Menyingkap Persoalan Transgender serta Feminisme di Indonesia Tengah dan Timur
Kabar Kilas

Menyingkap Persoalan Transgender serta Feminisme di Indonesia Tengah dan Timur

Tangkapan layar diskusi daring Jubaedah dengan tema #TitikTemu: Gerakan Transgender dan Feminis Indonesia Tengah dan Timur, pada Jumat (24/3). [Laely/Magang BP2M]

Jumat (24/3), Forum diskusi Jumat Bareng Berfaedah (Jubaedah) bekerja sama dengan perEMPUan yang tergabung dalam Konsorsium Transformasi serta Jakarta Feminis menyelenggarakan diskusi daring. Diskusi bertema “#TitikTemu: Gerakan Transgender dan Feminis Indonesia Tengah dan Timur” ini dilaksanakan untuk memperingati Hari Solidaritas LGBTIQ Nasional (1/3), Hari Perempuan Internasional (8/3), dan International Transgender Day of Visibility (31/3). Diskusi ini didasari atas minimnya gerakan transgender dan feminis di Indonesia Tengah dan Timur.

Lolitha Marry Perez, aktivis Keberagaman Gender Papua, mengungkapkan bahwa tantangan bagi aktivis transgender di Timur ialah belum adanya tempat yang mewadahi gerakan transgender. “Belum ada kesatuan dalam bentuk sebuah wadah yang menyatukan gerakan transgender di Indonesia bagian timur khususnya di Papua,” ujarnya.

Di sisi lain, Monica Bengu, perwakilan Tenggara Youth Community, mengungkapkan bahwa tantangan aktivis feminis di Indonesia Tengah ialah hilangnya ruang hidup perempuan karena adanya proyek Pembangunan Strategis Nasional (PSN). Monica menambahkan bahwa perempuan  menjadi garda terdepan yang menolak proyek tersebut.

“Di Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri ada tujuh bendungan dan ada juga proyek geothermal yang dibangun di lahan-lahan warga. Hal ini cukup mengkhawatirkan, terutama para perempuan petani, karena lahan-lahan ini,merupakan (tempat) mereka menggantungkan hidupnya,” ungkapnya.

Selanjutnya, Lolitha mengungkapkan, meskipun Indonesia Timur menghadapi isu lain seperti rasisme, tapi untuk gerakan feminis dan transgender masih lebih toleran daripada Indonesia Barat. “Di Indonesia bagian timur, gerakan feminisme dan gerakan transgender ini khususnya di Papua, meskipun kita berhadapan langsung dengan isu rasisme dan lain sebagainya, tetapi kemudian masih lebih ramah dibandingkan wilayah barat,” ujarnya.

Menurut penjelasan Lolitha, gerakan transgender di Indonesia Timur telah mendapat dukungan dari beberapa komunitas lain, seperti Ecofeminism, Isu Perempuan, dan Majelis Rakyat Papua (MRP). Dukungan tersebut berupa pendanaan ataupun penyediaan ruang diskusi.

Sementara untuk gerakan feminisme di Indonesia Tengah, Monica mengaku belum ada hubungan erat antarkomunitas feminis. Dukungan yang diberikan pun masih terkotak-kotakkan oleh isu yang berbeda.

Lolitha berharap gerakan transgender dan gerakan feminis dapat melakukan tindakan yang tepat terhadap isu yang dihadapi. Selain itu, ia juga berharap adanya penyebaran akses informasi yang merata dan cepat agar masyarakat Indonesia Timur lebih mudah dalam mendapatkan informasi.

Di sisi lain, Monica berharap agar gerakan feminis ini memiliki kemampuan untuk menemukan solusi yang komprehensif sehingga gerakan feminis ini dapat bersifat kontekstual.

Di penghujung sesi diskusi Monica berpesan agar para aktivis gerakan feminis tetap bersatu dalam menjalankan aksinya. “Karena untuk bisa melawan isu serta meruntuhkan patriarki dan kapitalisme dibutuhkan satu gerakan dari kubu yang sama dan tidak terpecah belah” pungkasnya.

 

Reporter: Athia Az-zakia Anwar (Magang Bp2m) dan Laely Ghina Aulia (Magang Bp2m)

Editor: Feby Anggraini 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *