Tindaklanjuti Kekerasan terhadap Pers Mahasiswa, PPMI Gelar Diskusi Advokasi
Kabar Kilas

Tindaklanjuti Kekerasan terhadap Pers Mahasiswa, PPMI Gelar Diskusi Advokasi

Kamis (21/07), Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) menggelar diskusi advokasi terkait kekerasan terhadap Pers Mahasiswa (Persma) bertajuk “Bagaimana Masa Depan Kebebasan Akademik dan Pers?”. Diskusi yang berlangsung sejak pukul 15.00-17.10 WIB melalui Zoom Meetings dan kanal Youtube “PPMI Nasional” ini membahas masalah Persma yang kerap kali mengalami tindak kekerasan, baik fisik maupun digital.

Ninik Rahayu, anggota Dewan Pers mengungkapkan bahwa Persma belum mendapatkan perlindungan hukum, baik dari Dewan Pers maupun pihak kampus. Menurutnya, hal itu dikarenakan terbatasnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ninik menjelaskan, berdasarkan aturan tersebut, Persma tidak mendapat perlindungan hukum lantaran bukan berstatus perusahaan pers.

“Perusahaan pers harus menyesuaikan empat dokumen dalam Piagam Palembang, yakni Kode Etik Jurnalistik, Standar Perusahaan Pers, Standar Kompetensi Wartawan, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) Perlindungan Wartawan. Perusahaan pers dilindungi karena telah memenuhi empat hal tadi. Sedangkan, lembaga Persma beranggotakan mahasiswa, bukan wartawan, bukan (termasuk) perusahaan pers, sehingga tidak mendapatkan perlindungan,” jelasnya.

Langkah awal agar Persma mendapatkan perlindungan hukum adalah memperoleh pengakuan terkait status kelembagaan Persma. Hal itu diungkapkan oleh Sasmito Madrim, perwakilan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.

“Sebagai langkah awal harus dibarengi dengan kewajiban Persma untuk mengikuti dan mematuhi kode etik jurnalistik serta menciptakan karya selayaknya jurnalis profesional,” jelasnya.

Perihal Persma saat ini, Koordinator Badan Pekerja Advokasi PPMI Adil Al-Hasan mengatakan bahwa Persma itu penuh tantangan dan rentan mengalami kekerasan atau intimidasi dari sebelum, ketika, dan sesudah liputan, karena tidak adanya pengakuan secara tegas dari otoritas maupun negara.

Ia juga mengatakan bahwa Persma berhak mendapatkan perlindungan. “Jangan berpikir bahwa Persma menagih ke negara atau Dewan Pers sebagai wujud mengemis, itu adalah hak Persma untuk mendapatkan perlindungan,” ungkapnya.

PPMI mencatat adanya lima puluh delapan kasus kekerasan terhadap Persma dengan pola yang sama dan sebagian tidak ingin diadvokasi karena adanya ancaman pemukulan, intimidasi, drop out (DO), hingga ancaman pembunuhan yang terjadi dalam rentang waktu 2017 hingga 2019.

Dilansir dari tempo.co, salah satunya adalah tindak represifitas yang dialami oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon. Pihak kampus melaporkan sembilan mahasiswa yang tergabung dalam LPM Lintas ke pihak kepolisian. Pelaporan tersebut terjadi setelah LPM Lintas menerbitkan majalah yang mengungkap kasus kekerasan seksual di IAIN Ambon dalam rentang waktu 2015 hingga 2021.

Selain itu, terdapat kasus lain yang menimpa tiga anggota Persma GEMA Politeknik Negeri Jakarta (PNJ). Dilansir dari Kompas.com, tiga anggota Persma tersebut ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian saat sedang melakukan liputan aksi tolak UU Cipta Kerja.

SementarA itu, menurut Dhia Al-Uyun, Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) mengatakan bahwa Persma berfungsi menjaga kampus sesuai marwah keilmuannya. Ia juga mengatakan bahwa kampus selalu memiliki rahasia umum dan ketika diungkap oleh pers justru dianggap sebagai pencederaan nama baik kampus.

“Menjaga nama baik kampus dengan membongkar dan menindak pelaku kasus kekerasan seksual di kampus. Akan tetapi, kasus itu malah tidak keluar ke publik, diredam begitu saja, atau yang mengungkap (redaksi) itu menjadi bulan-bulanan kampus,” katanya.

Pada akhir diskusi, Adil menyampaikan upaya menghindari tindak kekerasan adalah dengan mematuhi kode etik jurnalistik. Sementara itu, Sasmito menyarankan untuk mengadakan pelatihan-pelatihan keamanan baik keamanan fisik, digital, maupun hukum bagi para jurnalis Persma guna menghindari kekerasan dan meminimalkan dampaknya.

Diskusi ini juga turut mengundang Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Dikti) Nizam. Namun, ia berhalangan hadir karena suatu keperluan.

 

Reporter: Siska Alfilia Nova & Saiska Dwi Arimbi
Editor: Nurul Azizah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *