Survei Sikap Mahasiswa Universitas Negeri Semarang Terhadap Aksi Demonstrasi
Cerpen Sastra Sastra

Beda Kepala

Ilustrasi Cerpen Beda Kepala [Rifky/Bp2m]

⁶Oleh Leni Septiani*

Seorang perempuan berambut sebahu turun dari motor. Riasan di wajahnya tampak kian memudar. Paras ayunya menampakkan guratan-guratan keletihan. Seberkas senyum tipis terpancar dari bibir merah mudanya. “Terima kasih,” ucapnya singkat kepada laki-laki yang telah mengantarnya hingga rumah.

***

Ah, dasar. Perempuan kok pulangnya malam-malam. Apa dia tidak tahu waktu? Ya Tuhan, tolonglah. Sekarang sudah jam dua belas larut malam dan perempuan itu baru pulang! Itu tidak ada apa-apanya. Coba lihat siapa yang mengantarnya. Seorang laki-laki!

Ya Tuhan, rupanya dunia memang sudah rusak. Perempuan-perempuan bebas keluyuran malam dan diantar-jemput laki-laki. Pasti mereka habis melakukan perbuatan hina. Untung saja si laki-laki bertanggung jawab mau mengantarkan perempuan itu pulang. Jika tidak, bagaimana coba? Sudah pasti perempuan itu jadi luntang-lantung dan berujung cari mangsa baru untuk ditiduri.

Sebegitunyakah dia rela berkorban demi uang? Masih banyak pekerjaan lain yang halal dan tanpa mengorbankan harga diri. Memang benar-benar perempuan tidak tahu malu.

Intinya, besok aku harus memberinya nasihat agar ia bisa kembali ke jalan yang benar.

***

“Lagi-lagi Tika lupa mematikan lampu,” keluhku begitu melihat lampu ruang tamu yang masih menyala terang. Seperti yang sudah-sudah, Tika, anakku, dia selalu tidur paling akhir karena sibuk menonton serial televisi kesukaannya. Peraturan di rumah ini adalah siapa yang tidur paling akhir, maka dia yang bertugas memastikan semua lampu dalam keadaan mati.

Tika memang teledor. Yah, bagaimana lagi, aku sudah mengomelinya setiap hari, tetapi yang terjadi hanya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri.

Baru saja jariku menyentuh sakelar untuk mematikan lampu, aku mendengar suara knalpot yang berhenti tak jauh dari rumah. Mendengar itu, tak jadi lah aku mematikan lampu. Beranjak ke jendela, menyingkap gorden, kemudian mengintip. Ah, rupanya tetangga baruku itu. Dia memang perempuan yang pekerja keras. Hampir setiap hari dia pulang larut malam, bahkan beberapa kali pernah kupergoki ia pulang pagi. Sungguh keras usahanya untuk mencari nafkah. Aku salut.

Aku yang sudah memiliki anak saja masih sering malas-malasan bekerja. Tetapi, coba lihat, dia yang masih lajang sangat keras bekerja. Dia belum memiliki tanggungan anak, tetapi semangatnya sangat patut diacungi jempol.

Lihat wajahnya. Wajah cantiknya itu terlihat sangat lelah. Kantung matanya terlihat lebih hitam daripada hari biasa. Rambutnya juga lepek, pasti ia terlalu banyak beraktivitas di luar ruangan. Kepalaku menggeleng beberapa kali, seiring embusan napas berat keluar.

“Pokoknya, besok pagi, aku harus mengiriminya makanan hangat untuk sarapan,” tekadku.

***

“Hoam….” Aku ngantuk sekali. Sudah ngantuk-ngantuk, kalah taruhan pula. Bah, sial betul hidupku ini. Uang di dompet tinggal seratus ribu gara-gara teman-temanku yang sialan itu. Diambilnya semua uangku. Untung saja tadi aku dapat mengendalikan diri. Kalau tidak, mungkin sekarang dompetku sudah kosong melompong tidak berisi selembar pun uang.

Eh, tunggu, tunggu. Siapa itu? Bukankah dia tetangga baruku yang cantik itu? Yang wajahnya tidak pernah menoleh barang sedetik pun? Yang setiap hari selalu sibuk pergi ke sana ke mari itu?

Bah, baru pulang rupanya dia, diantar laki-laki pula. Siapa, ya, laki-laki itu? Apakah dia suaminya? Atau pacarnya? Atau keluarganya? Atau pelanggannya?

