Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Jepret Tokoh

Menilik Kebebasan Akademik dari Kacamata Hukum

Ilustrasi Menilik Kebebasan Akademik dari Kacamata Hukum (BP2M/Suci)
Ilustrasi Menilik Kebebasan Akademik dari Kacamata Hukum (BP2M/Suci)

Kebebasan akademik menjadi salah satu isu yang sedang hangat diperbincangkan. Hal ini menjadi ramai ketika aksi kritik melalui media sosial terhadap kinerja pemerintah oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari beberapa kampus seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Negeri Semarang mendapat respons berupa pendisiplinan oleh pihak kampus. Ditambah dengan aksi peretasan akun WhatsApp Leon Alvinda Putra selaku ketua BEM UI dan akun Instagram resmi BEM UI serta Unnes.

Upaya pendisiplinan dan peretasan termasuk salah satu tindak pembungkaman atas pemikiran intelektual mahasiswa. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28F yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Berdasarkan pasal tersebut seluruh masyarakat Indonesia berhak mengembangkan diri melalui media apapun. Dalam hal ini, kritik yang dilontarkan mahasiswa juga merupakan bentuk pengembangan diri melalui pemikiran serta bentuk representasi dari kebebasan akademik. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang situasi kebebasan akademik saat ini beserta perspektif hukum dalam kebebasan akademik, berikut cuplikan wawancara Linikampus dengan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Dhia Al Uyun, SH., MH. pada Rabu (28/07/2021).

Bagaimana pandangan Ibu Dhia selaku dosen Fakultas Hukum dan bagian dari KIKA mengenai kebebasan akademik yang terjadi baru-baru ini?

Saat ini kebebasan akademik terancam. Tindakan represi yang dilakukan aparat membabi buta, berdampak pada pihak-pihak yang tidak terkait. Upaya pendisiplinan, buzzer, dan doxing terjadi dari setiap ujaran yang berbeda dari kemauan pemerintah.

Apakah ada undang-undang atau peraturan hukum tertulis yang merumuskan adanya kebebasan akademik?

Kebebasan akademik jelas dijamin oleh konstitusi. Kebebasan akademik bagian dari kebebasan berpendapat, maka hal itu mengacu pada pasal 28F Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu kebebasan akademik juga dijamin oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.

Apa saja bentuk-bentuk kebebasan akademik yang berhak dilakukan oleh akademisi?

Prinsip dasar kebebasan akademik telah disebutkan dalam Surabaya Principle Academics Freedom 2017. Ada lima prinsip yang disebutkan yaitu :

  1. Sifat dari kebebasan akademik adalah fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik.
  2. Insan akademis adalah orang yang melakukan aktivitas di ranah akademik, memiliki kebebasan dalam mengembangkan pengabdian  masyarakat, pendidikan, penelitian, serta mempublikasikan hasil-hasilnya sesuai dengan kaidah keilmuan.
  3. Insan akademis yang bekerja sebagai pengajar dalam dunia pendidikan memiliki kebebasan di dalam kelas untuk mendiskusikan mata kuliah dengan mempertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
  4. Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan.
  5. Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melidungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik.

Akademisi memegang marwah keilmuan dan bertugas untuk menjaganya. Akademisi yang terbentuk seharusnya adalah akademisi organik, bukan kelas kambing—yang mengiyakan saja segala sesuatu.

Bagaimana pandangan Ibu mengenai beberapa kritik kebijakan pemerintah yang dilakukan oleh rekan-rekan mahasiswa baru-baru ini?

Kritik kebijakan yang disampaikan oleh rekan-rekan mahasiswa sudah benar. Mereka melakukan analisis content untuk sampai pada kesimpulan perilaku subjek yang dikritik. Bentuk kritik yang diberikan juga kreatif, ekspresif, dan membangun. Mereka menggunakan data sekunder dalam analisisnya, dengan pendekatan sosiologis. Mereka juga menerapkan kolaborasi akal sehat dan nurani.

Jika dilihat dari pandangan hukum, bagaimana seharusnya tanggapan terhadap kritik-kritik tersebut?

Sama seperti jawaban pada pertanyaan sebelumnya, kritik yang dilontarkan itu sudah baik dan benar. Kata “tanggapan seharusnya” itu tidak perlu dikatakan karena klaim tersebut sama dengan menyalahkan analisis mereka dan melegalkan bahwa hanya terdapat satu kebenaran dalam ilmu. Padahal nyatanya ilmu itu relatif dan bisa diperdebatkan.

Terkait adanya represi yang dilakukan dari pihak kampus atas tindak kritik dari BEM Unnes maupun UI kepada pemerintah, apakah kritik mereka itu tidak patut dibenarkan?

