Malam itu, hujan baru saja mengguyur Dusun Randuparang. Tak mempedulikan jalanan yang masih basah, orang berduyun-duyun berkumpul di sebuah ruas jalan di salah satu dusun yang terletak di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, itu. Di jalan berkelok yang berhadapan dengan rumah milik Mas Siswanto, di hadapan tugu perlawanan yang beberapa jam sebelumnya diresmikan itu lah rencananya akan digelar pertunjukan Baongan.
Mendapat pantulan cahaya dari lampu di sekitarnya, tugu perlawanan tampak lebih gagah. Bentuknya berupa sebuah tangan kiri mengepal yang menjulang ke langit. Tingginya sekitar dua setengah meter. Bagian atas tugu merupakan semen yang dicetak membentuk kepalan tangan. Bagian badan tugu menempel sebuah batu sebanyak warga yang masih menolak tambang. Sedangkan bagian bawahnya terdapat bongkahan batu andesit yang diambil dari kebun milik warga. “Tugu itu sebagai simbol bahwa kami di sini masih bertahan dan melawan,” kata Siswanto, sembari menatap tugu perlawanan dihadapannya, Kamis, 9 Februari 2023, setahun lalu.
Seperangkat gamelan yang akan mengiringi pemain Baongan sudah dijejerkan di bawah tugu perlawanan. Baongan merupakan pertunjukan kuda lumping (atau ada juga yang menyebut jaran kepang atau kuda kepang) khas Desa Wadas. Perbedaan yang paling mencolok antara Baongan dan pertunjukan kuda lumping lain adalah pada bagian aksesori yang digunakan.
Misalnya saja topeng yang menjadi penutup muka para pemainnya. Baongan menggunakan topeng yang terdiri atas topeng dengan berbagai rupa hewan dan Kelabang Ireng—sebutan bagi topeng yang memiliki tampang menyerupai raksasa. Sedangkan pada pertunjukan kuda lumping, pemain biasanya menggunakan kuda tiduran yang dibuat dari anyaman bambu.
Pertunjukan Baongan menjadi salah satu rangkaian kegiatan dalam acara bertajuk “Menolak Lupa Represi dan Kedzaliman Negara” yang digelar oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) pada 8-10 Februari 2023 lalu. Selain itu, terdapat kegiatan lain yang dilakukan selama tiga hari tersebut. Hari pertama, digelar mujahadah atau doa bersama, long march, peresmian tugu perlawanan, jumpa pers, serta diakhiri dengan pertunjukan Baongan.
Hari kedua kegiatannya lebih longgar: terdapat pasar solidaritas dan live sablon, pembukan pameran karya seni dan dokumentasi, dan ditutup dengan kegiatan nonton bareng film dokumenter Wadas. Hari terakhirnya, terdapat hiburan panggung musik dan mural.
Seperti namanya, kegiatan itu dilakukan untuk mengingat kembali peristiwa ketika aparat melakukan represi kepada warga Wadas, satu tahun sebelumnya. Kala itu, 8 Februari 2022, pemerintah menerjunkan ratusan polisi ke Desa Wadas. Penerjunan itu dilakukan untuk mengawal 70 petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo yang akan mengukur dan melakukan penghitungan tanaman milik warga yang sudah menyetujui rencana penambangan batu andesit di Wadas.
Tak dinyana, pihak yang semestinya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat itu malah memukul, menangkap, dan menahan warga Wadas yang saat itu belum menyetujui rencana penambangan. Hari itu, sebanyak 67 warga sempat ditahan di Kepolisian Sektor Bener, sebelum dibawa ke Kantor Kepolisian Resor Purworejo. Mereka dipulangkan sehari setelahnya, 9 Februari 2022. Ganjar Pranowo, yang saat itu masih menjadi Gubernur Jawa Tengah, mengklaim pihaknya yang mendorong agar kepolisian membebaskan warga Wadas yang ditangkap.
Mbah Marsono, salah satu warga Wadas yang menjadi saksi mata dalam peristiwa tersebut masih ingat betul situasi saat itu. Katanya, suasana desa menjadi mencekam. Selama tiga hari, polisi berkeliaran dan sesekali tampak ada yang membawa anjing pelacak. Sekolah di desa diliburkan. Kegiatan sehari-hari warga, seperti bertani dan berdagang lumpuh. Listrik dipadamkan, dan karena itu pula jaringan sinyal turut lenyap. “Desa menjadi senyap dan sunyi. Hanya ada polisi,” kata Mbah Marsono ketika ditemui di kediamannya pada Kamis, 9 Februari 2023.
***
Pukul sebelas malam, akhirnya suara gamelan mulai menggema—pertanda bahwa pertunjukan kesenian Baongan sudah dimulai. Sebelumnya, ketika warga belum mendatangi lokasi kegiatan, aliran listrik di Dusun Randuparang sempat padam. Hujan yang disertai angin tampaknya menjadi penyebab utama padamnya listrik. Mau tak mau, pelaksanaan Baongan harus menunggu listrik kembali menyala. Alhasil, kegiatan yang semestinya dimulai pukul 19.30 WIB itu baru bisa dilaksanakan satu jam sebelum hari berganti.
Serbuk kayu ditaburkan di tempat para pemain Baongan beraksi. Para penonton pun berkerumun mengitari tempat itu. Ada yang berdiri, ada yang duduk menggunakan sandal sebagai alasnya, ada pula yang menumpang duduk di teras milik Mas Siswanto. Semuanya mulai khusuk menonton.
Pemain dengan topeng berwujud hewan tampil lebih dulu. Tampak pemain bertopeng kerbau, macan, dan kuda muncul dari arah tugu perlawanan. Mereka memasuki area lapang yang tiap sisinya sudah dikerumuni penonton. Beberapa saat kemudian, giliran tampak para pemain yang mengenakan topeng Kelabang Ireng.
Penggunaan topeng hewan dipilih karena sejak dulu para leluhur desa Wadas telah memikirkan kelestarian makhluk hidup di desanya. “Celeng sekarang udah ndak ada, kerbau dan monyet juga. Memang seharusnya hewan-hewan yang ada di hutan Desa Wadas itu dilestarikan,” tutur Mbah Marsono.
Kini, pemerintah menjadikan Desa Wadas sebagai area penambangan batu andesit (quarry). Batu andesit tersebut rencananya akan dijadikan material proyek Bendungan Bener—salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang digagas pemerintah berlokasi 10-12 kilometer dari Wadas. Desa Wadas dipilih sebagai lokasi penambangan dengan alasan memiliki kualitas batu andesit yang baik serta memiliki jarak tempuh yang ideal dengan Kecamatan Guntur, Purworejo—lokasi Bendungan Bener itu hendak dibangun.
Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek Bendungan Bener mencatat setidaknya akan ada 12 jenis burung yang akan terdampak di area pertambangan. Terlepas dari itu, beberapa kalangan juga menganggap dokumen Amdal problematis. Kamis, 17 Februari 2022, beberapa akademisi dan praktisi sempat membedah dokumen yang menjadi dasar keluarnya izin penambangan lokasi (IPL) itu. Bertempat di kantor Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), mereka menyimpulkan bahwa Amdal proyek Bendungan Bener tidak valid.
Salah satu yang menjadi alasannya adalah dokumen Amdal disusun dengan menggabungkan dua proyek yang berbeda, yaitu Bendungan Bener dan penambangan andesit. Dilansir dari Majalah Tempo, Seoryo Adiwibowo, Ahli Ekologi Politik dan Kebijakan Lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga turut mengkaji Amdal itu, mengatakan penggabungan dua proyek dalam satu Amdal memang dimungkinkan. Namun, Seoryo tetap mensyaratkan agar tiap proyek dikaji secara mendalam. “Sedangkan Amdal itu hanya berfokus pada pembangunan bendungan bener. Proyek penambangan batu andesit di Wadas tidak dikaji secara mendalam,” katanya.
Penelitian geologi mencatat Desa Wadas mengandung 41 juta meter kubik batu andesit. Sedangkan kebutuhan rill batu andesit Bendungan Bener adalah 8,4 juta meter kubik. Penambangan andesit di Wadas, salah satunya akan dilakukan di bukit yang selama ini dijadikan warga untuk bertani. Hal itulah yang menjadi alasan utama sebagian warga Wadas menolak rencana penambangan andesit di desanya. Selama ini, pertanian adalah sektor yang menghidupi warga. “Kalau kita hidup tanpa itu (pertanian), ya terus gimana?” ucap Mbah Marsono dengan suara getir.
Kekhawatiran Mbah Marsono bukan tanpa alasan. Gempadewa bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Perpustakaan Jalanan sempat melakukan riset potensi ekonomi di Desa Wadas. Hasilnya, tanaman yang tumbuh di sana memang memiliki nilai akumulasi tahunan yang terbilang tinggi. Kayu Sengon, misalnya, memiliki nilai akumulasi Rp 2 miliar. Kemukus Rp 1,35 miliar, durian Rp 1,24 miliar, vanili Rp266 juta, dan petai mencapai Rp 241 juta.
Menurut cerita Mbah Marsono, dahulu, tanah di Wadas pun sempat tidak diperjualbelikan kepada penduduk dari luar Desa Wadas. Padahal, tanah yang dibeli oleh penduduk luar biasanya dihargai lebih tinggi ketimbang ketika dibeli oleh sama-sama penduduk Wadas. “Sekarang (malah) dijual satu desa,” katanya.
Tahun 1985, penduduk Desa Wadas pernah tertimpa musibah tanah longsor. Imbas dari bencana itu, kata Mbah Marsono, tujuh penduduk menjadi korban, dan satu penduduk dinyatakan hilang. Menurut Mbah Marnoso, itu adalah bencana longsor terhebat yang pernah dirasakan selama ia hidup di Wadas. “Sekarang longsor itu juga (masih) ada, tapi tidak sebesar tahun ‘85,” ucapnya.
Bayang-bayang akan terulangnya bencana, seperti tanah longsor, pun kembali menguat setelah warga mendengar rencana penambagan andesit di desanya. Bagaimana tidak, penambangan andesit membuat pepohonan di bukit Wadas terancam hilang. Padahal, ketika bencana tanah longsor terjadi, pemerintah daerah sempat melakukan penghijauan di wilayah yang rawan. “Sekarang malah mau dimakan, kayu-kayunya mau ditelan sama (mantan) Gubernur Jateng, juga disetujui oleh negara,” kata Mbah Marsono.
***
Pukul satu pagi, setelah para pemain dengan topeng hewan-hewan dan buto menampilkan diri, pemain Baongan diisi oleh pemain bebas. Satu-dua pemain yang sebelumnya sudah bermain mulai ndadi—sebutan untuk orang yang kesurupan roh halus. Siapapun, termasuk orang-orang yang sebelumnya hanya menonton di pinggiran, bisa saja ikut ndadi. Mereka mulai berjoget tak beraturan. Suasana pun semakin semarak ketika mereka yang ndadi menampilkan atraksi, salah satunya dengan menelan bara.
Orang-orang mulai menonton dengan jarak yang lebih dekat. Beberapa penonton sibuk menodongkan ponsel untuk mengabadikan pertunjukan. Sesekali, penonton menghindar ketika para pemain yang ndadi mendekati mereka. Jika para pemain ndadi sudah cukup tidak terkendali atau lelah, sang pawang pun mengembalikan kesadaran pemain dengan meniup kepala bagian atas pemain sembari memberi “Doa”.
Namun, pertunjukan Baongan malam itu bisa jadi masih kalah semarak jika dibandingkan dengan yang digelar sebelum-sebelumnya, sebelum isu penambangan batu andesit berembus di Wadas.
Kata Mbah Marsono, salah satu dampak dari bergulirnya isu penambangan andesit di Wadas adalah hubungan antar warga yang tidak lagi harmonis. Warga terbelah menjadi dua kubu, yaitu kubu pro dan kontra tambang. Bahkan, kata Mbah Marsono, di ranah keluarga, seperti orang tua-anak atau adik-kakak pun bisa berbeda pandangan soal isu tersebut. “Memang sudah pecah belah,” katanya.
Kehidupan masyarakat Wadas yang tidak lagi harmonis juga dirasakan oleh Sulimah, seorang warga Wadas. Menurut penuturannya, beberapa warga yang semula menolak tambang belakangan berbalik bersikap pro terhadap rencana penambangan. “Ini cuma tiga RT yang masih menolak,” katanya saat ditemui seusai kegiatan Kamisan di Wadas. “Kalau bertemu mereka (warga yang semula kontra) ya tetep tanya. Tapi ati tetep sakit.”
Imbas dari ketidakharmonisan itu, kata Muslimah, kegiatan sosial yang biasanya melibatkan antar warga Wadas semakin berkurang. Muslimah mencontohkan kegiatan Fatayatan yang dulu banyak diikuti warga Wadas, kini sudah tidak pernah dilakukan. “Pengajian di masjid ada, tapi yang datang orang pro aja,” katanya.
Wacana penambangan batu andesit di Wadas juga disikapi Gempadewa melalui jalur litigasi. Pada 15 Juli 2021, Gempadewa sempat menggugat Gubernur Jateng Ganjar Pranowo. Gugatan tersebut dilakukan lantaran Ganjar mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/20 Tahun 2021 tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Bendungan Bener. Dalam surat izin itu, Ganjar tetap mencantumkan Desa Wadas walau warga Wadas masih menolak. Gugatan tersebut ditolak pada 30 Agustus 2021.
