Oleh: Arkan Labib Afkari*
Sejarah gerakan mahasiswa seolah menjadi romantisme kuat di kalangan para aktivis. Peristiwa revolusi di berbagai belahan dunia tak luput dari peran gerakan mahasiswa. Di Indonesia, sejarah mencatat bahwa peristiwa reformasi ’98 adalah tonggak dimulainya aksi heroik gerakan mahasiswa. Peristiwa tersebut terjadi karena kekekalan kekuasaan yang saat itu dipimpin oleh Presiden Soeharto banyak menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat Indonesia. Mulai dari pembunuhan massal terhadap anggota/simpatisan PKI, penembakan misterius (Petrus), perampasan tanah warga untuk kepentingan pribadi, dan masih banyak lagi.
Peristiwa-peristiwa tersebut memicu semangat kaum tertindas untuk turut mengubah status quo. Berbagai macam strategi digalakkan demi dapat menumpaskan kekuasaan rezim Soeharto. Pembentukan kelompok/organisasi berideologi kiri sebagai semangat kebersamaan dan pembebasan harus dilakukan jika menginginkan perubahan. Gerakan mahasiswa pun hadir sebagai kaum intelek yang dianggap mampu berpikir kritis dan dapat mengumpulkan massa guna menggulingkan rezim. Melalui pembentukan organisasi mahasiswa, advokat masyarakat, kelompok diskusi, pers propaganda mahasiswa dan lainnya yang dimasifkan diharapkan dapat membuat publik paham bahwa kondisi ketidakadilan berkepanjangan itu harus disudahi.
Aksi-aksi turun ke jalanan, demonstrasi mahasiswa, konsolidasi bersama rakyat kecil turut mewarnai kondisi pada masa itu sebagai bentuk perlawanan terhadap rezim. Akan tetapi, tindakan tersebut bukan perkara mudah dan aman. Banyak terjadi penculikan aktivis mahasiswa sebagai bentuk preventif oleh intel-intel yang konon dipesan oleh pemerintah agar tidak mengganggu jalannya rezim. Tentunya, semangat yang aktivis mahasiswa lakukan pada saat itu adalah semangat demokratisasi agar dapat membebaskan hak-hak setiap individu warga negara dari kekangan. Namun, setelah melihat kisah masa lalu ini bagaimana nasib gerakan mahasiswa sekarang? Akankah sama dengan masa lalu? Musuh seperti apa yang sedang dihadapi?
Aktivis Malas dan Kolot Pengetahuan
Perkembangan sains dan teknologi merupakan harta berharga. Era digital menuntut manusia harus bisa menyesuaikan diri dengan pesatnya perkembangan teknologi. Lengah sedikit, kita akan “ketinggalan kereta”. Dunia industri juga memaksa kita berpikir secara pragmatis agar tetap bisa bertahan hidup. Fenomena tersebut bukan hanya dialami oleh para sarjana yang baru lulus, tetapi seluruh mahasiswa, tanpa terkecuali aktivis mahasiswa. Belum lagi dengan adanya program pemerintah Kampus Merdeka yang memberikan banyak benefit dan berprofit semakin menjadikan pesona aktivisme bertambah pudar.
Dengan adanya perbedaan yang kontras dari zaman revolusi ’98–bahkan dari masa pra kemerdekaan–hingga era sekarang, tugas aktivis tetaplah sama, yakni pembawa narasi keadilan dan pembangunan moral. Lemahnya literasi digital dan gagap teknologi menjadikan aktivis mahasiswa tidak berguna untuk masyarakat. Bagaimana mau menyuarakan keadilan dalam informasi, kalau ia sendiri tidak mau belajar teknologi informasi? Belum lagi stigma aktivis mahasiswa sebagai seorang yang malas masuk kelas, jarang mengerjakan tugas, bahkan hanya “numpang nama” dalam tugas kerja kelompok akan menjadikan gerakan mahasiswa berbasis aktivis ini semakin usang. Lantas bagaimana slogan aktivis “tegakkan keadilan” ini bisa terwujud? Penulis masih berharap gerakan mahasiswa mampu berbasis IT agar bisa melihat transparansi pemerintah dalam persoalan data dan informasi.
Sang Tokoh Yang Eksklusif
Belakangan ini mungkin sering terdengar perkara ekslusifitas gerakan mahasiswa. Gerakan yang diisi oleh tokoh-tokoh orator dan “si paling” diskusi memiliki ciri khas yang mencolok. Berbeda dengan sejarah masa lalu yang rela turun ke masyarakat untuk mengetahui masalah apa yang sedang dihadapinya gerakan mahasiswa sekarang justru mengalami perubahan. Gerakan mahasiswa mengalami pengkotak-kotakan aliansi mulai dari tingkat lokal, regional, hingga nasional. Berbedakah tujuannya? Kalau memang ada perbedaan tujuan, agaknya gerakan mahasiswa sudah tidak murni lagi untuk kepentingan rakyat, melainkan hanya untuk ajang eksistensi dan kepentingan tertentu semata. Tampaknya ini menjadi persoalan yang serius berkenaan dengan egoisme gerakan mahasiswa itu sendiri.
Beranjak pada hal yang lebih sederhana, lingkar pertemanan sang aktivis pun cenderung sempit hanya mau berteman dengan yang satu pandangan atau rekan seorganisasinya saja. Perbedaan selera ilmu pengetahuan, topik pembicaraan hingga hiburan merupakan alasan kuat untuk enggan berteman dengan yang tidak sepandangan. Padahal, usaha membangun massa tidak akan tercapai kalau masih pilah-pilih teman. Pembangunan kesadaran berbasis massa dimulai dari yang terdekat terlebih dahulu, kalau ini saja masih tidak bisa dilakukan bagaimana membawa massa yang besar? Hal demikian merupakan ketidakmampuan dari sang aktivis zaman sekarang dalam menyatukan pandangan atau mengarahkan pada hal-hal yang bersifat kemanusiaan.
Bermain Negara-negaraan di Kampus
Kalau kampus diibaratkan sebagai miniatur negara, maka dunia yang dicita-citakan kedepan yang berkeadilan dan sejahtera bisa dilihat dari pejabat mahasiswa di organisasinya ketika mengakomodasi kebutuhan mahasiswa lain. Memiliki jabatan organisasi di kampus tentunya berdampak pada adanya privilege untuk berjejaring dengan birokrasi kampus. Jejaring ini digunakan supaya birokrat bisa paham apa yang sedang dialami oleh mahasiswanya. Maka, tidak menutup kemungkinan ada pejabat mahasiswa kampus yang menyalahgunakan kekuasaannya demi kepentingannya sendiri.
Pemira (Pemilihan Umum Raya) merupakan ajang bergengsi sebagai simulasi Pemilu. Hal ini merupakan tempat untuk melatih sikap demokratis dengan beradu gagasan antarcalon presiden dan wakil presiden. Kalau hasil yang diinginkan adalah nilai-nilai demokrasi: kejujuran, keadilan, kebebasan, dan lain-lain maka jalan dalam penyelenggaraan pemira pun harus dilaksanakan sebagaimana demokrasi. Pada praktiknya, masih dijumpai penyelenggaraan pemira yang tidak bersih. Persekongkolan perangkat pemira dengan PJ pemira, patronase kelompok tertentu, permainan curang pengurangan jumlah suara, maupun kecurangan dalam hal mencuri grand design oleh tim peserta pemira patut diwaspadai bagi segenap panitia penyelenggara yang bertanggung jawab atas demokrasi kampus. Tak khayal, dari perilaku nir-demokrasi di kampus ini menjadi sebuah pembiasaan ketika pejabat-pejabat organisasinya kelak berwatak sama dengan pejabat negara sekarang.
Perjalanan panjang gerakan mahasiswa mengalami dinamika yang sedemikian rumit. Mulai dari keorganisasian, kemalasan aktivis dalam akademik, ekslusifitas gerakan, dan demokrasi kampus perlu diperbincangkan lebih dalam dan perlu dibenahi apa yang menjadi masalah sekarang. Apalagi dalam menjawab perkembangan zaman ini, agaknya gerakan digital perlu di-branding dan lebih kreatif lagi agar dapat menarik simpati publik. Pesona gerakan mahasiswa akan semakin pudar jika tidak punya daya tawar yang tinggi menjawab perkembangan zaman ini.
*Mahasiswa Ilmu Politik Unnes 2020
Catatan: opini ini merupakan sikap pribadi penulis, bukan sikap redaksi maupun organisasi