Aku kira dia perempuan mahal yang susah digapai, apalagi oleh laki-laki macam aku yang tiap hari kerjaannya main judi. Ternyata sama saja. Ah, sialan. Uangku tinggal seratus ribu, mana cukup untuk mengajaknya bersenang-senang. Lihat saja tas yang dia pakai, sama persis dengan tas yang dulu pernah kucuri dari seorang pengusaha kaya raya.

Lihat jugalah laki-laki yang mengantarnya pulang. Meski bukan dengan mobil, lihat sajalah itu tangannya. Ada jam tangan yang dia pakai. Kalau tidak salah, itu jam tangan Rolex yang harganya setara dengan harga rumah. Kenapa aku tahu? Ya… karena aku pernah mencurinya dari salah satu pejabat.

Gila! Orang-orang, kok, punya banyak duit, ya? Lah, aku gini-gini saja dari dulu.

Bah, siapa peduli? Peduliku cuma satu, besok aku harus menang taruhan. Nanti, uangnya akan aku pakai untuk bersenang-senang dengan perempuan cantik itu.

***

Aku melihat istriku sedang melihat sesuatu dari balik jendela rumah. Hm, apa yang sedang dia lihat? Kenapa juga dia belum tidur? Padahal, biasanya dia sudah mengigau dengan keras di jam-jam segini.

“Bu, kok belum tidur?”

Istriku melonjak kaget, lalu segera memukul lenganku. “Jangan berisik! Itu, lho, tetangga kita yang baru pindah seminggu lalu, dia baru pulang!”

Atas petunjuk istriku, aku pun ikut melongok dari balik jendela. Benar, tetanggaku baru pulang dan diantar oleh laki-laki menggunakan sepeda motor. Raut muka tetanggaku itu tampak lelah. Ah, sepertinya ia baru selesai bekerja.

“Ini bukan pertama kalinya, Pak. Dia setiap hari pulang malam begini, bahkan waktu itu, Ibu pernah lihat dia pulang jam empat pagi! Duh, Gusti, ngapain, toh, pulang jam segitu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar celotehan istriku. Dia memang senang sekali berasumsi. Aku heran, apa untungnya juga bagi dia terus-menerus berasumsi terkait banyak hal? Semestinya, kan, dia cukup peduli dengan urusannya, tidak perlu lah memikirkan urusan orang lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kehidupan kami. Hal itu hanya menambah beban di kepala.

“Tuh, lihat, dia diantar oleh laki-laki, Pak. Tidak mungkin laki-laki itu suaminya. Lah wong tiap hari dia gonta-ganti laki-laki, kok. Hari ini diantar si A, besok si B, besoknya lagi si—”

“Bu, sudah, sudah. ngapain, sih, ikut campur urusan orang lain. Bisa saja dia memang ada urusan dengan orang yang beda setiap hari. Ibu ndak bisa memastikan kalau belum tanya langsung ke orangnya,” selaku sebelum perempuan cerewet di depanku ini terus berceloteh yang tidak-tidak.

Istriku mendecih. “Pak, ya jelas ini juga urusan kita. Dia kan tetangga kita, toh. Kita punya anak perempuan, lho, Pak. Kalau lingkungan kita ndak benar kayak gini, takutnya malah bikin anak kita ikut-ikutan. Bapak mau Ratih terjerumus ke hal-hal yang ndak baik?”

Ya, istriku memang ada benarnya juga. “Iya, iya. Tapi dipastikan dulu, tanya ke tetangga kita itu dulu untuk memastikan. Kalau Ibu cuma mengira-ngira, ya sama saja ndak berguna.”

Yo wis, besok kita tanya ke tetangga kita itu buat memastikan.

Iyo, iyo, besok kita tanya. Sekarang waktunya tidur. Ayo.”

***

“Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu sudah ikut menggalang dana untuk panti asuhan kami sampai larut malam begini.” Si laki-laki berkata dengan semburat senyuman tulus.

Perempuan yang baru turun dari motor itu tertawa kecil. “Memang itu yang seharusnya aku lakukan sebagai sesama manusia. Semoga panti asuhanmu bisa terus berjalan dan terus membantu anak-anak yang kurang beruntung. Kalau suatu saat panti membutuhkan bantuan, jangan sungkan untuk menghubungiku.”

Laki-laki itu mengangguk mantap. “Pasti. Sekali lagi terima kasih. Selamat beristirahat. Aku pamit dulu.”

 

*Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2021

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *