Terdampak Perampasan Ruang Hidup, Perempuan Angkat Bicara
Kabar Kilas

Terdampak Perampasan Ruang Hidup, Perempuan Angkat Bicara

Selasa (28/02), Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional (PEMBEBASAN) Kompartemen Perempuan menyelenggarakan sebuah diskusi publik bertema “Perempuan di Tengah Perampasan Ruang Hidup” melalui Zoom Meeting. Diskusi tersebut diagendakan untuk menyambut “Hari Perempuan Sedunia” pada tanggal 8 Maret mendatang. Dalam diskusi tersebut, turut hadir tiga narasumber berbicara mengenai perjuangan perempuan dalam mempertahankan ruang hidupnya. 

Gio Austriningrum, Peneliti Agraria dan Lingkungan sekaligus Peneliti Isu Gender, mengatakan bahwa kapitalisme selalu menghancurkan ruang hidup demi menguntungkan pihak yang berkuasa. 

Lebih lanjut lagi, Gio menjelaskan bahwa dalam lingkungan sosial, patriarki selalu mengakar kuat. Satu gender dianggap superior dibandingkan gender yang lainnya. Misalnya gender maskulin identik lebih kuat, berani, dan mendominasi. Sebaliknya, Gio menyampaikan bahwa perempuan diasosiasikan dengan alam karena kelembutannya. Hal itu membuat perempuan kerap kali terpinggirkan.

Namun, dalam kasus perampasan lahan, perempuan pun ikut terdampak. Hal tersebut memicu semangat perlawanan para perempuan. “Perlawanan perempuan dalam konteks agraria melambangkan bahwa feminitas juga mampu maju ke ruang publik dan mengaitkan kepentingan dirinya dengan kawasan yang maskulin sekaligus menentang konstruksi gender tradisional,” ucap Gio.

Sementara itu, Eva Eryani, warga Tamansari, Bandung, mengungkap lika-liku perjuangan warga dalam menegakkan wilayahnya. Menurutnya, berbagai upaya sudah dilakukan, seperti membentuk forum komunikasi guna menjembatani warga dengan pemerintah. Namun, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung enggan berkompromi. Di sisi lain, Pemkot Bandung gencar terhadap masifnya proyek pembangunan rumah deret. 

Selama perjuangan tersebut, Eva menyampaikan adanya campur tangan preman yang intimidatif hingga keberadaan alat berat secara tiba-tiba menyebabkan warga khawatir dan waspada. Hal tersebut membuat warga Tamansari yang didominasi perempuan kian termarginalkan. Puncaknya, penggusuran Desember 2012 silam memicu trauma bagi warga, bahkan berdampak pada perekonomian mereka.

“Mereka (pemerintah) malah menyalahgunakan kekuasaan, hingga korbannya adalah dominan perempuan,” tegasnya.

Selanjutnya, Dewi, warga Wadas menceritakan perlawanan para Wadon Wadas. Wadon Wadas adalah sebutan bagi para perempuan Wadas yang memperjuangkan ruang hidupnya. Mereka melakukan berbagai upaya hukum untuk menjaga hutan hingga menjadi garda terdepan ketika menghadang aparat yang akan melakukan sosialisasi pemasangan patok pada 23 April 2021. Hal tersebut mengakibatkan satu perempuan ditangkap aparat dan mengalami represi. Hingga saat ini, belum ada titik terang yang menyatakan bahwa tambang Wadas dibatalkan.

Namun, para Wadon Wadas bersyukur karena tambang belum benar-benar direalisasikan. Mereka masih bisa menggarap lahan pertanian, menganyam, dan mendapatkan air bersih. “Perempuan menjadi salah satu yang akan merasakan dampak ketika lingkungannya dirusak. Utamanya mengenai pasokan air karena digunakan untuk memasak dan sanitasi,” lanjutnya.

Keberadaan kaum perempuan di tengah mengakarnya patriarki memperberat upaya perlawanan mereka dalam mempertahankan ruang hidupnya. Menurut Gio, mereka harus saling mendengarkan satu sama lain dan meyakinkan diri bahwa mereka tidak berjuang sendirian. 

Hal itu pun dilakukan oleh Wadon Wadas. Dewi mengungkapkan bahwa mereka kerap melakukan mujahadah untuk berdoa sekaligus mempererat solidaritas. “Yang terpenting harus tetap solid, saling menguatkan, tidak bosan berupaya dalam jalur hukum maupun di luar hukum,” pungkas Dewi.

Diskusi ini turut mengundang Shanti, seorang narasumber dari Pancoran, Jakarta. Namun, dikarenakan suatu urgensi, Shanti tidak dapat membersamai dalam agenda diskusi pada Selasa petang itu.

 

 

Penulis: Mei Solikhatul Latifakh [Magang], Dika Rama Prasetyo [Magang]

Reporter: Mei Solikhatul Latifakh [Magang], Dika Rama Prasetyo [Magang], Khairunissa Aura Fatimah [Magang]

Editor: Febi Nur Anggraini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *