Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Tokoh

Kuliah Daring dan Kesehatan Mental

Ilustrasi keluhan kuliah daring. [BP2M/Hasnah]

Pandemi Covid-19 tidak hanya memberikan dampak yang besar terhadap bidang kesehatan dan ekonomi global, namun juga memberikan dampak yang besar di bidang pendidikan. Dilansir dari tempo.co (19/4) bahwa Organisasi Pendidikan, Keilmuwan,dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa atau UNESCO menyebut bahwa hingga 850 juta lebih  siswa di seratus dua negara terganggu kegiatan sekolahnya dan terancamnya hak hak pendidikan mereka di masa depan. Lebih dari 300 ribu sekolah dan 4.504 Universitas (data dari kemdikbud.go.id) yang ada di Indonesia ditutup. Sistem pembelajaran dalam kelas dialihkan dengan sistem daring (dalam jaringan). Pengalihan sistem pembelajaran ini bertujuan untuk menekan penyebaran virus corona.

Perubahan sistem belajar yang mendadak ini ditanggapi dengan beragam oleh mahasiswa. Sebagian mahasiswa menganggap sistem perkuliahan daring yang hampir berjalan selama dua bulan ini  memberatkan mereka. Hal ini memunculkan spekulasi bahwa perkuliahan daring karena pendemi ini berpengaruh buruk terhadap kesehatan mental mereka.

Jadi apakah anggapan para mahasiswa mengenai efek dari kuliah daring ini benar? Untuk menja wab pertanyaan tersebut, di sini kita berbincang dengan ibu Fatma Kusuma Mahanani,S.Psi.,M.Psi., Psikolog dan Dosen Psikologi Unnes.

Tak hanya membahas pertanyaan  tersebut, kita akan membahas efek dari kuliah daring terhadap kesehatan mental serta tips untuk selalu menjaga kesehatan mental kita di tengah pandemi ini.

Bagaimana sebenarnya konsep kesehatan mental itu dan hubungannya dengan kuliah daring?

Menurut ilmu psikologi, kesehatan mental itu suatu kondisi kesejahteraan seseorang yang disadari, yang di dalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres, untuk bekerja secara produktif, menghasilkan dan berperan serta di masyarakat, komunitas maupun lingkungan.

Bisa jadi tiap orang berbeda dalam merespons sesuatu, terutama kuliah daring yang merupakan dampak dari pandemi Covid-19. Jadi, mungkin tekanannya tidak hanya masalah pandemi tapi masalah terkait masalah kesehatan juga.

Banyaknya ditemukan keluhan mahasiswa mengenai kuliah daring yang dianggap memberatkan. Sehingga muncul asumsi bahwa hal itu bisa mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Apakah benar kuliah daring bisa menyebabkan gangguan kesehatan fisik dan mental?

Tentu bisa, tatarannya bisa ringan hingga berat. Yang umum dialami menurut survei-survei yang sudah dilakukan, biasanya mahasiswa itu ketika harus dihadapkan dengan kuliah daring mereka merasa cemas dan stres.

Bagi mahasiswa yang tidak mampu beradaptasi dengan cepat, stresnya berkepanjangan dan bisa jadi menuju ke arah indikasi depresi. Tapi untuk mengetahui seseorang itu depresi atau tidak, harus melalui assessement ke professional (psikolog, psikiater, atau ahli kesehatan lain) jadi kita harus menghindari self diagnose.

Contoh gangguan kesehatan mental akibat kuliah daring, bagaimana gejala dan penjelasannya?

Gejala-gejalanya biasanya akan dimunculkan dari fisik maupun psikologis. Berdasarkan survei yang dilakukan APPI (Asosiasi Psikologi Pendidikan Indonesia), masalah-masalah fisik yang dialami mahasiswa selama kuliah daring antara lain mata lelah, perih, tegang otot, sulit istirahat, nafsu makan terganggu, dan makan juga terlambat. Hal-hal tersebut membuat kondisi fisik tidak nyaman, kondisi tubuh yang tidak fit dan bisa memengaruhi psikologis seseorang.

Masalah psikis yang sering dikeluhkan selama daring, stres banyak tugas, sulit menyesuaikan diri, cognitive overload, tidak berdaya, dan lain sebagainya. Ketika itu bercampur jadi satu, itu membuat tekanan yang sangat besar untuk dihadapi seseorang, sehingga seseorang itu merasa stres, takut, dan cemas.

Kenapa gangguan kesehatan mental di atas bisa terjadi?

Ketika kita menghadapi masa kuliah daring ini yang notabenenya dampak dari pandemi covid, tentu banyak reaksi yang berbeda antar individu satu sama lainnya. Cara meresponnya mungkin berbeda, nah kita perlu belajar.

Ada sedikit kajian yang diterjemahkan oleh Annastasia Ediati, dosen psikologi Undip tentang “Siapakah aku di era covid?” Kita dibagi ke 3 zona: 1. Zona ketakutan 2. Zona belajar 3. Zona bertumbuh.

Kenapa itu bisa terjadi? Gangguan-gangguan mental itu bisa terjadi jika seseorang itu stuck di zona ketakutan. Zona ketakutan itu orang akan sering mengeluh, langsung share info apapun dari medsos, mudah marah, menyebarkan rasa takut dan amarah, dan lain sebagainya.

Kenapa seseorang bisa mengalami gangguan kesehatan mental? Karena dia stuck di zona ketakutan, ia tidak mau beralih ke zona belajar atau bertumbuh. Secara umum sebenarnya jika kita bersama-sama melakukannya, pasti bisa menghadapi ini.

Yang tidak bisa sebenarnya pada orang-orang bawaan tertentu dengan kondisi psikologis bawaan, sehingga gangguan kesehatan mental yang ia hadapi berat. Kalau sejauh ini yang umum dialami adalah stres ringan dan kecemasan.

Respon seperti apa yang akan dialami oleh mahasiswa ketika berada di zona ketakutan dan bagaimana batas wajar dari seseorang yang berada di zona ini?

Contohnya kita kaget seperti “Kok kuliah daring tidak seperti yang kita harapkan ya? Tidak mempermudah malah justru mempersulit, kuota data mahal dan sebagainya.” Sehingga ada meme tentang keluhan kuliah daring dan sebagainya.

Itu tandanya mahasiswa sedang berada dalam zona ketakutan tapi tidak masalah, itu sebenarnya normal, karena semua manusia akan mengalami hal tersebut. Karena ketika kita mengalami hal baru, kita tidak serta merta menerimanya dan  langsung adaptasi. Hanya saja, proses itu kita pelihara terus atau move on ke zona belajar.

Apa indikasi bahwa seorang mahasiswa sudah berada di zona belajar dan bagaimana supaya bisa beranjak dari zona ketakutan ke zona belajar hingga ke zona bertumbuh?

Indikasinya adalah seseorang sudah mulai menyadari situasi dan berpikir untuk bertindak. Lalu menyadari semua pihak telah melakukan yg terbaik, misal “Aduh mahasiswa paling diberatkan dalam urusan ini.” Tapi dalam zona belajar menyadari bahwa semua pihak berusaha melakukan yang terbaik. Jadi selain mahasiswa, dosen pun setiap hari juga harus menentukan materi, metode pembelajaran, dosen juga dihadapkan dengan tanggung jawab di rumahnya. Jadi, semua sebenarnya menghadapi masalah yang sama.

Di zona belajar, masing masing sudah mengerti perannya. Selanjutnya di sini mulai mengenali emosi diri sendiri. Di zona belajar juga mereka sudah mulai menerima kenyataan. Caranya untuk tidak terpengaruh berita-berita atau status teman yang membuat cemas dan berpikir negatif. Pada zona ini juga sudah stop share info dari medsos yang tidak jelas kebenarannya. Kita mulai realistis, ya ini kenyataan yang harus kita hadapi.

Akhirnya seseorang akan masuk ke zona bertumbuh, yaitu mulai memikirkan orang lain dan saling membantu. Lalu berterima kasih dan mengapresiasi orang lain, yang juga sama-sama telah berusaha beradaptasi dengan perubahan yang tidak mudah ini. Mahasiswa bisa mengapresiasi dosen, Tim IT, temannya, dll. Begitu pula sebaliknya, dosen juga sebaiknya mengapresiasi mahasiswanya. Kemudian menjaga emosi agar tetap bahagia dan menyebarkan optimisme. Misalnya, melakukan kegiatan yang membuat pikiran negatif itu hilang dan mencari cara untuk beradaptasi dengan perubahan. Misalnya, barangkali ada dosen yang bisa diajak bekerja sama menentukan metode pembelajaran yang disepakati kedua pihak dan membuat nyaman kedua pihak. Mungkin saja ada dosen yang sulit diajak berkomunikasi. Nah, disitulah zona bertumbuh, mencari cara untuk beradaptasi dengan perubahan.

Kemudian, yang penting tetap mempraktekkan bagaimana tetap sabar, menjalin relasi, dan mengembangkan kreativitas di bawah tekanan seperti ini. Lalu hidup saat ini dan fokus ke masa depan, tidak menyesali masa lalu ataupun terlalu khawatir dengan masa depan. Ya, kita hidup sekarang. Yang kita dihadapi sekarang adalah kuliah daring, karena kondisi tak memungkinkan. Ya kita harus fokus menjalaninya.

Bagaimana tips-tips atau adakah cara pencegahan agar seseorang bisa sehat mental saat menghadapi masa pandemi ini?

Pada zona bertumbuh juga kita harus menumbuhkan kasih sayang pada diri sendiri dan orang lain. Bagaimana menumbuhkan kasih sayang pada diri sendiri? Bagaimana caranya agar kita tidak burnout, capai, lelah menghadapi ini, yaitu dengan menjaga kesehatan fisik/imunitas dengan makan makanan bergizi, dengan melakukan work out atau gerakan-gerakan ringan untuk relaksasi.

Selain itu lakukan aktivitas atau hobi yang menyenangkan di rutinitas sehari-hari. Selanjutnya adalah buat skala prioritas, yang mana yang harus diselesaikan dahulu dan tidak menumpuk semua tugas (prokrastinasi) serta belajarlah secara rutin.

Ada juga tips secara umum yang bisa dilakukan, yaitu saling memberi dukungan dengan menyebar energi positif dan menguatkan bahwa kita tidak sendiri menghadapi kuliah daring ini. Selain itu kita dapat mencari dukungan profesional jika diperlukan, misal psikolog atau psikiater kalau memang perasaan tertekan itu sudah parah. Posting hal positif, menyenangkan, dan memberikan harapan agar kita tidak terlalu dibombardir dengan hal-hal negatif serta gunakan medsos dengan bijak.

Kemudian cobalah untuk berhenti berpikir negatif dan mengurangi membaca berita atau informasi yang membuat kita jadi tertekan, cemas, dan takut. Yakinkan pada diri sendiri maupun orang lain bahwa pandemi ini segera berakhir, sehingga kuliah daring akan segera berganti menjadi kuliah tatap muka. Terakhir, mulailah melatih emosi positif dengan mencari sisi baik dari apa yang dihadapi saat ini serta perbanyak berdoa.

Daftar istilah

  • Burnout: suatu sindrom kelelahan emosional, fisik, dan mental ditunjang oleh perasaan rendahnya self esteem, dan self efficacy, disebabkan penderitaan stres yang intens dan berkepanjangan (Baron dan Greenberg: 1990)
  • Cognitive load dalam proses pembelajaran berarti kemampuan menerima dan mengolah informasi siswa
  • Prokrastinasi: Tindakan mengganti tugas berkepentingan tinggi dengan tugas berkepentingan rendah, sehingga tugas penting pun tertunda.
  • Self Diagnose: mendiagnosis diri sendiri memiliki sebuah gangguan atau penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki diri sendiri.

 

Fatma Kusuma Mahanani,S.Psi.,M.Psi. [BP2M/Galah]
Narasumber : Fatma Kusuma Mahanani,S.Psi.,M.Psi.

Pengalaman :

  • Dosen Psikolog Universitas Negeri Semarang
  • Psikolog Pendamping Program Care Counseling Corner Psikologi Unnes
  • Owner @rumahpsikologi_mahanani
  • Psikolog rekanan @kawandengar
  • Psikolog rekanan rising-life.social
  • Penulis Buku Intervensi Psikologi : Psikoedukasi untuk Intervensi Kelompok
  • External Assesor program Assesment Center Kementrian ESDM

 

Reporter: Alvina Ajeng, Wahidatul Hanifah

Editor: Rona Ayu Meivia

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *