Oleh: Leni Septiani*
Bisikan di Telinga
Carut marut isi kepala berteriak
Mendengking riuh di tepi singgasana
Bisikan-bisikan itu nyata
Namun nyatanya memang fana
Bisikan itu kian keras
Menuntunku dalam gelapnya sisi kehidupan yang nestapa
Bisikan itu kian riuh
Menyuruhku untuk melangkah dan terjun dari jendela rumah
Tolong, aku kalut
Bisikan itu kian menghujam
“Dasar bedebah tak berguna! Mati saja kau!”
“Cepat lompat, atau tubuhmu kusikat!”
Air mataku tumpah
Bisikan ini kian menggila
Mana yang realita?
Mana yang fana?
“Cepat lari, Bodoh!”
Persetan dengan khayal!
Aku mengikuti bisikan di telinga
Berlari hendak lompat, sebelum pintu digebrak dan manusia-manusia terperanjat
Tegal, 15 Oktober 2021
Ibu Rindu
Sendu menggelayut di pupil mataku
Sendu yang membawaku pada kata merindu
“Jangan sedih, Nak.”
Aku terperanjat
Ibu?
Namun tidak, itu hanya imaji
Imaji yang kubuat sendiri dalam sepi
Imaji yang hadir hanya karena rasa tak terima pada garisan takdir
Seratus hari sudah air mata ini bergelambir
Meratap dan mengutuki takdir yang sama sekali tak berpikir
Ini memang semu
Namun siapa perlu tahu?
“Ibu rindu.”
Logikaku kian tertindas
Mendengar bisikan yang kian keras
Dan ketidakjelasan yang tampak kian jelas
Tegal, 15 Oktober 2021
Orang Menyebutku Gila
Ragaku dipasung
Jiwaku termenung berkabung
Namun siapa yang untung?
Dasar durjana buntung
Kewarasanku menghilang
Kian terkikis oleh imaji semu yang tampak nyata
Ini fana
Namun entahlah
“Dasar tidak berguna!”
Mati saja aku, mati!
Agar pasung ini kian lengang
Aku ingin pergi
Tapi aku ragu
Khayalku pun penuh rayu
Di luar ramai orang
Dan orang menyebutku gila
Tegal, 15 Oktober 2021
Untuk para penyandang skizofrenia.
*Mahasiswi Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes 2021