Pada 10 Maret 2023, melalui Kepala Desa Wadas, warga Wadas malah mendapat surat dari Kantor Pertanahan Kabupaten Purworejo bernomor AT.02.02/688-33.06/III/2023. Surat itu berisi pemberitahuan agar warga penolak tambang andesit segera mengumpulkan berkas inventarisasi selambat-lambatnya pada 24 Maret 2023. Jika warga tetap menolak, maka BPN akan melakukan mekanisme konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan.
Surat tersebut, menurut ratusan akademisi yang tergabung dalam Solidaritas Akademisi untuk Desa Wadas (Sadewa), merupakan suatu bentuk intimidasi terhadap warga Wadas penolak tambang. Mekanisme konsinyasi dianggap sebagai upaya negara merebut secara paksa tanah milik warga negaranya. Selain itu, mekanisme konsinyasi pada konteks Wadas juga berpotensi melangkahi Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
“Konsinyasi hanya bisa dilakukan jika penerima yang berhak tidak diketahui keberadaannya, atau objek tanah sedang dalam perkara di pengadilan, masih dalam sengketa kepemilikan, diletakkan sita oleh pejabat berwenang, dan/atau masih menjadi jaminan bank. Jika merujuk ketentuan tersebut, maka sikap kekeuh warga Desa Wadas yang menolak pertambangan batuan andesit tersebut tidaklah memenuhi klausul persyaratan konsinyasi,” tulis Sadewa dalam rilis persnya. “Kegiatan pertambangan, tidak termasuk dalam objek peruntukan pembangunan untuk kepentingan umum, sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 10.”
Peristiwa pengepungan desa yang sempat membuat trauma warga Wadas itu sudah berlalu. Namun, kondisi yang dirasakan oleh Mbah Marsono dan Muslimah masih belum membaik. Sebenarnya, warga tidak hanya sekali itu menyaksikan dan merasakan represi dari aparat. Pada 23 April 2021, sempat pula terjadi bentrok antara polisi, yang rencananya akan mensosialisasikan patok trase dan bidang tanah, dengan warga. Imbas dari peristiwa tersebut, 11 penduduk ditangkap dan 9 orang mengalami luka-luka.
***
Kecepatan gerakan pemain Baongan mengikuti tempo tabuhan gamelan. Semakin cepat gamelan ditabuh, semakin cepat pula gerakan para pemain Baongan. Begitu dan seterusnya. Adalah “Satrio Kebo Ireng” nama komunitas yang menaungi budaya Baongan ini. Anggotanya lebih banyak adalah para pemuda warga Wadas. Sisanya adalah para sesepuh yang memang sedari awal sudah menghidupi budaya itu. Mbah Kamim, misalnya, ia merupakan salah satu sesepuh yang menjadi pawang dalam pagelaran Baongan pada malam itu.
Tidak hanya bermain untuk warganya, tak jarang Satrio Kebo Ireng juga diundang oleh warga dari luar Desa Wadas. “Waktu peringatan 17-an, pernah disuruh main ke desa lain. Jadi banyak temen,” ucap Mbah Marsono. Hal itu menjadi pertanda bahwa sebenarnya kebudayaan ini juga telah diakui oleh masyarakat di luar desa Wadas.
Penambangan andesit di Wadas bukan hanya akan mengancam alam, budaya, ekonomi, dan ruang hidup, tetapi juga kebudayaan Wadas, seperti Baongan. Namun, bagi Mbah Marsono ancaman seperti itu tampaknya tidak terlalu menggelayuti pikirannya. Yang ia tahu adalah berjuang untuk mempertahankan apa yang ia punya dengan semaksimal mungkin. “Perkara menang kalah yo mengko. Penting kita berani,” ucapnya
Namun, entah sampai kapan Mbah Marsono dan yang lainnya mampu bertahan. Sebab, sepanjang tahun lalu, banjir sudah berulang kali terjadi di Wadas. Pada November kemarin, mislanya, banjir yang membawa lumpur terjadi di titik pembukaan jalur menuju lokasi rencana tambang quary. Begitupun pada Minggu, 25 Maret 2023 lalu, beberapa rumah warga dan musholla di Dusun Karang, Desa Wadas terkena banjir. Bencana itu terjadi akibat kegiatan penebangan hutan yang ada di kawasan perbukitan. Penebangan itu dilakukan untuk pembangunan akses jalan yang akan terhubung ke tambang. Ketika hujan mengguyur lokasi itu, air hujan pun tidak terserap oleh tanah, dan langsung meluncur ke bawah, mendatangi jalanan dan pemukiman warga. Mimpi buruk Warga Wadas mulai menjadi nyata.
Penulis: Adinan Rizfauzi
Reporter: Ary Tama, Muhammad Afif Maghfur, Adinan Rizfauzi, Abdul Manan
Editor: Abdul Manan