LINIKAMPUS Blog Ulasan Opini Pasang Surut Menuntut Kebijakan UKT di Masa Pandemi
Editorial Opini

Pasang Surut Menuntut Kebijakan UKT di Masa Pandemi

ilustrasi editorial ukt

Ilustrasi Pasang Surut Menuntut Kebijakan UKT di Masa Pandemi [Dok. BP2M/Hasnah]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

Menuju perkuliahan semester genap, bukan barang baru setiap mahasiswa diwajibkan membayar UKT. Namun, kebijakan pembayaran UKT kali ini tak jauh berbeda dari semester sebelumnya, meski kondisi ekonomi keluarga mahasiswa sebagian besar belum pulih akibat pandemi Covid-19.  

Melalui Surat Edaran Nomor B/754/UN37/KU/2021 yang terbit pada 2 Februari lalu, Unnes mengeluarkan sejumlah kebijakan di antaranya yaitu pengurangan UKT, perubahan kelompok UKT, dan pembayaran UKT secara mengangsur. Kebijakan ini tak jauh berbeda dari kebijakan sebelumnya, hanya menghilangkan poin kebijakan perpanjangan masa studi satu semester dan pembebasan UKT bagi mahasiswa yang hanya menyisakan skripsi.

Berangkat dari kebijakan sebelumnya, mahasiswa menilai kebijakan ini tidak mengakomodasi tuntutan yang ada. Masih belum lama dari ingatan, kita kembali pada awal Juni lalu, sejumlah mahasiswa atas nama Aliansi Mahasiswa Unnes (AMU) melakukan aksi menuntut keringanan UKT dan transparansi pengelolaan keuangan kampus.

Aksi ini tentunya bukan kali pertama mahasiswa Unnes melakukan gugatan terhadap pihak birokrat menyoal kebijakan UKT di masa pandemi. Sebelumnya juga telah dilakukan beberapa kali audiensi dan aksi yang digencarkan melalui media sosial. Namun, lagi-lagi aksi semacam ini hanya menjadi ritus semata dan pihak kampus tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

Belum lama ini, perwakilan mahasiswa dari BEM KM Unnes dan fakultas menggelar audiensi bersama pihak birokrat. Berbekal kajian dan data yang dibuat mepet audiensi, mahasiswa percaya diri menyampaikan tuntutannya kembali. Tidakkah pergerakan sebelumnya, membuat mereka cukup menyadari bahwa apa yang dilakukannya saat ini tak jauh berbeda dari masa kepengurusan sebelumnya. Justru, tahun ini malah lebih buruk. Pergerakan mahasiswa tidak terwadahi dengan baik.

BEM KM maupun BEM Fakultas dirasa gagal dalam menggaet suara publik agar bersama-sama menyuarakan gugatan dan membuktikan perjuangan ini tidak hanya milik golongan tertentu saja. Pemberitahuan kepada publik akan diadakannya audiensi kemarin, pun terkesan mendadak sehingga dalam audiensi hanya dihadiri segelintir orang. Belum lagi audiensi kemarin dibatasi oleh pihak kampus yang memegang akses penuh untuk mengizinkan siapa saja yang boleh masuk ke dalam forum. Akibatnya, mahasiswa tak bisa berbuat banyak.

Dalam audiensi kemarin, mahasiswa menuntut kampus untuk memberikan keringanan UKT semester genap sebesar 50% terhadap seluruh mahasiswa. Sayangnya, audiensi kemarin tidak bersambut oleh pihak keuangan Unnes, sehingga audiensi tak lebih dari forum silaturahmi dan berakhir tanpa solusi.

Selang beberapa hari usai audiensi, kampus akhirnya mengeluarkan kebijakan UKT semester genap. Namun, di dalamnya tidak memuat apa-apa yang telah disampaikan mahasiswa selama audiensi. Hal ini tentu mematahkan anggapan Wahyu Suryono selaku Presiden Mahasiswa BEM KM Unnes yang mengganggap audiensi kemarin menjadi sebuah kabar baik karena pihak birokrat, melalui Abdurrahman mengatakan kampus belum menentukan sistem pembayaran UKT. Sehingga, melalui audiensi kemarin Wahyu terlanjur berharap pihak kampus akan menampung aspirasi dari mahasiswa. Dengan munculnya surat edaran tertanggal 2 Februari itu tak pelak menjadi pukulan bagi mahasiswa sekaligus menyadarkan bahwa BEM terlambat membaca situsi saat itu.

Yang paling buruk, mengetahui ternyata usai diterbitkannya surat edaran yang memuat tiga kebijakan itu, Ormawa tak lebih dari kepanjangan tangan dari birokrat dengan turut menyebarluaskan surat edaran terkait kebijakan UKT di masing-masing media sosial. Sampai di sini, apakah bisa dikatakan mahasiswa sudah tunduk pada birokrasi kampus dan mencederai tuntutan yang diperjuangkan?

Begitupun dengan pihak kampus yang seolah-olah menutup mata dan telinga, bahkan hati nurani mereka. Dari beberapa kali audiensi, kampus urung menyambut tuntutan mahasiswa. Mereka tetap bersikukuh mengandalkan kebijakan dari pusat dan mengabaikan aspirasi dari mahasiswa. Bahkan, PR lama yang menjadi tuntutan mahasiswa yakni transparansi keuangan kampus, hingga kini masih belum menemukan titik terang. Padahal, dalam lembaga negara yang berstatus badan layanan umum (BLU), transparansi harus dilakukan karena menyangkut penggunaan dana publik sesuai prinsip pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU) dalam UU 1 Tahun 2004 yang bertujuan untuk kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Mengutip survei yang dihimpun Litbang BP2M Unnes terhadap 438 responden yang tersebar di 8 fakultas Unnes menyatakan adanya penurunan penghasilan orang tua responden. Dari analisis data, didapatkan kesimpulan bahwa selama pandemi, dari range penghasilan yang telah ada, penghasilan orang tua responden rata-rata menurun ke satu tingkat di bawahnya. Sedangkan untuk yang tidak berpenghasilan selama pandemi justru bertambah sebesar 3%. Melihat data ini, sudah selayaknya kampus memberikan kebijakan yang berpihak pada kondisi mahasiswa–tanpa tebang pilih memberlakukan kebijakan yang bersyarat.

Di samping itu, kemunculan seruan-seruan mahasiswa sebenarnya tak lebih dari ungkapan kekecewaan atas sikap kampus yang memilih tertutup terkait pengelolaan keuangan, terlebih di masa pandemi. Jika kampus mau sedikit terbuka, tentu akan sedikit menjawab keresahan mahasiswa. Bukan malah menjawabnya dengan bercandaan seperti yang dilakukan oleh Wakil Rektor IV, Hendi Pratama melalui Instastory akun Instagram miliknya ketika menanggapi salah satu pertanyaan yang berbunyi “mengapa ukt ga di kurangi nominalnya pak? padahal kita ga sepenuhnya menikmati fasilitas kampus”.

Hendi lantas menanggapi pertanyaan tersebut dengan jawaban, “Karena pengeluaran untuk pembiayaan server bertambah. Semua tugas video dll butuh tempat penyimpanan. Karena tunjangan dosen dan tendik perlu dibayar juga. Karena sudah ada keringanan bagi yang skripsi dan yang membutuhkan,” dan yang paling konyol adalah jawaban terakhirnya “Karena ijazah kalian nanti satu lembar utuh. Tidak diperkecil karena bayarnya dipotong”.

Tentu Hendi sebagai WR IV menganggap ini sebuah guyonan dan ia tak lebih dari pihak yang tak memiliki kapabilitas penuh untuk membicarakan perihal keuangan Unnes. Namun, tindakan yang dilakukannya cukup menjadi pengingat “bahwa mahasiswa tidak butuh kata-kata saja, melainkan membutuhkan data pasti terkait pengelolaan keuangan kampus”.

Bagi segelintir mahasiswa yang tidak memiliki banyak pilihan, dan keadaan yang sama sekali tidak menguntungkan–ekonomi keluarga yang belum lekas membaik begitu juga suasana perkuliahan yang hanya “baik pak, baik bu”, membuat pilihan cuti akademik menjadi sesuatu yang paling memungkinkan.

Suara-suara mahasiswa pun tak lagi memiliki amplifikator yang memadai, karena strategi kampanye sendiri tidak ada perbaikan dari upaya semester lalu–bahkan lebih buruk. Belum lagi, kampus yang selama ini mengibaratkan hubungannya dengan mahasiswa sebagai orang tua dan anak, tidak mau lagi mendengar suara-suara anaknya. Kita hanya bisa sabar dan doa, seperti ucapan Rektor Unnes, Fathur Rokhman 4 Mei 2020 lalu.

 

Salam,

Redaksi

Exit mobile version