Editorial
Di tengah pagebluk Covid-19 yang semakin tidak jelas penanganannya, pemerintah dan badan legislatif malah menyiapkan ‘pandemi’ lain. Melalui RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law, dalih pemerintah dan badan legislatif dengan menyiapkan undang-undang guna membuka berbagai lapangan kerja baru, sepertinya patut dipertanyakan. Apalagi di tengah lesunya ekonomi dunia akibat pandemi ini.
Proses pembahasan undang-undang terkesan menjauhi publik. Pun dengan minimnya partisipasi publik, undang-undang ini dikebut kurang dari delapan bulan setelah penyerahan draf dari lembaga eksekutif ke lembaga legislatif. Bahkan, draf rancangan undang-undang ini tidak dibuka kepada publik.
Padahal, partisipasi publik telah diatur dalam Bab XI Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa masyarakat boleh memberikan masukan baik secara tertulis maupun lisan, terutama mereka yang memiliki kepentingan atas substandi dari RUU tersebut. Namun, masukan-masukan itu (seolah) tidak pernah didengarkan dan legislatif menutup rapat “telinga” mereka terhadap suara-suara penolakan RUU Omnibus Law.
RUU Omnibus Law bermasalah baik secara proses pembentukan, metode pembentukan, dan substansinya. Secara proses, RUU Omnibus Law dirumuskan secara tidak transparan dan minim partisipasi publik. Bahkan, sejak awal penyusunannya, RUU Omnibus Law dikritisi karena minimnya keterbukaan dan pastisipasi publik.
Padahal, dalam suatu pembentukan produk hukum, pastipasti publik dan aspirasi masyarakat merupakan suatu hal yang penting. Argumentasi tersebut diperkuat oleh laporan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, yang menyatakan bahwa Omnibus Law memiliki karakteristik khusus yang dapat membahayakan demokrasi.
Penerapan konsep ini dapat disusupi oleh banyak kepentingan, oleh karena itu, DPR dan pemerintah harus membuka akses informasi dan melibatkan masyarakat secara luas. Tetapi, hingga disahkannya RUU Omnibus Law, publik dan masyarakat terutama buruh tidak cukup mendapatkan informasi dan terlibat dalam proses pembentukannya.
Publik merupakan subjek dari berlakunya undang-undang yang harus berpartisipasi di dalamnya. Masyarakat harus ikut menentukan arah kebijakan prioritas penyusunan peraturan perundang-undangan, tanpa keterlibatan masyarakat dalam pembentukannya, mustahil sebuah peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterima dan dilaksanakan dengan baik.
Menurut Nonet dan Selznick, pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembentukan produk hukum harus terlihat pada proses pembentukannya yang partisipatif dengan mengundang sebanyakbanyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu atau pun kelompok masyarakat, selain itu juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat.
Penolakan terhadap suatu undang-undang sejatinya tidak akan terjadi apabila aspirasi rakyat terakomodiasi dalam pembentukan. Ketika suatu kebijakan tidak aspiratif, maka dapat muncul kecurigaan mengenai kriteria dalam menentukan siapa mendapat apa. Sebaliknya, proses pengambilan kebijakan yang dilakukan dengan cara terbuka dan didukung dengan informasi yang memadai, akan memberikan kesan bahwa tidak ada sesuatu yang disembunyikan.
Sepintas, Omnibus Law memang baik untuk mengatasi masalah regulasi yang terlalu banyak. Namun tanpa adanya upaya lain, masalah disharmoni, ego sektoral sampai masalah regulasi yang tidak partisipatif, tentu penerapan Omnibus Law pun tidak akan efektif dan menjadi ancaman kemanusiaan dan lingkungan hidup.
Pasal-pasal dalam RUU Omnibus Law–kini telah menjadi UU, kian menjauhi kehendak publik. Berbagai penolakan dari akademisi, tokoh masyarakat adat, hingga rohaniawan telah disuarakan sejak RUU ini mulai dibahas. Gelombang aksi baik secara langsung maupun melalui media sosial pun terus dilakukan. Lagi-lagi hal itu tak membuat pemerintah dan badan legislatif memilih opsi untuk menghentikan -bahkan sekadar menunda pembahasan RUU tersebut.
Alih-alih kebebasan berpendapat, tindakan yang mengarah pada represifitas dan pembungkaman justru nyata terlihat. Banyak masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa dikriminalisasi. Beberapa dari mereka mendapatkan ancaman dari aparat maupun pihak tak dikenal setelah memperjuangkan hak rakyat. Bahkan polisi yang seharusnya menjadi pelindung ketika rakyat menyuarakan pendapat malah mengonter dengan narasi lain.
Semangat desentralisasi yang diusung gerakan reformasi 22 tahun lalu kian rontok akibat pemangkasan berbagai perizinan yang malah mengembalikan wewenang pemerintah daerah ke pemerintah pusat. Sentralisasi ini salah satunya dengan menghilangkan keterlibatan daerah dengan penghapusan komisi penilai amdal. Omnibus Law ini tentunya akan mencederai Reformasi yang hari ini sedang dikorupsi elit politik dan oligarki.
Keresahan-keresahan ini tentu bukan milik kaum kerah biru atau mahasiswa saja. Semua elemen masyarakat harus resah akan kebijakan yang tidak prorakyat.
Hari ini kita pantas untuk melawan ketidakadilan dan melawan pembuatan produk hukum yang tidak sesuai kehendak masyarakat. Produk hukum itu untuk masyarakat dan bukan sebaliknya: masyarakat untuk produk hukum. Mari melawan, karena secara banal dan terang-terangan penguasa merampok rumah dan tanah air kita.
Salam,
Redaksi.