekitar.

Pernyataan dari perwakilan Dinas ESDM ini patut dipertanyakan. Pertama, selama kehadiran saya dalam kelas mata kuliah Geomorfologi Dasar, salah satu ciri utama Kawasan karst adalah keberadaan sungai bawah tanah, jadi kenapa hal ini diingkari? Kedua, anggapan bahwa tidak ada barang di bumi ini yang tidak melalui proses pertambangan merupakan sebuah bunuh diri filsafat, karena menjadi pembenaran atas kegiatan pertambangan yang merusak lingkungan dan kemudian berdampak pada eksistensi manusia itu sendiri.

Pemaparan perwakilan Dinas ESDM ini terkait keberadaan sungai bawah tanah di Pegunungan Karst Kendeng bukanlah permasalahan sepele. Lebih dari bahwa ia merupakan ahli geologi yang mengingkari ciri utama bentang alam karst dan bagian dari lembaga pemerintah yang mengurusi bidang mineral. Fenomena ini mengungkap fakta bahwa seorang ahli atau orang terdidik sedang menutup diri terhadap persoalan yang terjadi di lingkungan sekitar. 

Akademisi, ilmuwan atau ahli seperti itu merupakan hasil dari paradigma keilmuan yang positivistik, sehingga sistem pendidikan yang dihasilkan adalah jauh—atau dijauhkan—dari sentuhan nilai humanistik. Selain itu, ilmu pengetahuan pernah mengalami saat dimana syarat sebuah ilmu pengetahuan adalah bebas nilai. Hal ini kemudian mempengaruhi perkembangan filsafat ilmu pengetahuan selanjutnya bahwa ilmu pengetahuan valid harus terukur, objektif dan terverifikasi. 

Penganut paradigma ini menyatakan ilmu pengetahuan yang masih terpengaruh asumsi non-epistemik seperti nilai religius, sosial dan moral adalah omong kosong dan tidak objektif. Seakan-akan semuanya dapat terukur oleh angka-ngka statistik, padahal nilai humanistik tidak dapat diberi skor angka sebagai bentuk validasinya. 

C.P Snow, seorang Ilmuwan Ahli Kimia Fisik dan Novelis asal Inggris pada 1959 memberikan kuliah terbuka di Universitas Cambridge yang kemudian diterbitkan dengan judul The Two Cultures and Scientific Revolution. Ia menjelaskan perihal revolusi keilmuan yang menghasilkan keretakan ‘dua budaya’ yaitu keilmuan yang menjadikannnya bersebrangan dan kita kenal sebagai bidang sains (saintek) dan bidang humaniora (soshum).

Dengan adanya spesialisasi tersebut, seakan terdapat jurang pemisah yang dalam di antara keduanya dan menjadikan seorang matematikawan melulu berkutat dengan angka-angka atau ahli botani yang berkutat pada persoalan tumbuhan tanpa sempat berdialog dengan ahli humaniora ‘di-seberang’ sana, guna menyelesaikan masalah peradaban, begitu juga sebaliknya.

Masih dalam isu Kendeng, pada 2015 petani Kendeng pernah beramai-ramai menggeruduk Universitas Gajah Mada ketika dua dosen Fakultas Geografi yang menjadi saksi ahli dalam Sidang PTUN memberikan pernyataan bahwa Karst Kendeng boleh ditambang karena tergolong karst muda dan Kawasan rembang merupakan Kawasan tandus, yang mana pertambangan merupakan salah satu pemanfaatan potensi wilayah. 

Terlebih paska diterbitkannya UU nomor 12 tahun 2012 tentang perguruan tinggi. Menjadikan arah perguruan tinggi tidak hanya sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa namun juga dapat mencari pendapatan sebesar-besarnya. Melalui ‘perluasan otonomi kampus’ dalam judul perguruan tinggi berbadan hukum, hal ini dapat memperlebar jarak antara keilmuan terhadap lingkungan sekitarnya.

Saat ini universitas berlomba-lomba menjadi mitra penelitian atau riset mitra korporasi, dengan harapan imbalan materil yang tidak jarang hasil riset digunakan sebagai legitimasi atas perampasan lahan dan ruang hidup. Seperti contoh, seringkali kajian AMDAL dari korporasi industri ekstraktif dihasilkan oleh kaum terdidik nun intelektuil, meski dalam kajian AMDAL terdapat kajian mengenai dampak sosial, kajian tentu dibuat untuk melapangkan jalan bagi industri ekstraktif.

Hal ini disinggung oleh Louis Althosser (1971) dalam bukunya berjudul “Ideology and Ideological State Apparatuses”, bahwa pendidikan dalam masyarakat kapitalisme digunakan sebagai kontrol sosial yang digunakan sebagai ‘pabrik produksi’ pekerja yang patuh terhadap otoritas. 

Maka tidak heran, keberpihakan akademisi cum ahli di atas terhadap korporasi merupakan hasil dari pengaruh kapitalisme dalam pendidikan serta pemisahan keilmuan akibat revolusi keilmuan (scientific revolution and two cultures), yang menjadikan akademisi menutup diri terhadap persoalan lingkungan sekitar.

Keilmuan dan pendidikan yang ‘menutup diri’ dan tidak berpihak terhadap lingkungan sosial-masyarakat dapat menjadikan cela terhadap marwah keilmuan atau pendidikan itu sendiri, ketika fungsi pendidikan adalah mendidik manusia supaya dapat berperilaku seperti ‘manusia’. 

Rendra menyinggung kita semua melalui “Sajak Pertemuan Mahasiswa” yang mahsyur berbunyi: 

Dan kita di sini bertanya:

“Maksud baik saudara untuk siapa?”

“Saudara berdiri di pihak yang mana?”

“Kenapa maksud baik dilakukan”

“Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya”

“Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota”

“Perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja’’

 

*Mahasiswa

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *