LINIKAMPUS Blog Kabar Utama Sebelas Tahun Unnes Konservasi: Realitas Sosial dan Harapan
Beranda Kabar Utama

Sebelas Tahun Unnes Konservasi: Realitas Sosial dan Harapan

ilustrasi 11 tahun konservasi

Ilustrasi Sebelas Tahun Unnes Konservasi: Realitas Sosial dan Harapan. [BP2M/Febi]

Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi

Tepat 12 Maret lalu, Universitas Negeri Semarang (Unnes) menginjakkan usianya yang ke-11 tahun sebagai universitas konservasi. Pada tahun 2009, untuk mendukung visi tersebut, maka dibentuklah tim konservasi yang diprakarsai oleh Sudijono Sastroatmodjo, selaku Rektor Unnes saat itu.

Kepala UPT (Unit Pelaksana Teknis) Pengembang Konservasi Amin Retnoningsih menyampaikan, seiring berjalannya waktu, tim konservasi kemudian mengalami perubahan menjadi UPT Pengembang Konservasi, dengan tiga pilar utama yakni nilai dan karakter, seni dan budaya, serta sumber daya alam dan lingkungan.

“Pilar pertama ini berada dalam wewenang kemahasiswaan. Adapun untuk pelaksanaan pilar kedua, yaitu seni dan budaya, masih belum dapat terealisasi dengan baik. Sedangkan untuk pilar ketiga, sumber daya alam dan lingkungan menjadi tanggung jawab UPT Pengembang Konservasi,” kata Amin dalam diskusi 11 Tahun Unnes Kampus Konservasi: Sejauh Mana dan Bagaimana Realitasnya? (12/03).

Konservasi Hari Ini

Dari ketiga pilar yang disampaikan, Amin menyebut sumber daya alam dan lingkungan menjadi pilar prioritas bagi UPT Pengembang Konservasi. Ia mengatakan, pihaknya selama ini telah memberikan upaya yang maksimal dalam mewujudkan Unnes sebagai kampus berwawasan konservasi dan turut menyumbang keberhasilan lewat indikator UI Green Metric.

“Ranking Unnes sampai saat ini selalu ada di sepuluh besar untuk di Indonesia, sedangkan untuk tingkat internasional, Unnes ada di peringkat ke-66,” imbuhnya.

Berdasarkan informasi dari greenmetric.ui.ac.id kategori dan bobot yang digunakan oleh UI Green Metric setidaknya mengacu pada enam kategori. Keenam kategori tersebut di antaranya penataan dan infrastruktur, energi dan perubahan iklim, limbah, air, transportasi, serta pendidikan dan pelatihan dengan per kategori kemudian dikelompokkan menjadi beberapa indikator spesifik dan memiliki bobot poin tersendiri.

Pada tingkat internasional, di tahun 2020 Unnes tercatat mengalami peningkatan dari peringkat ke-71 menjadi 66. Sedangkan untuk tingkat Indonesia, peringkatnya tetap berada di posisi keenam.

Di balik pencapaian tersebut, Dosen Teknik Sipil Unnes Saratri Wilonoyudho tetap mengharapkan agar setiap individu memahami konservasi tidak hanya berkaitan dengan penghijauan dan hal-hal administratif lainnya. Melainkan, juga mengenai mental dan karakter tiap-tiap individu yang harus segera mendapatkan perhatian khusus.

“Mental konservasi adalah suatu mental yang selalu mengedepankan sikap, ucapan, dan tindakan yang berwawasan konservasi. Minimal ia tidak merusak lingkungan. Syukur ia dapat menularkan,” ujarnya. Saratri juga mengatakan, apabila Unnes gagal dalam membentuk mental konservasi, justru nantinya akan menghambat setiap program dan kebijakan yang diluncurkan oleh pihak seperti UPT Pengembang Konservasi.

Peran dan Hambatan Unnes sebagai Kampus Konservasi

Menurut Saratri, sebagai kampus konservasi, Unnes perlu secara kelembagaan turut mengomentari atau pun mendorong pemerintah untuk menjaga lingkungan.

“Karena suara-suara perguruan tinggi nantinya dapat menjadi pertimbangan. Selama ini yang sering bersuara hanyalah secara individual. Tapi secara kelembagaan, Unnes juga perlu menyuarakan,” ujarnya.

Melansir Linikampus.com, di tahun 2017 Sedulur Kendeng bersama Aliansi Mahasiswa Unnes Peduli Konservasi pernah menuntut jargon “konservasi” Unnes agar benar-benar direalisasikan. Mereka berharap, Unnes turut berpartisipasi dalam kasus penambangan dan pendirian pabrik semen di wilayah Pegunungan Kendeng.

Fathur Rokhman yang saat itu menjabat sebagai Rektor Unnes mengatakan bahwa konservasi yang ada di Unnes masih sebatas dibudidayakan dalam lingkungan kampus. Namun, pihaknya akan mencoba untuk ikut andil dengan cara mengirimkan tenaga ahli untuk penelitian di sana serta adanya pengabdian masyarakat bagi mahasiswa yang akan terjun ke sana. Meskipun demikian, sejauh ini belum pernah terdengar Unnes telah melaksanakan janjinya tersebut. Dalam diskusi, pun Amin juga menyampaikan bahwasannya konservasi Unnes saat ini masih berfokus dalam lingkungan kampus.

Jika menilik Rencana Induk Pengembangan Universitas Negeri Semarang tahun 2016 hingga 2040, pentahapan indikator yang ditargetkan dicapai oleh Unnes dalam jangka 2016 hingga 2020 sebatas institusi mandiri bereputasi regional ASEAN berwawasan konservasi. Apabila dijabarkan, indikator wawasan konservasi ini meliputi kampus berperadaban unggul dengan melestarikan, mengkaji, dan menerapkan nilai konservasi di lingkungan Unnes, serta kampus berbudaya luhur dengan melestarikan, mengkaji, dan mengimplementasikan karya seni budaya dan olahraga lokal.

Selain keterbatasan sumber daya manusia, Amin mengatakan kendala lain yang ditengarai menghambat ruang gerak UPT Pengembang Konservasi berkaitan dengan status Unnes yang masih Perguruan Tinggi Negeri di bawah Badan Layanan Umum (PTN BLU).

Ia juga menyampaikan, dari segi otonom kampus, PTN BLU ini tidak memiliki wewenang untuk menetapkan, mengangkat, membina, dan memberhentikan program atau lembaga yang ada di dalamnya. Menurutnya, apabila status PTN BLU menjadi Perguruan Tinggi yang Berbadan Hukum (PTN BH) akan memberikan angin segar dalam peningkatan kinerja UPT Pengembang Konservasi.

Tata Ruang Kampus Unnes yang Dinilai Kacau

Rizki Riyansyah selaku Staf Kementerian Lingkungan Hidup BEM KM Unnes dalam diskusi juga turut menyinggung soal realita di sekitar kampus. Ia menyoroti beberapa hal yang perlu dijadikan perhatian kampus. Salah satunya mengenai tata ruang pembangunan kampus Unnes yang dinilai kacau. Menurutnya, hal ini memberikan dampak pada hilangnya daerah resapan air yang semestinya berfungsi dalam siklus hidrologi.

“Jadi ketika Unnes didirikan, banyak dampak yang diakibatkan dalam pembangunan. Dengan luas Unnes yang sekitar 144 hektar, banyak sekali perubahan peradaban yang terjadi seperti pembangunan kos, serta tanaman dan hutan yang ditebangi guna mewujudkan pembangunan,” ujarnya. Ia kemudian menambahkan dampak bencana seperti banjir dan krisis air pada musim kemarau yang membayang-bayangi kampus dan masyarakatnya.

Menurut Saratri, tata ruang di Unnes memang kacau dan sangat tidak beraturan. Ia menambahkan beberapa contoh konkret seperti tata ruang pembangunan kos yang terlalu berhimpitan, dekat dengan tempat pembuangan, dan jalan yang terlalu sempit. Lebih lanjut, ia menilai bahwa permasalahan ini tidak hanya memiliki dampak fisik saja, melainkan dampak sosial juga akan turut dirasakan masyarakat setempat.

Adapun salah satu dampak yang ia contohkan, misalnya adalah kesulitan dalam menangani keadaan darurat yang berbahaya seperti kebakaran. Kondisi tata ruang bangunan yang letaknya berhimpitan dan jalan yang tak lebar akan menghambat pemadam kebakaran untuk segera memasuki lokasi. Di sisi lain, ia juga menyayangkan sikap pemerintah terhadap pelanggaran tata ruang, baik yang terjadi di Semarang, maupun di luar daerah Semarang.

“Selama ini, rencana tata ruang sering dilanggar, sedangkan pemerintah tidak banyak berbicara. Pemerintah juga tidak bisa mengontrol pelanggaran ini dengan tegas,” ujarnya. Selain itu, ia memberikan solusi berkaitan dengan permasalahan ini, yaitu dengan mengadakan sosialisasi kepada masyarakat di sekitar Unnes mengenai ciri dan syarat tata ruang yang sehat. Ia juga menambahkan mengenai pentingnya analisis dampak lingkungan sebelum melakukan aktivitas pembangunan.

Sejumlah Upaya

Setelah berupaya memaksimalkan kinerja program yang sudah ada, Amin Retnoningsih menuturkan bahwa UPT Pengembang Konservasi juga turut berupaya memberikan pengabdian yang ditujukan pada masyarakat lokal di sekitar kampus. Salah satu wujud pengabdian tersebut  berkaitan dengan pengolahan sampah.

“Tahun ini saya akan mencoba pengabdian ke masyarakat sekitar untuk memberdayakan mereka untuk memahami pengelolaan sampah. Mulai dari pemilahan sampah, sampai nanti pada mengubahnya menjadi eco enzyme yang dapat dijual beli untuk keperluan membuat kompos. Harapannya masyarakat sekitar juga mendapatkan nilai tambah,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Ardhiatama Purnama, Menteri Lingkungan Hidup BEM KM Unnes menuturkan bahwa BEM KM Unnes merespons positif ajakan Amin Retnoningsih untuk bersama-sama meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Unnes sebagai kampus yang berwawasan konservasi.

Bahkan, ia menambahkan informasi bahwa BEM KM Unnes menyalurkan kepeduliannya terhadap permasalahan lingkungan hidup melalui penyelenggaraan Kelas Ekologi-Politik. Dalam narasinya, ia mengatakan kehadiran kelas ini ditujukan kepada para mahasiswa Unnes yang memiliki komitmen tinggi untuk belajar dan mengenal proses ekonomi politik yang dipengaruhi oleh keadaan ekologis.

Di samping itu, Amin mengatakan bahwa pengabdian masyarakat Unnes kepada lingkungan di bidang penelitian dinilai masih kurang. Adapun beberapa alasan yang ia duga di antaranya seperti kurangnya minat mahasiswa untuk melakukan penelitian di bidang tersebut dan kecilnya pendanaan atau fasilitas untuk melakukan penelitian.

Ia kemudian mengajak masyarakat Unnes untuk bersama-sama memperjuangkan perwujudan Unnes Konservasi yang lebih nyata. “Jika banyak individu-individu atau kelompok-kelompok pengabdi baik itu dosen atau mahasiswa, saya kira itu akan lebih nyata dalam mewujudkan peran akademisi Unnes terhadap lingkungan,” katanya.

 

Reporter: Silviana

Editor: Niamah

Exit mobile version