KabarUtama

Kisah Wani, Korban Human Trafficking: Sampai Pengadilan Kuperjuangkan Nasibku

Tak pernah terbayang dalam benak Wani, jika tiba-tiba harus diperdaya sebagai pekerja, menjadi korban perdagangan orang. Berbekal semangat untuk menyelamatkan ekonomi keluarga, Wani yang diperdaya oleh perusahaan dan mendapatkan kekerasan di dunia kerja, bertekad menuntaskan kasusnya. Sampai pengadilan, ia memperjuangkannya. 

Wani (bukan nama sebenarnya) tak pernah membayangkan bahwa kali keduanya bekerja di luar negeri akan berakhir nahas. Beban kerja yang tinggi, upah yang dipotong dengan alasan-alasan yang tidak masuk akal, ketidaksesuaian kontrak, waktu kerja yang melebihi batas perjanjian, dan jatah makan yang sering kali tidak didapatkan, menjadi beberapa pengalaman buruk yang didapatkan Wani selama 8 bulan bekerja sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI) di Malaysia. Wani bersama PMI lainnya dari Indonesia memiliki nasib yang sama, bekerja di bawah tekanan tinggi dengan gaji yang tidak sesuai dengan perjanjian.

Ketika itu usia Wani 23 tahun, lulusan dari salah satu Sekolah Menengah Kejuruan/ SMK di Kendal. Wani kemudian memutuskan menjadi PMI. Desakan ekonomi membuat Wani memilih menjadi PMI yang dipekerjakan di manapun. Tidak memilih-milih tempat dan dengan siapa ia akan bekerja, yang penting cepat dapat kerja. Tak ada alasan khusus mengapa Wani kemudian memilih bekerja di bidang kosmetik. Lewat PT. Sofia Sukses Sejati–sebagai perusahaan penyalur PMI–Wani akhirnya mendapatkan pekerjaan di Malaysia.

“Sebenarnya tidak ada alasan, lebih ke cari uang, Mbak. Cuma pas (waktu) itu adanya lowongan di kosmetik itu (perusahaan yang ditawarkan PT Sofia Sukses Sejati),” kata Wani.

Awalnya Wani dijanjikan akan bekerja di perusahaan kosmetik bernama PT. Kiss Produce Food Trading. Namun, sesampainya di sana, ia malah ditempatkan di Maxim Birdnest Sdn. Bhd. yang bergerak di bidang ternak, tepatnya ternak burung walet. Wani dan kawan-kawannya bekerja mencabuti sarang burung walet. Mereka diharuskan bekerja selama delapan jam per hari dan lembur wajib selama dua jam per hari, jadi totalnya, dalam sehari ia bisa bekerja selama 10 jam. Sayangnya, kesepakatan jam kerja tersebut tidak ditepati oleh perusahaan. Selain itu, upah lembur tidak dibayar sesuai lama bekerja. Kira-kira hanya dua jam wajib saja yang dibayar, namun sisanya tidak dibayarkan. Padahal Wani bekerja mulai pukul setengah delapan sampai setengah tujuh sore atau selama 11,5 jam perharinya. Perusahaan hanya menghitung gaji sesuai jam kerja selama delapan jam dan ditambah dua jam lembur wajib. Tidak hanya itu, di hari Minggu, Wani harus tetap bekerja jika pekerjaan-pekerjaan di hari-hari sebelumnya belum selesai. Tentunya lembur di hari Minggu tidak dibayar sepeser pun.

“Kadang kalau kerjaan kita hari Sabtu belum kelar, hari Minggu kita harus menyelesaikan. Itu juga gak dibayar lembur, cuma-cuma,” kata Wani.

Gaji yang dijanjikan sebesar RM900 (pada 2016 sekitar Rp2.700.000,00), tetapi pada dua bulan pertama hanya mendapat RM400-RM650. Pada dua bulan tersebut gaji diberikan secara tunai dilengkapi dengan slip gaji, tetapi pada bulan-bulan berikutnya melalui ATM tanpa slip gaji. Perusahaan seharusnya membayar RM338 untuk dua jam lembur. Wani harus memenuhi target wajib sebanyak 15 keping per hari, tetapi pada kenyataannya harus menyelesaikan 20-28 keping. Perusahaan seharusnya membayarkan bonus sebesar RM1 untuk setiap 15 keping, tetapi pada kenyataannya hanya diberikan 50 sen.

Akibat pemotongan gaji tanpa alasan, Wani pernah tidak mendapatkan sepeserpun uang. Hal tersebut terjadi ketika perayaan Imlek selama empat hari. Setiap harinya dipotong 50 ringgit, potongan biaya lain, dan uang yang harus diberikan ke PT Sofia sebagai agen penyalur PMI. Tidak hanya itu, gaji Wani pernah dipotong karena kesalahpahaman. Hari itu, Wani hanya berniat memisahkan potongan halus dari sarang burung walet, tetapi malah dituduh membuangnya. Alhasil, gaji Wani dipotong sebesar 50 ringgit.

Tidak hanya soal gaji yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Uang makan dan tempat tinggal pun tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Wani diharuskan membayar RM200 untuk uang makan per bulan. Menu makan yang didapat tidak sehat. Di awal bekerja, Wani harus memakan sosis, nugget, nasi goreng, sayur, dan mie goreng. Tak jarang ketika lauk ayam hadir akan cepat ludes. Wani pun jarang mendapatkannya sebagai lauk santapannya. Tidak hanya itu, PMI yang bekerja di Maxim harus menempati satu kamar berkipas angin yang diisi 14 orang. Dan sisanya menempati dua kamar ber-AC yang diisi 10-12 orang. Sayangnya, mereka diharuskan membayar RM50 untuk menempati kamar ber-AC.

Kehidupan Wani tidak pernah baik-baik saja selama bekerja di Maxim. Dalam keadaan sakit, Wani tetap harus bekerja. Tidak ada cuti sakit untuknya. Manajernya tidak membawa Wani ke pusat kesehatan malah dibawa ke kamar mandi. Di sana, Wani terus disiram air sampai gelagapan, sampai tidak menangis lagi.

“Pernah aku lagi sakit. Aku nangis terus, sama dia (manajer) dibawa ke kamar mandi, disiram air keran sampai gelagapan. Sampai benar-benar gak bisa napas, tetap diguyur,” kata Wani dengan mata berkaca-kaca mengenang peristiwa yang dialaminya.

Beruntungnya, teman Wani melaporkan apa yang dialami–ketika bekerja di Maxim–kepada Migrant Care, sebuah organisasi yang bertujuan mendorong kesejahteraan Pekerja Migran Indonesia. Kemudian, Wani, kawannya, dan Alex Ong—perwakilan Migrant Care—beberapa kali melakukan pertemuan secara diam-diam untuk membuat strategi bagaimana strategi untuk keluar dari perusahaan tersebut. Pada 28 Maret 2017, PT Maxim dirazia oleh kepolisian dan imigrasi Malaysia karena kesalahan work permit. 51 orang kemudian dibawa ke rumah perlindungan karena kesalahan penempatan kerja yang seharusnya di PT Kiss Produce Food Trading malah dipekerjakan di PT Maxim Birdnest Sdn. Bhd.

Kehidupan Wani tidak kunjung membaik meskipun perusahaan telah di razia kepolisian dan imigrasi. Selama 21 hari di rumah perlindungan, hidup Wani seperti di penjara. Pintu selalu terkunci dan kesempatan keluar hanya diberikan ketika jam makan tiba. Tidur beralaskan matras di satu tempat yang sama untuk berkumpul dan berbaris–untuk keperluan apapun–bersama kawan-kawannya. PMI yang melapor kemudian malah ditangkap dengan tuduhan menyalahi izin tinggal. Padahal mereka tidak tahu menahu mengenai bedanya tempat kerja dan tempat tinggal.

Setelah satu bulan di rumah perlindungan khusus perempuan di Malaysia, Wani dan kawan-kawannya malah dipindahkan ke penjara. Di sana, kehidupan bertambah buruk. Wani tidur berdempet-dempetan dengan 17 orang di ruangan sempit berukuran kurang lebih 3×4 meter. Mereka tidur di depan kamar mandi, di sela-sela dipan kayu, sampai melipat badan dengan kaki di luar sel. Tidak hanya itu, jatah makan yang diberikan pun tidak manusiawi. Nasi bungkus yang lebih mirip muntahan kucing, ikan pindang yang mengeras, ayam yang dipotong kecil dan bau, sayur yang menguning, dan minum yang hanya diberikan ketika jam makan menjadi asupan yang menunjang keberlangsungan hidup Wani. Di luar jam makan, ketika haus, Wani harus meminum air keran yang lebih mirip air di kolam renang berkarbol.

Ketika di penjara, Wani hanya diperbolehkan membawa dua  potong pakaian. Jika melebihi itu, akan dibuang oleh pihak penjara. Sabun mandi pun hanya diberikan sepotong kecil untuk satu minggu. Itu pun harus digunakan untuk mandi dan mencuci pakaian.

“Baju cuma boleh bawa dua potong, celana dua potong, daleman dua potong. Jadi hari ini pakai, yang ini (satu pakaian lain) dicuci,” kata Wani.

Wani dan kawan-kawan akhirnya berhasil pulang ke Indonesia dibantu oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Malaysia. Namun, yang menjadi pendamping Wani dan kawan-kawan dalam pengungkapan kasus merupakan Migrant care. Ketika dipulangkan Wani tetap digaji meskipun dipotong oleh perusahaan dengan alasan yang tidak jelas.

Wani pulang dengan tangan diborgol ketika menuju ke bandara. Tidak ada alasan yang jelas mengapa salah satu tangan Wani harus diborgol dengan sebelah tangan temannya. Apapun tujuannya, hal ini menyakitkan bagi Wani.

Wani pulang ke rumah dengan selamat secara fisik, tapi jiwanya tidak. Di rumah Wani sering marah, melempar dan membanting barang, memakan semua makanan dan tak peduli apakah ia menyukainya atau tidak, dan tidur di lantai tanpa alas apapun termasuk bantal. Wani trauma dengan apa yang dialami ketika bekerja di Malaysia. Pergi ke psikolog bukan pilihan tepat bagi Wani. Uang menjadi masalah. Ia tidak sanggup membayar biaya ke psikolog untuk menyembuhkan traumanya. Pada akhirnya, Wani memilih memulihkan diri dengan bekerja dan mencari kesibukan.

Peristiwa yang dialami Wani dan 50 orang lainnya akhirnya diproses di Indonesia. Wani menghadiri persidangan sebagai korban di Pengadilan Negeri Semarang. Ketika dimintai keterangan, hakim membentak sehingga membuat Wani dan kawan-kawannya takut. Mereka semua menangis dan jadi takut memberikan keterangan yang sebenarnya. Mereka kalah, hakim membawa dalih bahwa kontrak sudah diteken.

“Ketika di persidangan kita kalah. Karena katanya kita sudah tanda tangan kontrak kerjanya,” kata Wani.

Setelah kalah di persidangan, Migrant Care mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, sampai sekarang belum ada tindak lanjut dari kasasi tersebut. Padahal ajuan telah dilakukan sejak 2018.

Kasus Sama, Kronologi Berbeda

Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) UPT Semarang sebagai saksi ahli menganggap kasus antara PMI dan PT Sofia Sukses Sejati tidak termasuk dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Menurutnya PMI yang ditempatkan di perusahaan cabang dari perusahaan sudah sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak kerja. Bukan dipindahkan ke tempat kerja asing, tanpa ada sangkut pautnya dengan PT dalam kontrak kerja. Hal tersebut didukung dengan tidak terbuktinya PT. Maxim melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang/ TPPO dalam penyidikan kepolisian Malaysia.

“Kesaksian dari kami, ini tidak termasuk TPPO karena berangkatnya pasti, legalitasnya juga dari kami (BP2MI). Kalau pun, di sana (Malaysia) ditempatkan tidak sesuai dengan perjanjian kerja awal, mestinya yang ditangkap pemilik PT atau perusahaan. Tapi, ternyata tidak kan? Karena memang ini punya cabang (perusahaan dalam kontrak), cabang perusahaan,” kata Rodli, Kasi Perlindungan dan Pemberdayaan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia/ BP2MI UPT Semarang.

Kasus ini didampingi beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di antaranya Migrant Care, Jakerham, LRC KJHAM Semaran. Salah satu pendamping, yakni LRC KJHAM Semarang menilai kasus ini termasuk dalam TPPO. Penempatan bekerja tidak sesuai dengan perjanjian menjadi alasannya.

“Kita (LRC KJHAM Semarang) menilai kasus ini sebagai human trafficking. Dari perekrutan, mereka (PMI) ditempatkannya (ketika bekerja) ada perpindahan,” kata Niha dari LRC KJHAM Semarang.

Sementara itu, dalam putusan sidang, tidak dijatuhi hukuman TPPO sebagaimana yang diatur dalam Pasal 103 huruf E UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Windi Hiqma Ardani sebagai direktur PT Sofia Sukses Sejati tidak dijatuhi hukuman pidana dan dikeluarkan dari penjara.  Sekarang, PT Sofia tidak lagi menjadi agen penyalur pekerja migran Indonesia (PMI). Hal tersebut dikarenakan Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP) milik PT Sofia tidak lagi diperpanjang.

Kronologi yang disusun oleh BP2MI berbeda jauh dengan penuturan korban. Awalnya penawaran pekerjaan pada bidang elektronik. Namun, tidak jadi, dan dialihkan ke ternak,  pengemasan ayam. Seleksi dilakukan dan berhasil menjaring beberapa calon PMI. Ratusan PMI yang lolos seleksi ditawarkan untuk bekerja di perusahaan lain dan mereka menyetujuinya. Akhirnya PMI berangkat ke Malaysia, bekerja di anak cabang perusahaan utama yang dijanjikan.

“Ini (rombongan PMI) siap berangkat. Setelah berangkat, di sana (Malaysia) ada (PMI) yang ditempatkan di cabang yang lokasinya berbeda,” kata Rodli.

Realita Strategi Preventif TPPO yang tak Efektif

Tirto.id menuliskan dalam artikelnya yang berjudul “Yang Tak Dibicarakan Saat Pandemi: Kekerasan & Perdagangan Manusia, dijelaskan bahwasanya dalam kasus perdagangan orang, di tahun 2019 ada sebanyak 111 kasus yang dilaporkan, lalu kasus meningkat di tahun 2020 menjadi 213 kasus, dan mencapai 256 kasus di tahun 2021. Data ini merujuk pada data yang diperoleh dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), hingga 4 Oktober 2021.

Melihat naiknya kasus TPPO yang terjadi membuat kita dipaksa melihat sebuah realita yang kadang luput untuk dilihat, yaitu pada upaya pencegahan kasus. Sejauh ini, apabila kita melihat mengenai upaya pencegahan TPPO yang paling sering digaungkan adalah sosialisasi mengenai hal tersebut. Apa yang dilakukan pemerintah dalam banyak kasus TPPO di Indonesia?

“Lewat sosialisasi, pencegahan dilakukan lewat sosialisasi, bisa juga lewat penggerebekan ke lokasi yang diduga ada TPPO, gitu. Sudah kita lakukan di Cilacap, dalam proses di kepolisian,” kata Rodli ketika ditanyai mengenai upaya BP2MI dalam pencegahan TPPO.

Akan tetapi, pada realitanya sosialisasi ini tidak akan efektif apabila tidak diimbangi dengan pembatasan, misalnya terkait dengan pengaturan pembatasan pemberian Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia (SIP2MI) bagi pengusaha yang terkena sanksi. Hal ini diungkapkan oleh Niha, selaku anggota di Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM)

“Kalau mereka misalnya sosialisasi nih, ya. Tapi, kalau mereka misalnya tidak benar-benar bisa membatasi ya, percuma gitu. Misalnya, PT yang kemudian kena sanksi kemudian mendaftar lagi, ya tetap sama akan kaya gitu siklusnya,” ungkap Niha, ketika berbicara mengenai permasalahan mudahnya mendapatkan SIP2MI.

Ketika membahas mengenai kriteria PT yang bisa mendapatkan SIP2MI, Rodli hanya menjelaskan dua kriteria terkait hal tersebut, yaitu memiliki Surat Izin Usaha Perusahaan/ SIUP dan memiliki job order yang telah didaftarkan ke BP2MI. Setelah memiliki kedua hal tersebut, PT baru mendapatkan SIP2MI untuk izin merekrut orang. Memenuhi dua kriteria tersebut menjadi suatu hal yang mudah untuk langkah administrasi sebuah PT dalam melakukan perekrutan. Kemudahan inilah yang kemudian dinilai menjadi salah suatu hal yang menyebabkan naiknya kasus TPPO dari tahun ke tahun.

Bahkan berdasarkan laporan Trafficking in Persons (TIP) 2021 oleh Pemerintah Amerika menempatkan Indonesia masuk dalam Tier 2, apabila melihat laporan yang sama di tahun 2020, Indonesia masih secara stagnan berada dalam posisi tersebut. Kedudukan Indonesia dalam Tier 2 ini memiliki pengertian bahwasanya Indonesia belum memenuhi standar minimum dalam penghapusan trafficking, namun masih adanya usaha yang signifikan dalam penghapusan kasus tersebut. Standar minimum ini dilihat dengan paradigma Three P’s, yang didalamnya terdapat pencegahan (prevention), perlindungan (protection), dan penuntutan (prosecution).

Hukuman yang diberikan Tidak Setimpal dengan Kasus

Berdasarkan Trafficking in Persons (TIP) 2021 oleh Pemerintah Amerika, proses hukum dan pemidanaan pelaku kejahatan manusia terus menerus mengalami penurunan. Tidak jarang pula kasus TPPO ini berhenti dan menghilang di tengah proses hukum. Dalam catatan TIP, setidaknya ada 204 pemidanaan sepanjang 2019, turun dari 279 pada tahun 2018.

Memang, apabila didasarkan catatan pada 2007 kasus TPPO yang diproses hukum naik 94% dari 56 hingga mencapai 109. Akan tetapi, kasus yang berujung pada hukuman hanya mencapai 46 pada 2007, naik dari 36 kasus.

Di paradigma Three P’s, dalam upaya penuntutan Indonesia sendiri telah memiliki undang-undang yang mengatur mengenai perdagangan manusia, yaitu pada Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Di dalam undang-undang ini mengatur hukuman maksimal bagi pelaku selama 15 tahun penjara. Akan tetapi, dalam upaya penuntutan dan menyelesaikan kasus, seringkali berhenti di tengah jalan karena tidak ada bukti yang memperkuat tuntutan, dan penyelesaian kasus yang tidak maksimal seperti dalam kasus Wani.

Pada putusan kasus Wani, terdakwa Windi Hiqma Ardani tidak dijatuhi hukuman TPPO sesuai dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang TPPO. Hal ini dikarenakan dalam persidangan tersebut diutamakan asas ultimum remedium, yang mana hukum pidana dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Maka, pemberian sanksi diutamakan dengan memberikan sanksi administrasi dan perdata terlebih dahulu. Jadi, dalam penyelesaian sidangnya, Windi hanya dikenakan sanksi administrasi dan perdata saja. Apabila melihat tuntutan dan undang-undang yang berlaku, pemberian sanksi kepada Windi ini jelas menimbulkan banyak kritikan terkait ketidaksesuaian dengan hukuman yang seharusnya diterima oleh terdakwa.

“Dilaporkan pidana TPPO dan penempatan, tapi yang TPPO kemudian di sini (persidangan) juga tidak bisa dibuktikan. Terus penyalahgunaan penempatan PJTKI itu juga dianggap tidak terbukti di sini karena sebelum putusan Bu Windi sudah menyelesaikan secara administrasinya, kayak misalnya dia harus membayar denda ke korban. Tapi, kayaknya korban tidak dapat apa-apa. Jadi untuk pidananya dia tidak terbukti bersalah. Karena di luar proses (persidangan) ini sudah menyelesaikan secara administrasinya. Karena kan hukum pidana itu dianggap ultimum remedium, upaya terakhir. Jadi, kalau misalkan ada upaya-upaya sebelum upaya pidana dilakukan, ya upaya pidana itu tidak perlu dijalankan. Tidak bisa begitu juga ya, untuk kasus ini” jelas Niha.

Memang, dalam menetapkan sanksi pidana diperlukan adanya rasionalitas dan proporsionalitas, hal ini berkaitan dengan alasan sanksi yang diberikan dapat dibenarkan dan pemberian sanksi diperlukan untuk kebutuhan negara dalam rangka menjaga ketertiban masyarakat. Apabila merujuk pada hal ini, maka akan ada benarnya apabila Windi dijatuhi sanksi pidana, alih-alih sanksi administrasi dan sanksi perdata. Hal ini diperkuat oleh pendapat Bassiouni, yang dikutip oleh Teguh Prasetyo, mengungkapkan bahwa pidana hanya dapat dibenarkan apabila ada kebutuhan yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena kasus ini menyangkut banyak korban, bukan hanya Wani saja.

Berlawanan dengan asas ultimum remedium ada yang namanya asas primum remedium yang mana dalam kasus pidana satu-satunya sanksi yang bisa diberikan adalah sanksi pidana, dan tidak ada alternatif lain sebagai hukuman. Misalnya, apabila seseorang yang melakukan tindak pidana terorisme, maka didasarkan pada asas primum remedium, orang tersebut akan diberikan hukuman pidana secara langsung sesuai dengan undang-undang terkait dengan terorisme. Seharusnya, dalam segi dampak yang diberikan kasus Wani dan kasus TPPO lainnya bisa diberikan sanksi pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku, agar keadilan bagi korban bisa terpenuhi.

Kasus Wani menjadi satu dari sekian kasus TPPO yang tidak diselesaikan berdasarkan asas hukum yang berlaku. Hakim yang memutus kasus TPPO harus memiliki pemahaman yang baik mengenai pemetaan kasus. Tujuannya, untuk membangun perspektif hakim dalam mengadili TPPO. Theodora Suter, Deputy Chief of Mission IOM Indonesia dalam artikel di hukumonline.com menyampaikan bahwa Indonesia memiliki komitmen yang kuat dalam menegakkan hukum berkenaan dengan kasus TPPO. Hal tersebut termaktub dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 yang mewajibkan hakim menimbang beberapa hal dan memahami konsep kesetaraan gender dalam mengadili kasus TPPO. Peraturan tersebut menunjukkan Indonesia berusaha menekan angka perdagangan manusia, tetapi kenyataan di lapangannya berbeda. Banyak PMI yang menjadi korban TPPO.

“Tidak hanya hakim saja (yang memiliki perspektif TPPO), tapi semua apatrat penegak hukum (APH) juga penting sekali memiliki perspektif tersebut,” kata Niha.

 

Reporter: Alisa, Mita

Editor: Luviana (Pemimpin Redaksi Konde.co), Wisnu (International Organization for Migration)

Artikel ini merupakan bagian dari Assessing Stigma for Prevention, Improved Response, and Evidence Base (ASPIRE) Project yang dijalankan oleh International Organization for Migration (IOM) Indonesia dan didanai oleh Modern Slavery Innovation Fund (MSIF) of the UK Home Office.

ASPIRE Project membuat sebuah pendekatan yang sadar akan norma dan stigma sosial dengan tujuan untuk meningkatkan upaya pencegahan dan memperkuat respon pihak-pihak terkait terhadap eksploitasi dan perdagangan orang di Indonesia.

Comment here