Pembungkaman kebebasan akademik, dimulai dari adanya upaya pendisiplinan. Orang yang melanggar etika akademik tidak selayaknya berbicara mengenai etika. Mestinya para pejabat kampus punya rasa malu. Institusi mestinya bangga punya mahasiswa-mahasiswa yang berpikir jernih untuk kebaikan negeri. Para mahasiswa punya dasar dalam mengkritik. Jika dikritik marah-marah, bukan kritikanya yang salah, namun cara berpikirnya yang masih feodal.

Batasan-batasan kritik seperti apa yang dimaksud oleh para elit akademisi atau pemerintah?

Tidak ada batasan, tetapi memang tidak setiap orang siap untuk dikritik. Budaya kampus kita masih feodal, belum lagi kewanangan yang diberikan oleh Undang-Undang (UU) cukup besar. Adigang adigungnya penguasa atau struktural kampus merupakan sikap kerakusan dan ketamakan atas kewenangan yang ada. Penguasa yang tidak mau belajar dan tidak mau dikritik mungkin merasakan penghakiman. Padahal kritik adalah bentuk perhatian, kepedulian, dan cara berpikir yang berbeda.

Dengan adanya represi yang diterima oleh mahasiswa dari elit kampus, apakah memang saat ini negara atau pemerintah kita sudah tidak lagi mempertimbangkan kritik mahasiswa yang notabene berasal dari ranah akademisi?

Sebenarnya kritik yang disampaikan didengar oleh elit penguasa, tetapi seperti masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Daripada bekerja keras untuk mengevaluasi diri, mereka memilih pikiran praktis yaitu dengan menghabisi orang yang menyampaikan kritik agar terkesan tidak ada kritik. Hal ini merupakan representasi dan paham Machiavelli dimana negara harus membuat rakyat takut atau bertindak pintar tetapi licik seperti rubah.

Jika sebagai akademisi kita mengalami represi dalam hal penyampaian kritik, apakah dapat diselesaikan melalui jalur hukum? Lantas jalur hukum seperti apa yang dapat ditempuh?

Jika mendapat serangan represi sangat memungkinkan untuk ditempuhnya jalur hukum. Jalur yang ditempuh bisa melalui jalur pidana, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), perdata, atau const. review. Hal-hal penting yang harus dilakukan bila terjadi kasus tersebut adalah memastikan kita mendokumentasikan dan menyimpan semua bukti yang ada, berjejaring dan berbagi risiko dengan rekan-rekan mahasiswa lainya, berhati-hati dalam menggunakan sosial media, membangun komunikasi dengan aparat penegak hukum, serta mengawal proses hukum yang berlangsung.

Menurut Ibu, bagaimana seharusnya kampus bertindak dalam mendukung kebebasan akademik?

Sebagai institusi pendidikan, kampus harus memberikan ruang kebebasan yang mengarah pada pengembangan potensi, keterampilan, atau bahkan alternatif untuk menemukan solusi dari situasi yang ada. Kampus kadang lupa tradisi rutin yang mereka lakukan berujung pada tertutupnya cara pandang terhadap sesuatu yang berbeda. Padahal, orang-orang yang berada di luar lingkaran kampus terkadang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang di dalam lingkaran kampus.

Apakah ada hambatan-hambatan bagi akademisi untuk mewujudkan adanya kebebasan akademik?

Kebebasan akademik masa ini tentunya mengalami beberapa hambatan seperti, intervensi pada otonomi kampus, relasi kampus dengan penguasa, penurunan derajat keilmuan dengan adanya Kampus Merdeka, dan sikap mental feodal yang turun temurun di kampus.

Apa yang perlu dilakukan ketika mahasiswa mendapatkan ancaman atau represi? Bagaimana jika pihak represi berasal dari pihak kampus itu sendiri?

Jika mendapat ancaman represi, jangan diam. Dokumentasikan segala hal yang memungkinkan menjadi barang bukti, perhitungkan setiap risiko yang ada, dan jangan lupa untuk terus berjejaring.

 

Ilustrasi Dr. Dhia Al Uyun, SH., MH. (BP2M/Tria)
Ilustrasi Dr. Dhia Al Uyun, SH., MH. (BP2M/Tria)

Narasumber: Dr. Dhia Al Uyun, SH., MH.

 Pengalaman:

  • Dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur
  • Anggota Kaukus Indonesia Untuk Kebijakan Akademik (KIKA)
  • Penulis buku Ilmu Negara (Berjalan dalam Dunia Abstrak) tahun 2012 bersama Dr. Isrok, S.H., M.S.
  • Fokus terhadap hukum tata negara, hak asasi manusia, dan hak perempuan serta minoritas
  • Penulis jurnal nasional SIC ET NON: Kebebasan dan Pembatasan Hak Kemudahan dan Perlakuan Khusus. Yuridika.Vol. 31/No. 1/2016. 

 

Reporter: Asyifa & Izzata 

Editor : Hani

 

 

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *